Hukuman yang kudapat dari Revi, berdasarkan persetujuan tim PD lain, karena kenakalanku adalah skorsing. Kami diskors dua hari. Aku tidak diijinkan ke sekolah selama dua hari. Selama itu pula, aku tidak bertemu dengan Rian atau bertukar pesan dengannya. Puti sempat bertanya apa yang terjadi dan kujawab apa adanya.
"Bagus, Mi. Kamu melakukan hal yang benar. Satu dua kali dia harus di beri pelajaran. Sudah jelas-jelas dia yang mengganggu kok menuduhmu sih. Aku saja sebel sekali sama dia." Ini reaksi Puti. Sudah tentu dia yang akan terbawa emosi saat datang berkunjung ke rumahku dengan Seno.
"Tapi kenapa kamu sendiri harus terpancing emosi? Seperti bukan kamu saja, Mi. Waktu sama Jihan dulu kamu anteng aja dia teriak-teriak di depanmu. Malah aku yang jadi ga nyaman karena objek pertengkaran kalian itu aku. Kenapa sekarang kamu ikut emosi dan lawan dia?" ini ucapan Seno. Sedikit informasi saja, dia tidak menyesal sudah setuju mensokrsku. Katanya itu karena memang aku juga bersalah.
"Aku ga suka dia bilang aku pengganggu. Selain itu, waktu masalahmu dengan Jihan itu jelas salah paham. Aku tahu letak kesalahannya dimana." Aku menyimpan ponselku. Masih menunggu kalau-kalau Rian mengirimku pesan. Tapi ponselku masih sepi.
"Kalau kali ini, aku ga tau salahku dimana. Tiba-tiba aku disebut pengganggu. Tiba-tiba aku disuruh jauhi temanku. Aku jelas ga mau."
"Kenapa ga mau? Kenapa harus sampai marah?"
"Cara dia bilang begitu seolah aku ini pelacur yang melempar diri pada Rian. Aku ga suka. Selain itu, dia yang menamparku duluan. Aku hanya membalas. Membela diri."
"Tapi membalas tindakan langsung itu bukan kamu banget, Mi. Biasanya kamu lebih suka balas dengan kata. Kamu ga pernah main tangan."
Aku diam. Seno juga diam. Ucapan Puti itu harus kuakui memang benar. Tapi saat itu aku benar-benar emosi. Aku tidak suka Melati menyuruhku menjauh dari Rian. Rian adalah temanku, aku tidak bisa menjauh dari temanku sendiri. Kalau dia memang suka Rian, bukannya seharusnya dia berdamai dengan teman-temannya? Kenapa malah aku diomeli begitu?
Masalah pertengkaranku dengan Melati nyatanya berujung panjang. Orang tua Melati tidak suka anaknya mendapat hukuman dan menuntut pihak sekolah untuk memberi hukuman yang lebih berat padaku. Orang tua kami dipanggil ke sekolah untuk pertemuan damai.
"Saya ga suka anak saya diperlakukan seperti ini. Kenapa anak saya harus dihukum dan di skors? Anak saya ga bersalah."
Didepan seluruh Tim PD, Pak Yudi, dan orang tuaku, Mama Melati berucap berapi-api bahwa aku harus dihukum.
"Nak Ami ini kan kakak kelasnya Melati. Seharusnya memberi contoh pada Melati, bukan mengajak bertengkar seperti anak kecil. Dan seharusnya masalah seperti ini di selesaikan oleh orang dewasa. Bukan oleh anak-anak. Apalagi saya dengar yang menangani adalah temannya Nak Ami sendiri."
"Ibu jangan sembarangan. Yang menangani mungkin teman saya. Tapi saya juga dihukum sama dengan seperti yang anak ibu dapat." Aku tak suka nada bicaranya yang jelas-jelas meragukan Revi dan Seno yang menangani kasus ini. Sebagian anggota Tim PD juga sepertinya memiliki pemikiran yang sama denganku. Pak Yudi juga tidak menghentikan perdebatanku.
"Lagipula, orang yang memulai itu anak ibu, bukan saya. Dia yang mendatangi saya dan marah-marah menyuruh saya menjauhi teman saya sendiri. Dia juga yang menampar dan menjambak saya duluan. Saya hanya membela diri."
"Jangan mengelak. Kamu ini kan kakak kelas. Kamu ini senior. Berikan contoh untuk adikmu dong. Sudah salah kok masih menghindar..."
Aku tidak menjawab. Apapun ucapanku tidak akan masuk ke telinganya sama sekali. Aku memilih diam dan tidak menjawabnya. Pak Yudi menautkan kedua alis. Dia menatap Seno. Meminta Seno menyerahkan laporan kasus ini. Dia membacanya dengan teliti.
"Disini dijelaskan kalau menurut kesaksian dua belah pihak memang Melati yang memulai pertengkaran. Selain itu, luka fisik hanya diterima Ami."
"Apa buktinya kalau anak saya yang bersalah. Dia menangis mengadu pada saya bilang kalau dia ditampar oleh kakak kelasnya yang bernama Ami karena mereka menyukai orang yang sama."
"Kita bisa mengecek CCTV di lokasi kejadian. Ada kamera yang merekam. Kejadiannya terjadi di depan gerbang sekolah." Ini ucapan Seno. Dia berucap sopan sambil tersenyum penuh wibawa. Melati sepertinya terkejut dan baru tahu soal itu. Menyadari dirinya berbohong dia hanya menunduk.
"Kalau begitu kita lihat CCTVnya!"
Pak Yudi mengangguk. Dia menyalakan komputernya dan mengecek rekaman pada tanggal itu. Memutar layar komputernya dan membiarkan kami melihat hasil rekaman. Persis seperti yang kuceritakan, aku yang mendapat tamparan dan jambakan. Luka fisik hanya aku yang terima. Wajah Melati pias saat itu juga. Mamanya langsung menatapnya dengan nanar dan penuh amarah.
"Kalau begini seharusnya saya yang menuntut hukuman. Anak saya bukan hanya menderita luka fisik, tapi juga harus dikucilkan oleh lingkar pertemanannya karena fitnah dari anak anda. Seharusnya anak anda yang menerima hukumannya!" Ayahku menjawab penuh wibawa. Ayah memang terbaik. Menangani masalah ini dengan kepala dingin sejak tadi.
Mama Melati diam. Malu. Tapi sifat keras kepala, yang menurun ke Melati, itu membuatnya tahan banting. "Itu karena anak anda mengganggu orang yang anak saya suka. Wajar kalau anak saya seperti itu."
"Maka seharusnya wajar kalau anak saya membela diri dan pertengkaran itu terjadi. Apalagi, kalau anak saya tidak memilliki ketertarikan seperti yang anda maksud. Sama dengan anda sudah mencemari nama baik anak saya."
Aku takjub pada bagaimana ayah menangani masalah ini. Ayahku orang kampung asal kalian tahu. Tapi tidak pernah ketinggalan pada berita yang sedang trend. Bahkan mampu mendebat seorang pengacara handal seolah dia terpelajar. Kenapa juga masalah sepele seperti ini harus diperbesar seolah aku baru saja membunuh Melati? Sampai harus cek rekaman CCTV segala.
Pak Yudi berdehem. Mengalihkan suasana tegang ayahku dan mama Melati. "Begini, jika kita ulas kembali, masalah ini berawal dari masalah pribadi anak-anak. Saya tidak memahami bagaimana masalah remaja ini berawal. Tapi saya rasa, lebih baik biarkan mereka menangani masalah pribadinya dulu. Kami sudah memberikan sanksi bagi Ami dan Melati karena keduanya yang bermasalah. Bahkan saat Ami menjadi yang paling dirugikan, kami tetap memberikan sanksi padanya. Seharusnya masalah selesai dengan penyesalan kedua belah pihak."
Pak Yudi melirik aku dan Melati. Aku hanya diam. "Saya juga meminta maaf karena membiarkan anak-anak asuhan saya yang menangani masalah serius ini. Saat itu saya tidak ditempat sehingga yang menangani adalah Tim yang saya buat. Saya minta maaf kalau ada kekurangan dalam kinerja kami. Kami akan melakukan evaluasi untuk masalah ini."
Pak Yudi mengamati ketujuh anggota Tim dibelakangnya. Bibirnya menipis kesal.
"Lantas, kenapa anak saya harus menerima hukuman kalau dia tidak bersalah? Sekarang semuanya sudah jelas, anak saya tidak bersalah. Dia yang menerima sebagian besar kerugian akibat tindakan tidak dewasa adik kelasnya. Karena bapak sudah di sini, bagaimana bapak akan menyelesaikannya?"
Aku ingin memeluk ayahku. Mama Melati sepertinya agak terkejut dengan tuntutan ayahku ini. Mungkin juga tidak menyangka orang kampung seperti kami akan seberani itu. Tapi ayahku memang terbaik.
Pak Yudi mengangguk. "Karena semua sudah jelas dan terbukti memang Melati yang bersalah sejak awal, maka kami akan membebaskan Ami dari hukuman. Ami bisa melanjutkan sekolah mulai besok. Sebaliknya, karena Melati bersalah, juga melakukan tuduhan tidak benar, skors untuk Melati kami tambah jadi satu minggu. Saya harap Melati menerima keputusan saya kali ini."
Pak Yudi menekan pada kata keputusan saya. Seolah memberi tahu Melati kalau keputusan hukumannya kali ini berasal darinya dan bukan timnya. Saat itu, meski sudah bebas dari hukuman, aku masih belum merasa lega. Masih ada hal yang belum kupahami. Dan tentu saja harus segera kuselesaikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ice Cream Senja
Teen Fiction"Terjebak dalam cinta lama memang menyebalkan. Tapi terjebak dalam persahabatan itu lebih mengerikan bagiku." - Rian Ya. Rian benar. terjebak dalam pertemanan amat sangat menyebalkan. Karena berteman dengannya sangat menyebalkan. Maka biarlah kita t...