Bohong?

6 2 0
                                    


Ucapan Rian tentang cinta membuat definisiku tentang cinta agak berubah. Ucapannya cukup memberi pengaruh yang kuat. Aku jadi memikirkan apa arti cinta yang sebenarnya untuk diriku sendiri. Jika setiap orang memiliki definisinya sendiri tentang cinta, lantas apa sebenarnya cinta untukku?

"Kamu suka Kak Juna?" Kali ini pertanyaan itu bukan datang dari Rian, melainkan dari Salma. Aku menoleh dengan pandangan tak paham. Rasanya aneh Salma menanyakan ini padaku. Terutama karena aku tak lagi begitu banyak mengobrol dengannya beberapa terakhir. Kami terpisah kelas dan agak jarang berinteraksi.

"Kenapa? Aneh kamu tiba-tiba tanya begitu."

Salma terlihat gugup. Dia menggeleng pelan. Aku tak membahasnya lagi setelah itu. Tapi entah bagaimana, aku merasa pertanyaan itu seolah mengarahkanku pada sesuatu. Sesuatu yang tidak aku sukai.

Dan lagi-lagi, aku kembali memikirkan ucapan Rian. Cinta yang kutahu adalah sebuah euforia yang menyenangkan. Maka cinta sejati akan menjadi debaran menyenangkan yang tak pernah padam. Definisi ini akan cocok dengan pemikiran Rian dan Puti mengenai cinta. Jika euforia menghilang, artinya bukan cinta sejati, kan?

Lantas, kenapa aku tak pernah merasakan euforia itu dengan Kak Juna? Dia kekasihku, aku mencintainya. Setidaknya begitu yang kupikirkan. Atau, sebenarnya cinta itu tak pernah ada? Hanya bayanganku?

Mi, maaf ya, hari ini aku ga bisa nemenin kamu. Aku harus nemenin Mia ke rumah sakit. Neneknya sakit.

Aku mengernyit. Ini sudah ke sekian kali Kak Juna membatalkan janji yang dia buat sendiri. Aku tak berkomentar apapun. Bahkan pesannya tak kubalas. Tak ada gunanya. Jika aku memprotes, kita akan bertengkar. Sebulan belakangan, aku sudah sering bertengkar dengannya. Alasannya sama. Pembatalan janji.

Es krim?

Aku mengernyit. Sedikit terkejut saat melihat Rian mengirim pesan. Dia mengirim gambar sepeda motornya yang siap jalan.

Kalau mau aku jemput sekarang. Aku butuh teman ngobrol.

Oke. Ku tunggu

Aku langsung bersiap. Memakai jaket dan berdandan seadanya. Rian datang setengah jam kemudian. Sedikit mengernyit. "Kupikir hari ini kamu kencan dengan Kak Juna."

Aku kembali kesal diingatkan begitu. "Dia batalin janjinya."

Rian hanya mengangguk. Aku naik di belakangnya. Kami meluncur menuju minimart depan sekolah. Tempat itu seolah menjadi markas rahasia kami untuk berkumpul. Hari itu, aku menceritakan semua kekesalanku tentang Kak Juna pada Rian. Dia mendengarkan dengan tenang. Tidak banyak membantah atau memprotes semua keluhanku. Kadang dia tersenyum menertawakan keluhanku. Tapi tidak sekalipun membantah.

"Dia terlalu memikirkan Kak Mia. Apa dia ga peduli aku lagi? Kenapa aku malah berpikir pacarnya itu Kak Mia, bukan aku?"

"Kenapa ga tanya dia?"

"Aku ga mau berantem. Beberapa bulan terakhir kita sering berantem karena masalah ini. Ini Cuma masalah sepele dan aku ga mau memperbesar. Tapi aku tetap ga suka."

"Kenapa kamu ga suka?"

"Karena aku pacar Kak Juna. Harusnya semua perhatian Kak Juna untukku, kan?"

"Jadi dia tidak bisa memperhatikan sahabatnya?"

Aku diam. Merasa tertohok pada ucapan Rian. Benar, Kak Mia adalah sahabat Kak Juna sejak kecil. Mereka sudah sering bersama. Lantas apa yang membuatku merasa sangat terganggu dengan kedekatan mereka?

"Kamu marah karena perhatian Kak Juna yang terbagi, bukan karena hal lain?"

"Memangnya alasan apa lagi yang harus aku pakai?"

"Entahlah. Mungkin karena pacarmu yang diganggu cewek lain."

"Kak Mia bukan cewek lain. Dia sahabatnya Kak Juna. Dan dia mantan pacarmu, kenapa kamu santai banget? Memangnya kamu ga merasa aneh?"

"Lantas kamu mau gimana? Dia mungkin memang sibuk."

"Sibuk dengan Kak Mia, maksudmu?" timpalku sewot. Aku tidak tahu kenapa, tapi gerakannya yang sedang mengetik pesan di ponsel berhenti. Dia menghela nafas.

"Laper gak? Cari makan yuk! Aku tahu tempat yang enak."

Meski sebal banget, aku hanya mengangguk. Lagipula saat itu sudah waktunya makan siang dan aku mulai lapar. Rian mengajakku ke tempat yang sedikit lebih jauh. Tapi tempatnya jelas nyaman. Karena saat itu sedang weekend, kebanyakan yang datang adalah pasangan. Hanya beberapa yang datang dengan keluarga atau teman. Yang membuatku terkejut, aku melihat Kak Juna di sana. Bersama Kak Mia tentunya.

Rian mungkin menyadari arah pandanganku. Dia juga sepertinya terkejut melihat dua orang itu disana.

"Mau temui mereka?"

Aku menggeleng. Entah kenapa, aku merasa perlu memikirkan tindakanku baik-baik. Kita memilih tempat duduk yang sedikit jauh dari mereka. Meski begitu aku masih bisa melihatnya. Mereka tampak asik bercengkerama. Bercanda tertawa dan tak peduli sekitarnya. Aku mengernyit melihat beberapa kali Kak Juna tampak manis pada Kak Mia.

"Mending kita temui?!"

Aku tidak tahu apa Rian bertanya atau memberi usul. Dia terlihat ragu. Aku menggeleng. Aku merasa tak bisa mengganggu mereka. Kami memesan makanan yang memang rasanya cukup enak. Aku memuji pilihannya mengajakku ke tempat ini. Diam-diam, tanganku bergerak di ponselku.

Kak Juna dimana? Masih sibuk?

Aku membiarkan ponselku setelahnya. Untuk beberapa alasan, aku takut melihat balasan Kak Juna. Pikiranku penuh dengan pemikiran buruk tentang mereka.

"Jangan berpikiran buruk. Akan lebih baik kalau kamu sapa mereka sekarang."

"Aku merasa mereka ga bisa diganggu."

"Kenapa?"

Aku tidak punya jawaban. Mataku kembali melirik mereka. Ponselku menyala.

Di rumah sakit.

Tidak kubaca. Apalagi kubalas. Mataku melirik ke arah tempat duduk mereka. Kak Juna masih ceria dengan Kak Mia. Rian menyadari gerakan mataku.

"Mau di temui saja? Daripada kamu penasaran?"

"Memangnya kamu ga penasaran?"

"Kenapa harus penasaran? Aku ga punya hubungan apapun dengan mereka. Bahkan kalaupun salah satunya mantan pacarku, dia cuma mantan."

"Kenapa dia harus batalin janjinya sama aku?"

"Karena dia sibuk?"

Aku melirik mereka lagi. "Dia ga sibuk."

"Lantas apa?"

"Dia... cuma ga sibuk."

Ice Cream SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang