Waktu liburan sudah usai. Aku sudah naik di kelas sebelas. Ada banyak siswa baru tahun ini. Saat aku masuk gerbang, beberapa dari mereka menatapku. Seperti yang kulakukan dulu. Penasaran pada kakak kelas yang kulihat. Karena belum memiliki kelas tetap, aku hanya menyusul Puti yang sedang mengobrol dengan Yuyu dan Seno. Mereka membicarakan siswa baru yang menarik.
Aku sudah mendaftar untuk jurusan IPS. Bukan apa-apa, eksak bagiku sangat menyebalkan. Lagipula dengan memilih jurusan IPS, aku akan lebih menyukainya. Aku menyukai ekonomi sosial. Kak Akbar sempat bertanya. Menurutnya, IPA lebih baik. Dia dulu siswa jurusan IPA. Tapi kuliahnya jelas-jelas ekonomi. Tak ada hubungannya sama sekali. Aku mengolok-oloknya dengan puas saat menyadari jurusan kuliahnya adalah bagian IPS.
Kak Juna kuliah di Akademi Kimia. Aku sempat bertanya karena dia menolak semua PTN yang mengundangnya dan malah memillih akademi kedinasan biasa. Dia bilang lebih terjangkau. Aku cuma mengangguk waktu itu. Masuk akal. Akademi Kimia memang jaraknya lebih dekat dengan rumahnya. Tapi kalau aku jadi Kak Juna, aku tak akan merelakan PTN begitu saja.
Belakangan aku tahu alasan utamanya karena Kak Mia kuliah disana. Dia sendiri yang keceplosan mengatakannya padaku. Meskipun aku juga tak mengerti kenapa dia harus menyembunyikan alasan itu. Seingatku, aku tak pernah melarangnya untuk satu kampus dengan Kak Mia.
"Mudah-mudahan kita satu kelas. Aku males harus adaptasi sama orang baru lagi." Puti yang mengeluh. Tapi diam-diam aku menyetujui ucapannya. Tidak semua orang terbuka bagi hal-hal baru. Apalagi untuk orang-orang pendiam sepertiku.
"Kalau begitu, kamu ga akan punya pengalaman baru, Put. Memangnya kamu mau gini-gini aja?" Seno mencibir.
"Siapa tahu ketemu yang ganteng, Put." Yuyu menimpali.
Puti menggeleng. "Kak Didi yang paling ganteng di mataku. Dia kasih aku pulpen baru kemarin. Lucu deh..."
Selanjutnya Puti memamerkan pulpen baru pemberian Kak Didi. Ada gantungan lucu di ujung pulpen. Dan karena pulpen gel ink, Puti bisa membeli isinya di koperasi. Aku tak banyak berkomentar seperti Yuyu dan Seno yang heboh meledeknya. Seno bahkan merebut pulpen itu dan hampir membuangnya. Selanjutnya dia berteriak karena mendapat pukulan maut dari Puti.
Kelas kami di umumkan dua jam kemudian di papan pengumuman. Aku satu kelas dengan Puti dan Yuyu. Hanya itu yang kutahu. Puti mengeluh karena ruang kelas kita cukup jauh dari gerbang sekolah. Kelas XI IPS dua adalah kelas yang lokasinya berada di paling ujung gedung sekolah. Ruangannya ada di gedung F. Satu-satunya gedung yang tidak bertingkat selain kantor guru dan kepala sekolah. Hanya ada dua ruang kelas di gedung ini. Keduanya kelas sebelas IPS. Sisi kelas IPS 1 adalah gedung E, sementara sisi kelas kami adalah lahan kosong. Hanya ditumbuhi pohon alang-alang yang mulai tinggi.
"Gedungnya masih baru. Kita kelas ke dua yang nempatin gedung ini. Tahun lalu kudengar ada yang kesurupan."
Kami bertiga menoleh serempak. Terkejut melihat Seno dan Rian di belakang. Keduanya hanya tersenyum lebar menampakkan giginya.
Seno menggeleng pelan. "Dari sekian kelas, kenapa aku harus bersatu dengan kalian lagi. Apakah ini..." Seno tersenyum sambil menatap kami satu persatu. Senyum yang membuat kami bertiga bergidik ngeri. "Yang dinamakan jodoh?"
Rian langsung mendorongnya jauh-jauh. Tak ingin berdekatan dengan Seno. Khawatir tertular kegilaannya. Kami langsung berlari pergi masuk ke dalam kelas. Aku ternyata satu kelas dengan Yuyu, Puti, Rian, Seno, dan Halimah, teman pertama yang kudapat di sekolah selain Puti. Ricky dan Hadi masuk di kelas IPA. Jihan juga. Amel dan Salma masuk di IPS 1, bersebelahan dengan kami.
"Kupikir kamu akan ambil IPA?" tanyaku pada Rian.
Cowok itu menggeleng. "Aku ga minat di IPA. Aku mau jadi pengusaha."
Aku hanya mengangguk. Dia mungkin sudah memahami ke tidak tertarikanku pada eksak sehingga tidak bertanya lagi. Ada banyak wajah baru yang kukenal. Lulu yang agak pendiam. Chika yang kelewat ceria. Dia bisa berduet dengan Puti untuk meramaikan kelas. Adi yang narsis. Kulitnya putih seperti eropa. Bahkan matanya berwarna coklat terang. Diva si gadis tomboy yang maco. Chika kemudian memanggilnya Didip, kadang lengkap dengan 'bang'. Sri yang dewasa. Umurnya paling tua diantara teman-teman sekelas.
Ada 22 siswa di kelasku. 10 diantaranya adalah laki-laki, sisanya perempuan. Angka yang tidak seimbang ini membuat kami sering mengatakan kalau Didip adalah laki-laki sehingga jumlah laki-laki dan perempuan sama. Dan ini mendapat persetujuan dari wali kelas kami. Aku tertawa saat Chika mengatakan itu.
Ira yang cantik menjadi wajah kelas. Ada saja orang yang menanyakannya. Meminta kami untuk memberikan kontak pribadinya yang tentu saja kami abaikan. Apalagi Ira sendiri sudah mengatakannya terutama pada anak laki-laki.
"Jangan kasih nomor hapeku sama orang lain! Ku bunuh kalian kalau berani." Ucapan tegasnya saat itu mendapat anggukan paham dari semua anak laki-laki di kelasku.
"Iya tenang aja. Aku kapok bagi kontakmu sama orang lain. Kamu benar-benar bisa bunuh aku." Irman, teman sekelasnya saat kelas X menjawab.
"Aku ingat kamu cekik Irman dulu." Kawan Irman, Raka, terkikik di sampingnya. Ira tak ambil peduli. Duduk disamping Dila yang sedang mencoba alat make up baru. Mereka selanjutnya sibuk membicarakan make up.
Yang palling tampan di kelasku barangkali Marcus. Keturunan korea. Matanya agak sipit. Bicaranya medok. Tapi belum lancar berbahasa indonesia. Chika dan Seno sering mengusillinya dengan bahasa daerah. Dia berteman dengan Ilyas. Kami agak heran dengan pertemanan mereka berdua. Ilyas adalah seorang taat agama dan sering pergi ke mesjid saat istirahat. Marcus akan mengikutinya meskipun hanya menunggu di depan mesjid. Siswa yang bukan muslim tidak ijinkan masuk ke bagian dalam masjid untuk menghormati siswa muslim.
"Masjid itu tempat yang tenang, Mi. Aku suka disana. walaupun aku Cuma nunggu di teras depannya, aku tetap merasakan ketenangan itu. Makanya aku selalu ikut Ilyas kalau dia ke masjid." Marcus menjawab pertanyaanku. Aku hanya mengangguk saat itu.
Saat istirahat, aku selalu melihat pertunjukan drama aksi dari tiga siswa lainnya. Roy, Adam dan Bekti. Mereka biasanya akan bertingkah aneh. Aku tidak mengerti imajinasi macam apa yang mereka punya. Mereka bertiga menjadi teman satu geng begitu bertemu. Padahal ketiganya berasal dari kelas berbeda dan tak pernah salling kenal sebelumnya. Jika Roy dan Adam sudah saling bertengkar, Bekti akan anteng merekam pertengkaran mereka. Bertengkar yang ku maksud disini bukan hanya sekedar perdebatan ringan. Mereka akan berguling-guling di lantai saling memiting satu sama lain. Terjadi hampir setiap waktu istirahat. Hebatnya, tidak ada satupun yang akan memisahkan mereka.
Selain aku dan Halimah, gadis pendiam lainnya adalah Nina. Aku tak begitu dekat dengannya. Dia terlihat tak ingin didekati. Nina duduk dengan Rosa yang sedikit lebih ramah. Rosa berteman dengan Chika sehingga dia lebih mudah didekati. Rosa bilang Nina memang pendiam sejak SMP. Tak ada yang mau berteman dengannya karena dia terlalu pendiam. Dia hanya terpaku pada ponsel dan dunia maya yang dia punya. Diluar itu, Nina hampir selalu menceritakan kebohongan.
Kami lagi-lagi mengorbankan Seno untuk menjadi ketua kelas. Aku yang biasanya diam langsung bilang kalau Puti bisa menjadi sekertaris kelas. Aku selamat dari jabatan kelas. Chika yang cerewet mendampingi Sri. Rian mendampingi Seno jadi wakil ketua kelas. Kelas kami terbentuk begitu saja. Semuanya terjadi tanpa ada kesulitan sama sekali seperti saat kelas sepuluh dulu.
"Walaupun ruang kelas kita terpojok dari dunia luar, jangan sampai kita terpojok dari pendidikan. Lagi pula sepertinya kebun di samping kelas menyenangkan untuk jadi tempat bermain." Ucap Seno di hari pertamanya sebagai ketua kelas. Kami hanya menggumam tak minat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ice Cream Senja
Teen Fiction"Terjebak dalam cinta lama memang menyebalkan. Tapi terjebak dalam persahabatan itu lebih mengerikan bagiku." - Rian Ya. Rian benar. terjebak dalam pertemanan amat sangat menyebalkan. Karena berteman dengannya sangat menyebalkan. Maka biarlah kita t...