Kabar putusnya hubunganku dengan Kak Juna tersebar ke sekolah cukup cepat. Beberapa ada yang berpendapat miring. Aku tak begitu mempedulikannya. Beberapa mengucapkan bela sungkawa seolah aku baru saja kehilangan salah satu anggota keluarga. Aku hanya tersenyum kecil menanggapinya. Tak ada yang bisa kulakukan untuk menanggapi komentar mereka. Tak mau memberi tanggapan.
Aku tak begitu mendengarkan komentar mereka yang kebanyakan semena-mena. Beberapa bahkan membuatku mendelik tak terima. Cerita yang beredar benar-benar berbeda dengan yang kualami. Puti dan Salma bahkan sempat terlibat pertengkaran dengan beberapa kakak kelas yang sempat menggosipkanku.
"Biar saja. Biar mereka tau rasa. Satu dua kali mereka harus di tegur biar jera!"
Puti bersungut-sungut saat kutanya. Salma sudah pulang dijemput pacarnya. Kak Didi meringis melihat pacarnya tampak ganas sambil makan es krim. Sejak pagi dia mengeluh karena Puti terus memarahinya.
"PMS..." mulutnya bergerak tanpa suara. Tak ingin menjadi korban kemarahan Puti lagi.
Aku mengangguk mengerti. Puti tak akan mendengarkan ucapanku saat ini. Lagipula semuanya sudah terjadi. Rian dan Seno tidak membeli eskrim. Mereka membeli minuman bersoda. Tapi tetap bergabung duduk di depan minimart denganku dan Puti.
"Lagian kenapa sih mereka repot-repot ngurusin soal Ami. Yang putus cinta kan Ami, kenapa mereka harus sepenasaran itu? Apa menariknya?"
Kak Didi masuk ke minimart dan kembali dengan satu cup eskrim ukuran sedang melihat es krim Puti sudah habis. Aku meringis melihatnya makan dengan lahap. "Mana ceritanya beda banget sama kenyataan yang terjadi. Dasar bigos. Siapa pula yang sebar fitnah itu?! Yang salah itu Kak Juna!! Hatinya terpaut sama orang lain tapi pacari temanku!" Puti membuka es krim yang baru dibelikan Kak Didi.
"Padahal sudah kuingatkan berkali-kali, tetap saja kaya gitu. Sekarang biar dia sendiri rasakan penyesalannya. Aku ga akan ragu tertawa di depan mukanya kalau dia datang lagi sama kamu, Mi. Lihat saja, dia akan menyesal sudah seperti itu sama kamu!"
Rian dan Seno melirikku dengan kompak. Aku mengernyit. Puti mungkin tak sadar sudah mengucapkan kalimat sakral yang seharusnya tidak dia ucapkan. Itu terbukti dengan wajah pucatnya tak lama kemudian. Dia melirikku perlahan.
"Mi..."
Aku menghela nafas pasrah. "Jadi kalian sudah tau dari awal?"
Seno meminum sodanya sekaligus. Menyiksa tenggorokannya. Jelas tak mau ikut terlibat walaupun aku yakin dia tahu apa yang kumaksud. Kak Didi tak menunjukkan reaksi banyak.
"Apa Cuma aku yang ga tau apa-apa?"
"Bukan ga tau apa-apa." Rian menyimpan kaleng soda di meja. Matanya tepat ke mataku. "Kamu hanya kurang memperhatikan sekitar. Dan lagipula semuanya memang bias..."
"Kenapa aku ga sadar ya? Itu alasanmu selalu tanya apa aku suka Kak Juna atau engga?"
Rian mengangkat bahu. Dia tak banyak komentar. "Mungkin itu memang sifatmu. Terlalu acuh. Jadi semuanya terlihat biasa dimatamu..."
"Lagipula, cara dia bertindak memang terlihat biasa saja." Seno berdehem saat kami mendelik menatapnya. "Maksudku, cara mereka bertindak itu terlihat biasa. Seolah semuanya terjadi secara alami. Sejak awal aku lihat mereka, mereka memang seperti itu, kan?"
Aku diam. Ucapan Seno memang benar. Sejak awal aku mengenal mereka, aku bahkan mengira mereka berpacaran karena interaksinya. Bahkan aku sempat terkejut mendengar Kak Mia ternyata adalah pacar Rian.
"Sebenarnya aku udah lihat mereka seperti itu sejak awal juga. Sejak pertama kulihat Kak Juna sebagai wakil ketua osis saat aku masuk SMA. Mereka memang seperti itu dan semuanya memang terlihat biasa. Seolah mereka memang sudah biasa memperlakukan orang lain seperti itu." Kak Didi berucap pelan. Terlihat agak ragu melirikku.
"Itu alasanmu putusin dia?" tanyaku pada Rian.
Rian diam sebentar. Tapi kemudian mengangguk pelan. "Diluar itu, aku merasa rasa cintaku perlahan mengikis. Ga seperti semula lagi..."
"Kalau Kak Juna sudah begitu sejak Kak Didi melihatnya, menurut kalian berapa lama dia terus begitu?"
Pertanyaan Seno mendapat tatapan aneh dari kita semua. "Maksudmu?"
"Coba pikirin deh. Kita main logika aja. Kenapa kamu bisa tetap mengarahkan sendok ke mulut, meskipun kamu ga lihat sendoknya?"
"Karna sudah terbiasa. Sejak kamu lahir, kalau makan sendok diarahkan ke mulut. Mana mungkin ke hidung." Puti menjawab logika aneh Seno.
"Tapi kenapa kalau kamu minum pake sedotan, kadang masuk ke hidung?"
Aku mendelik pada Rian yang menanggapi jawaban Puti. Tapi ucapan Rian mau tak mau kupikirkan. Jika sudah biasa, lantas kenapa rasanya berbeda? Padahal mereka mengarah pada arah yang sama.
"Karena kalo pake sedotan, kamu harus menyesuaikan panjang sedotannya dengan mulutmu."
"Tapi keduanya sama ke mulut, yang?!"
Puti mendelik. Kak Didi menutup mulut.
"Karena meski terbiasa, rasanya tetap beda." Aku diam. "Meskipun mereka terbiasa barengan sejak kecil, perasaan mereka berdua sudah berbeda sekarang. Tapi mereka tetap terbiasa bersama. Hanya rasanya yang beda..."
Seno menatapku prihatin. Aku tersenyum masam. Rian diam. Puti diam. Kak Didi minum soda. "Mereka mungkin sudah rasakan itu sejak lama. Tapi baru disadari sekarang ini. Dalam pandanganku, Kak Mia bahkan belum menyadarinya sama sekali."
"Mungkin karena perhatian Kak Juna padanya sangat biasa dia terima. Jadi dia tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang spesial." Jawabku. Mereka mengangguk setuju.
Seno mengambil cup eskrim yang sedang dimakan Puti. Puti sempat memukul lengannya, tapi dia tidak melarang sama sekali. "Kira-kira, berapa lama mereka bisa bertahan dalam keadaan itu?" Dia menyerahkan cup eskrim yang tersisa seperempat itu pada Puti lagi. Puti memukul kepalanya melihat sisa es krimnya. "Maksudku, berapa lama mereka bisa bertahan dalam dunia friendzone? Aku hanya mampu bertahan kurang dari 6 bulan. Lalu menyerah dan kutinggal..."
"Itu karena kamu ga sabar!"
"Ya kamu bayangkan saja sendiri! Aku sudah menunggu selama itu, tiba-tiba aku di samperin pacar baru yang usia pacarannya bahkan ga lebih lama dari waktu aku nunggu! Aku lelah mas, aku lebih baik menyerah!"
Kak Didi menyemburkan soda yang sedang diminumnya tepat didepan muka Seno. Memandang Seno dengan pandangan jijik yang tak ditutupi sama sekali. Seno meringis sambil melap mukanya dengan jaket.
"Pertanyaannya sekarang, apa kamu masih suka Kak Juna?"
Pertanyaan Rian itu mendapat seluruh atensi. Mereka menatapku.Aku diam sebentar. "Aku masih suka Kak Juna." Ku minum soda yang sudah tidak diminum Rian. Mereka masih menunggu seolah tau aku akan melanjutkan kalimatku."Tapi bukan cinta. Itu Cuma semu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ice Cream Senja
Novela Juvenil"Terjebak dalam cinta lama memang menyebalkan. Tapi terjebak dalam persahabatan itu lebih mengerikan bagiku." - Rian Ya. Rian benar. terjebak dalam pertemanan amat sangat menyebalkan. Karena berteman dengannya sangat menyebalkan. Maka biarlah kita t...