Melati

6 2 0
                                    


Siswa baru yang ditolong Rian hari itu bernama Melati. Dia dari kota dan berasal dari SMP terpandang di kota. Sekali lihat aku bisa langsung tahu dia adalah tipe gadis yang manja dan mungkin merepotkan. Hanya dua hari kemudian dia kembali di gendong Rian ke UKS. Temannya masih sama, menemaninya sampai dia punya tenaga untuk pulang. Saat itu, entah kenapa aku tidak begitu menyukainya.

"Memangnya panitia ga ingetin kalian? Kalau ada teman yang sakit bilang sama panitia, supaya ditangani lebih cepat. Kalau sudah parah, siapa yang sanggup menolong?!"

"Aku sudah bilang dia, Kak. Kak Rian juga sudah berkali-kali maksa dia untuk ke UKS aja, tapi Melati ga mau. Dia bilang dia kuat."

"Ini sih bukan kuat! Sok kuat. Sudah kuingatkan dari sejak pagi kalau sakit lebih baik istirahat. Kalau begini kan merepotkan. Kamu mengotori laporanku, tahu?!"

Aku memukul lengan Chika. Mengingatkannya untuk tidak kasar pada kelompok yang dia dampingi. Chika memutar mata malas. Dia tak banyak peduli pada teguranku. "Kalau begitu, aku akan bilang sama panitia kamu ga akan ikut besok. Biar kamu istirahat saja dirumah. Kalau sakitmu kambuh lagi, kasihan tim medis nantinya..."

"Ga mau kak..." Melati menjawab lesu. Dia cemberut. "Aku akan tetap ikut besok. Besok kan kegiatan penutupan dan puncak acara MOPD. Aku mau ikut."

"Kalau begitu jangan merepotkan. Sadari sendiri kemampuan tubuhmu. Kalau sakit bilang. Istirahat dengan tim medis." Chika diam sebentar. Dia minum dari botol minumku untuk meredam rasa kesalnya. "Kalau kamu Cuma mau niat cari perhatian Ketua Tim PD, tolong berhenti. Sebagai temannya, aku ga suka. Caramu itu norak! Menyebalkan."

Aku tersedak ludahku sendiri saat itu. Mulut Chika memang tidak pernah mengecewakan. Aku seharusnya tidak terkejut mendengar kalimat seperti itu terlontar dari mulut Chika.

Ucapan Chika saat itu barang kali bukan tanpa alasan. Keesokkan harinya, saat berkeliling untuk memantau kesehatan peserta MOPD aku memang melihatnya. Aku melihat bagaimana cara Melati menatap Rian yang terus terang terasa mengganggu. Bahkan bagiku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana Rian yang menerima pandangan itu setiap kali dia datang.

"Lihat, padahal Rian Cuma diam. Dia kan ga ganteng. Kenapa penggemarnya banyak sih?" Ini gerutuan Seno yang kalah pamor. Percaya atau tidak, dia mengatakannya dengan wajah datar. Auranya masih tajam karena jas hijau.

Beberapa anak lain memang kebanyakan melirik pada Rian. Ada empat laki-laki dalam Tim PD, keempatnya menjadi sorotan bagi kaum hawa. Rian tentunya salah satunya. Dengan jabatannya sebagai pemimpin tim, pamornya naik cukup pesat. Tapi dari sekian orang yang terus terang naksir Rian, Melati ini yang menurutku paling mengganggu.

Bukan Cuma karena dia banyak bersikap berlebihan, tapi juga karena dia benar-benar menyiksa dirinya demi mendapat perhatian dari Rian.

"Bawa minum, ga? Aku haus.." Aku menyerahkan botol minum tanpa kata. Masih mengamati siswa baru yang melakukan kegiatan di lapangan. Saat itu, Melati sudah mulai pucat. Chika sudah mengomelinya untuk segera ke UKS agar tidak merepotkan yang lain.

Rian melirik sekilas. Dia juga jelas terganggu. Pada akhirnya Rian menarikku untuk masuk ke UKS dan menyerahkan tugas medis pada anggota lainnya. Mereka hanya mengangguk saat Rian menarikku tanpa kata. Saat itu, aku baru menyadari kalau wajah sawo matang Rian sudah menghitam karena kepanasan. Jadi aku mengikuti saja tanpa banyak protes.

Rian menarikku masuk ke ruang obat. Dia mengintip di jendela dan kami melihat Melati mulai menurut pada Chika. Kali ini aku benar-benar yakin dia menurut karena melihat Rian masuk ke UKS. Rian sendiri menghela nafas.

"Kalau semua orang cantik harus merepotkan begitu, aku mau sama yang jelek saja deh."

"Loh, jangan dong. Mau jadi apa keturunanmu nanti?"

Rian mendelik. Dia mendorong dahiku sambil mencibir. Rian kemudian duduk di meja setelah mendengar suara Melati di dalam bilik UKS. Dia mendesis menyuruhku diam. Aku mengangkat bahu acuh.

"Kamu jadi populer belakangan ini. Padahal dulu keberadaanmu seperti makhluk goa. Ga diketahui."

Rian menyeringai. "Titel ku dulu adalah 'temannya Seno'. Sekarang malah Seno yang jadi 'temannya Rian'. Dia kalah pamor dariku." Dia berucap bangga sambil melihat catatan stok obat. Dia menandai beberapa obat yang hampir kadaluarsa.

"Kamu senang jadi terkenal?"

"Terkenal itu agak merepotkan ternyata. Tadi pagi aku dapat sarapan gratis. Tapi menunya malah udang. Aku alergi, jadi kukasih Seno. Orangnya tak terima saat lihat Seno yang makan. Aku malah jadi bingung harus bersikap bagaimana."

Ya. Aku melihatnya. Pagi tadi seorang anggota OSIS memang memberikan sarapan nasi goreng udang, Seno yang memberitahuku menunya, untuk Rian. Tapi karena Rian alergi udang, dia memberikan makanannya pada Seno yang dengan senang hati menerima. Tapi cewek itu tak suka dan marah pada Seno. Menganggap Seno yang mengambilnya dari Rian.

"Kamu sendiri gimana?"

"Aku?"

"Iya. Kamu suka aku jadi terkenal? Kupikir kamu suka orang terkenal?"

Aku mencibir. "Aku bukan perempuan gampangan! Cuma karena kamu jadi terkenal, bukan berarti aku bakal suka. Lagipula kamu kan temanku."

Rian diam. Dia tersenyum simpul. "Padahal aku sudah bilang. Terjebak dalam pertemanan itu menyebalkan."

"Kak, Kak Rian dimana? Bukannya tadi ke sini ya?"

Kami langsung diam mendengar suara itu. Suara Melati. Rian bahkan menjaga telunjuk di depan mulut. Dia mendekat ke pintu untuk menguping pembicaraan dalam bilik UKS.

"Rian siapa?" Lusi yang menjawab. Anggota PMR kelas sebelas.

"Kak Rian. Penegak Disiplin. Bukannya tadi dia masuk ke UKS?"

Hening sebentar. Hanya terdengar pembicaraan dari orang lain. "Aku ga liat dia masuk. Dia kan sibuk. Lagi kegiatan di luar begini biasanya banyak yang melanggar aturan. Waktu angkatanku, Tim PD panen penghargaan dari kesiswaan karena banyak anak-anak yang melanggar aturan sekolah dan MOS sekaligus. Apalagi angkatan kalian nakal sekali. Sudah gitu centil pula."

Mulut Lusi adalah sama dengan mulut Chika. Hanya dalam versi yang sedikit lebih halus dan sopan. Kami terkikik mendengar jawaban itu. Melati mungkin malas bertanya lagi sehingga suaranya tak terdengar lagi. Aku membuka pintu sedikit untuk mengintip keadaan di luar.

"Melati lagi tidur menghadap tembok..." ucapku sambil terkikik. Tapi aku agak terkejut saat Rian keluar diam-diam. Telunjuknya masih didepan mulut. Yang melihat pun akan diam menurutinya. Aku mengernyit saat dia berjinjit keluar dari UKS sambil terkikik.

"Dia kenapa?" Hadi bertanya tanpa suara. Aku menggeleng tak punya jawaban.

"Kak, Kak Rian dimana? Bukannya tadi bareng sama kakak?"

Aku menoleh. Agak terkejut karena Melati benar-benar bertanya padaku. Aku mengangkat bahu acuh. Tak mau ambil pusing. "Kerja lah. Dia kan punya tugas juga..." jawabku santai.

Saat itu aku benar-benar tidak nyaman pada cara Melati memandangku.

Ice Cream SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang