Cinta

7 2 0
                                    


"Kamu pulang sendiri dulu ya, Mi. Aku harus antar Mia."

Aku menghela nafas. Lagi-lagi Kak Mia. Aku tak mengerti. Aku yang terlalu berlebihan, atau memang akhir-akhir ini Kak Juna terlalu mendahulukan Kak Mia? Kenapa beberapa hari ini rasanya sulit menghubungi Kak Juna. Alasannnya selalu sama. Kak Mia membutuhkannya. Lalu aku tak membutuhkannya?

Sejak kuliah, Kak Juna selalu pergi dan pulang dengan Kak Mia. Bahkan saat datang berkunjung pada latihan PMR di sekolah. Minggu ini dia datang dengan Kak Mia di jok belakangnya. Dan pulang dengan orang yang sama. Meninggalkan aku. Sejujurnya itu bukan masalah besar. Tapi perasaan egoisku muncul dan mulai merasa ada yang salah.

"Kamu suka Kak Juna?" Rian lagi-lagi bertanya begitu. Aku tak mengerti. Kenapa Rian selalu menanyakan pertanyaan yang sama setiap kali kami bertemu. Seolah dia mengetahui sesuatu yang tidak ku sadari. Apa?

"Sebenarnya ada apa?"

Rian menggeleng. "Aku Cuma mau mastiin aja. Kamu yang tahu isi hatimu sendiri. Aku ninggalin Kak Mia karena aku menyadari perasaanku bukan cinta. Aku tinggalin dia karena ga mau semakin sakiti hatinya."

Dia makan eskrimnya. "Jadi aku tanya kamu. Kamu suka Kak Juna? Karena kalau ternyata rasa itu bukan cinta, kamu mungkin udah sakiti dia secara ga sadar."

Ucapan Rian saat itu terus kupikirkan. Apa yang ada di dalam hatiku sebenarnya? Apa yang hatiku inginkan? Kenapa aku berubah menjadi egois? Apa mungkin sifat acuhku itulah yang perlahan membuat Kak Juna menjauh?

"Sebenarnya cinta itu apa?" tanyaku satu kali. Kak Kira, yang saat itu duduk disebelahku menoleh. Dia tersenyum sambil kembali menatap ponselnya. "Cinta menurutku adalah perasaan ingin memiliki. Perasaan yang meluap-luap sampai kamu tak bisa mendeskripsikannya."

"Cinta itu anugrah." Ini jawaban Seno saat kutanya. Dia menjawabnya sambil tersenyum simpul. Ibu jarinya mengelus foto Jihan yang ada di dompetnya. Ukurannya kecil. Hanya foto ukuran pasport yang entah bagaimana dia simpan di dalam dompetnya.

"Kamu ga bisa memiliki Jihan. Itu anugrah juga?"

Seno langsung menoleh. "Anugrah yang kumaksud itu perasaannya. Bukan orangnya. Aku memang ga bisa memiliki Jihan untukku sendiri. Tapi perasaan itu tetap ada dan ga bisa dirubah. Bahkan meskipun kamu sendiri lihat berkali-kali aku jatuh untuk Jihan. Perasaanku ga berubah."

"Walaupun kamu harus sakit dan luka berkali-kali?"

"Itu pembelajaran, Mi." Jeda sebentar. Seno melamun. "Luka dan sakit itu yang bikin aku lebih kuat menghadapi luka-luka lain yang mungkin akan datang. Artinya, cinta adalah anugrah yang membuatku lebih kuat menghadapi hatiku sendiri."

Kali itu adalah pertama kalinya aku melihat Seno berucap dengan bijak.

"Cinta itu adalah perasaan bahagia yang tak terhitung." Puti menjawab pertanyaanku. "Kamu tahu, berapa jumlah kebahagiaan yang aku dapat saat Kak Didi bersamaku?"

Aku menggeleng.

"Tak terhingga." Puti meminum es jeruk yang rencananya akan dia berikan pada Kak Didi. Aku agak meringis. "Aku sendiri ga bisa hitung jumlahnya. Yang pasti, rasanya bahagia. Bahkan saat Kak Didi harus bersikap baik sama cewek lain, aku tetap bahagia diatas rasa kesal dan jengkel."

"Kamu ga takut dia diambil orang?"

"Siapa yang berani ambil dia dariku?" Aku agak mundur karena Puti mengatkannya sambil menyalak galak. "Mi, sekali lagi aku akan jawab bahwa aku bahagia sama dia. Kebahagiaan itu yang buat aku percaya, kalau dia ga akan berpaling dariku. Buatku, selama aku masih merasakan kebahagiaan itu walau hanya seujung kuku, dia ga akan pernah berpaling dariku."

"Artinya, kalau kamu udah ga lagi merasakan kebahagiaan itu, cinta itu sudah hilang?"

Puti mengangguk. "Karena cinta adalah kebahagiaan. Karenanya Mi, kalau kebahagiaan itu udah gak lagi kamu rasain, lebih baik kamu pergi. Bahkan saat kamu masih ingin dengannya."

Saat itu, untuk pertama kalinya aku melihat Puti berucap bijak soal kebahagiaan. Tapi dari caranya berkata, aku tahu ucapannya benar-benar tulus dari hatinya. Walaupun setelahnya aku nyaris meloncat menjauh saat dia menyalak lagi. Mata elangnya baru saja melihat seorang adik kelas memberikan air minum untuk Kak Didi di pinggir lapangan.

"Cinta macam apa yang ingin kamu tahu, Mi?"

Aku terkejut. Rian justru menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan baru. "Memangnya ada berapa jenis cinta?"

"Menurutku ada tiga jenis cinta dalam hidup." Dia membayar eskrim kami. Kasir minimart menatapnya. Sama penasarannya denganku pada filosofi cinta yang dimiliki Rian.

"Pertama, cinta yang nyata. Yang sudah kamu punya dan rasakan sejak kecil. Cinta pada orang tua, keluarga, sahabat, dan orang-orang disekelilingmu."

Dia membersihkan lantai untuk aku duduk. Seperti biasa, kita akan nongkrong di teras minimart  sebelum benar-benar pulang. Aku masih mendengarkan. Sikap sopannya sampai saat ini masih membuatku kagum.

"Kedua cinta yang semu. Cinta yang hanya muncul sesaat. Hanya berupa rayuan-rayuan bahagia yang gak akan abadi. Aku sudah rasakan cinta itu."

"Cintamu sama Kak Mia?"

Dia mengangguk. "Tahap itu aku merasa seolah dia akan hidup denganku selamanya. Tapi nyatanya, rasa cinta itu kian hari kian berkuarang. Bukan karena dia yang tak lagi menarik. Kamu sendiri tahu seberapa menarik penampilannya. Bukan juga karena dia ga baik. Semua orang yang mengenalnya tahu bagaimana baiknya dia."

"Lantas kenapa?"

Rian menggeleng. "Mungkin karena cinta yang kualami sama dia itu semu, Mi. Cinta itu bukan cinta yang kucari. Bukan cinta yang datang dari hati. Jadi perlahan cinta itu mengikis. Dan saat aku sadar, cintaku udah hilang buat dia."

"Lalu yang terakhir?"

Kali ini Rian tersenyum. Matanya menatap tepat dimataku. "Yang terakhir itu cinta sejati. Aku ga perlu menjelaskan apa-apa, kan? Usiamu sudah lebih dari lima belas, aku yakin kamu sudah paham apa itu cinta sejati."

Aku hanya mengangguk. Semua orang juga tahu apa itu cinta sejati. Seperti Pangeran yang rela mengelilingi kerajaan hanya untuk mencari pemilik sepatu kaca. Seperti pangeran yang mencium Putri Salju begitu melihatnya hanya untuk membuatnya bangun. Seperti itulah cinta sejati yang kutahu. Bahagia selamanya.

Es krimku mulai meleleh dan aku sudah hilang selera memakannya. Terlalu fokus mendengarkan filosofinya tentang cinta dari Rian.

"Kamu percaya cinta pandangan pertama, Yan?"

Rian mengangkat bahu. "Aku belum pernah mengalaminya, sih. Beberapa orang yang mengalaminya mungkin percaya. Tapi sejauh ini, aku belum pernah menemukan kasus itu. Jadi ga ada yang bisa kupelajari."

Aku mendelik. "Memangnya kamu fikir cinta itu iptek sampai harus dipelajari segala?!"

Dia tertawa.

Saat itu, aku berpikir. Apa cinta sejati benar-benar akan bahagia selamanya?

Ice Cream SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang