Teman

6 2 0
                                    

cc media : Google


Ucapan Didip hari itu tentunya menjadi titik balik bagi pertemanan kami. Aku jadi berteman baik dengan Didip. Juga kawan-kawan di kelas. Ucapan Didip tak bisa diabaikan begitu saja. Aku memikirkannya baik-baik. Bahkan Seno yang selama ini selalu terjebak dengan cintanya pada Jihan memilih untuk mendengarkan ucapan Didip.

Obat patah hati yang paling ampuh adalah cinta baru. Aku hanya perlu mencarinya. Seperti kata Didip, cinta bukan selalu soal pasangan. Aku mencari cinta baru itu dari keluarga dan temanku. Mengganggu Kak Akbar di rumah. Kadang sengaja memonopoli pacarnya saat kami bertemu. Atau merebut laptop yang sedang dia pakai mengerjakan tugas untuk tugasku sendiri. Dia akan mengadu pada mama, tapi tentu saja aku yang dibela.

Dalam waktu sekian minggu, aku bisa melupakan kebiasaanku dengan Kak Juna. Bahkan bersikap seolah semua itu tak pernah terjadi. Bukan mengacuhkannya seperti yang kalian pikirkan. Aku berteman baik dengan Kak Juna. Dia sesekali akan datang berkunjung ke sekolah untuk melatih PMR. Kadang juga bersama dengan Kak Mia. Mereka masih seperti itu. Aku tidak tahu kemana hubungan mereka akan berakhir. Dan tak ingin tahu juga. Itu bukan urusanku.

Cinta baru yang disebut Didip sebelumnya berhasil kudapatkan dari teman-temanku. Mereka bilang aku sedikit lebih bersahabat sekarang dibandingkan sebelumnya.

"Kamu dulu judes banget loh, Mi. Aku agak ragu kalo mau sapa kamu. Apalagi waktu kelas X."

Chika berucap sambil makan bekal makan siang. Sebenarnya saat itu belum waktunya istirahat. Guru yang seharusnya mengajar tidak datang. Kabarnya sedang menjenguk anaknya yang mondok di daerah. Lalu karena kami kelaparan, bekal makan siang kita makan. Adi dan Bekti ikut makan bersama kami. Sesekali mereka menggerutu karena Seno akan datang tiba-tiba mencomot makanan kami.

"Makanya bawa bekal. Jadi ga minta-minta. Dasar miskin!" Chika berucap pedas. Seno tak banyak peduli. Mendorong Chika agar bisa duduk diantara kami dan ikut makan. Kami duduk di lantai sambil makan. Sesekali bercerita.

"Aku sering lihat Ami dan Rian lagi nongkrong di depan minimart. Kalian asik banget."

Lulu bertanya. Aku hanya mengangkat bahu. "Makan es krim. Sudah kebiasaan kalau ke sana sama dia pasti beli es krim."

"Yang ngajak yang bayar. Tapi Ami ga pernah ngajak, jadi dia selalu dibayari..." Seno menimpali.

Kami banyak menghabiskan waktu bersama. Lokasi kelasku yang berada di ujung koridor dan dekat dengan kebun sekolah membuat kami sedikit terasing. Di hari jumat, saat anak laki-laki muslim sedang melakukan salat jumat, anak perempuan akan bersantai di kelas. Didip akan menyelinap ke kebun sekolah untuk mengambil buah. Dia sering pulang dengan buah belimbing atau jambu yang kami makan bersama. Belakangan kami bahkan terkejut saat Didip datang dengan satu pohon singkong.

"Ayo bakar singkong..." ucapnya santai sambil menyusun ranting kayu di belakang kelas.

"Kamu dapat korek darimana?"

"Tadi Irman titip korek padaku. Sekarang berguna juga kan..."

Kami tak banyak komentar. Cukup tahu kalau Irman memang perokok aktif. Makanya dia punya korek. Pasti sengaja titip di Didip karena dia perempuan. Tidak akan dicurigai. Kami akhirnya membakar singkong temuan Didip di belakang kelas. Beberapa siswi dari kelas lain akan mengintip penasaran. Ada yang mencibir, tapi siapa peduli.

Rian dan Seno membuat sebuah ayunan dari baner besar bekas OSIS tahun lalu. Entah di dapat darimana. Saat istirahat ayunan itu akan menjadi rebutan yang lain karena menjadi tempat yang nyaman untuk tidur. Sampai pernah satu kali, saat Yuyu, Puti dan Sri berebut ayunan itu, ayunan terputus karena dinaiki tiga orang sekaligus. Mereka saling menyalahkan siapa yang paling berat. Kami tertawa tanpa peduli membantu. Lalu Raka, siswa yang paling sering tidur dikelasku, memperbaikinya. Memakainya untuk tidur saat guru tidak datang ke kelas atau istirahat.

"Kita harus main-main sesekali. Kelas kita menyenangkan tahu..." Ira berucap sambil makan singkong bakar. Anak laki-laki sudah pulang salat jumat. Marcus juga kembali setelah tadi berkumpul dengan orang-orang satu kepercayaan dengannya. Dia selalu melakukannya.

"Aku baru tahu singkong kalau dibakar rasanya enak juga..." Dia yang paling rakus makan singkong bakar. Sri mengangguk paham dan masih memberikan singkong untuk Marcus.

"Dasar bule. Di korea ga ada kan singkong bakar?" itu Chika. Masih dendam karena Marcus merebus singkongnya.

"Ayo masak nasi liwet. Asik loh, dikampungku biasanya masak-masak kalau main..." Sri memberi usul yang lalu disetujui oleh yang lain. Marcus yang tidak paham hanya mengangguk-ngangguk. Esok harinya, dia datang dengan rice cooker dan kompor mini.

"Ngapain kamu bawa ini?" Lulu yang biasa pendiam bertanya dengan panik.

"Kemarin kalian bilang mau masak. Ini kubawa alat-alatnya. Eomma juga ga protes kok. Dia malah suruh aku kirim foto agar dia tahu bagaimana caranya masak nasi liwet."

Aku tertawa. Sri menepuk-nepuk kepalanya saat itu. Pada akhirnya kami benar-benar patungan untuk membeli bahan memasak hari itu. Kami benar-benar memasak nasi liwet disekolah setelah sekolah usai. Suasananya terasa menyenangkan. Marcus benar-benar memotret bahkan merekam setiap kegiatan kami dengan kamera yang dia bawa. Bahkan melakukan video call dengan ibunya dan menyapa kami.

Roy bertindak mengejutkan dengan mengulek sambal terasi. Dia melakukannya dengan luwes. Aku agak takjub. Terutama karena aku sendiri tidak bisa melakukannya. Sri mengomel karena Bekti terus mengganggunya memasak tapi tidak mau membantu. Bahkan sempat memukul tangan Bekti dengan sendok karena mencomot tempe yang belum disajikan.

Sisanya hanya menunggu. Atau membantu saat diminta. Ilyas memimpin doa sebelum makan. Dia memakai doa yang cukup panjang hingga Seno mengeluh. Tapi segera diam karena Lulu menegurnya. Hari itu, suasananya sangat menyenangkan. Kami benar-benar melupakan masalah yang sedang kami hadapi sebelumnya. Seno mulai berhenti membicarakan cintanya yang tak terbalas. Rian berhenti membicarakan obsesinya terhadap masa depan. Puti juga sengaja menyimpan ponselnya di dalam tas karena tidak ingin Kak Didi mengganggunya.

"Kalau Kak Didi menghubungiku, aku pasti akan membalas. Jadi lebih baik aku ga tau, biar ga perlu kubalas..." ucapnya hari itu.

"Berkumpul dengan teman itu menyenangkan, Mi. Harusnya kamu ikut dari dulu. Kamu terlalu acuh sama sekitarmu. Sesekali cobalah bersikap ramah, jangan terlalu acuh..." Didip sambil memainkan bara api. Kami baru saja mencuri singkong dari kebun sekolah dan membakarnya.

"Iya. Ucapan kamu waktu itu benar. Cinta ga melulu soal pasangan. Karena cinta yang kudapat dari teman, rasanya malah lebih menyenangkan."

Didip menoleh. Menatapku dengan seringaian. "Benarkah? Awas loh. Hati-hati kamu jatuh cinta sama temanmu. Nanti repot... sudah kuingatkan loh ya.."

Aku mencibir. "Kenapa aku harus cinta sama temanku?!"

"Loh, apa salahnya? Kamu ga percaya sama cinta pandang pertama, artinya kamu percaya sama pepatah lain. Apalagi pepatah lain soal cinta kalau bukan yang itu?"

"Yang mana?"

"Cinta datang karena terbiasa. Kalau kamu dekat dengan temanmu, kamu akan terbiasa dengan temanmu. Bukan ga mungkin kamu jatuh cinta sama temanmu sendiri"

"Ga mungkin! Khawatirkan saja dirimu sendiri. Kalau sampai kamu naksir aku, aku ga bakal mau"

Didip langsung mengejarku.

Ice Cream SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang