Aku ingin pergi, berlari sejauh yang aku mau. Untuk kesekian kali, aku menggenggam luka yang begitu dalam menyayat hati.
~Zahira Ayyuna
*********
Saat itu, aku baru menginjakkan kakiku di kelas 12 SMA. Sejak kecil aku selalu menjadi juara kelas, mengikut berbagai macam olimpiade, bahkan ketika aku kelas 2 SMP aku diutus menjadi perwakilan dalam perlombaan siswa berprestasi tingkat provinsi. Di mana perlombaan itu mencakup semua mata pelajaran di sekolah, aku menyabet juara pertama.
Aku memutuskan untuk melanjutkan SMA di kabupaten kotaku, di terima di SMA favorit adalah kebanggaan tersendiri untukku. Aku mencintai dunia matematika, fisika dan juga kimia. Itulah mengapa saat SMA aku menargetkan harus menjadi anak IPA. Dan ya, aku berhasil lolos seleksi.
Saat itu liburan kenaikan kelas, aku pulang ke rumah. Berbeda jauh dengan aku yang saat berada di sekolah dan di rumah. Di sekolah, kala bertemu dengan teman-teman aku menjadi pribadi yang sangat periang, disukai banyak orang dari adik kelas sampai kakak kelas. Namun ketika di rumah, aku menjadi anak yang sangat pendiam, jarang berbicara dan jarang berkumpul bersama keluarga.
Aku selalu berusaha menghasilkan yang terbaik dalam bidang akademik maupun non akademik untuk orang tuaku, namun mereka tidak pernah merasa bangga dengan segala prestasi dan pencapaianku.
Aku anak kedua dari tiga bersaudara, kakakku bernama ivan, dan adikku bernama zumi. Aku anak perempuan satu-satunya. Menurut orang di luar sana, hidupku begitu dimanja, apapun yang aku inginkan selalu diberikan. Memang benar, dalam hal materi aku tercukupi, tapi dalam hal kasih sayang aku kekurangan terutama dari Ibuku.
Ayahku menyayangiku, sayangnya padaku melebihi sayangnya pada kakak dan adikku. Berbeda dengan ibuku, yang lebih menyayangi kakakku. Adikku? Dia mendapatkan kasih sayang yang imbang sepertinya.
Dari kecil, aku jarang sekali diperlakukan baik oleh ibuku. Tidak jarang ibu memukulku, dan berlaku kasar padaku. Sering sekali, kakakku membuat ulah namun ibuku melampiaskan emosinya padaku.
Pernah suatu hari aku bertanya pada kakakku, kenapa dia begitu membenciku. Lalu jawabannya begitu menyakitkan hatiku.
"Kamu itu pembawa sial. Harusnya kamu ngga pernah lahir, karena kamu ayah tidak terlalu menyayangiku" katanya.Aku sakit hati, tapi bagaimanapun dia tetap kakakku.
Sore itu sedang musim hujan, ditambah hari itu adalah hari terakhir di bulan ramadhon. Aku tengah berada di dapur, membantu ibu menyiapkan makan untuk buka puasa, meski acap kali ibu memarahiku atas kesalahan yang aku tidak tau apa.
Hingga sebuah ketukan pintu membuatku menunda pekerjaanku. Aku berlari kedepan, membuka pintu untuk tamu itu. Ternyata yang datang adalah mantan pacar kakakku, yaitu Kak Diana beserta keluarganya, aku bertanya-tanya dalam hati, ada apa ini?.
Kupersilahkan mereka semua untuk duduk di ruang tamu, kemudian ayahku ikut menemui mereka, di susul ibuku yang datang dari arah dapur. Ibuku begitu senang menyambut mantan pacar kakakku, karena memang setauku dia gadis yang sangat baik.
Namun pandanganku seketika menyipit curiga, mantan pacar kakakku hamil?.
"Assalamualaikum, maaf mengganggu waktu bapak dan ibu. Saya ayah dari diana, ingin bertemu dengan ivan sekaligus bapak dan ibu" ucap seorang lelaki tua di sebelah kak diana, beliau memperkenalkan diri sebagai ayah kak diana.
"Waalaikumsalam, nggak apa-apa pak. Ada keperluan apa ya bapak dan keluarga menyempatkan kemari?" tanya ayahku. Aku hanya mendengarkan sembari berpikir, apakah, ah tidak mungkin bukan?.
Ibuku sedang memanggil Bang Ivan di kamarnya, di lantai dua. Setelah ia turun, ia pun ikut duduk di kursi ruang tamu, bersebelahan dengan ayah dan ibu. Sedang aku dan adikku duduk di lantai sembari mendengarkan para orang tua berbicara. Kebetulan adikku baru berumur 5 tahun, jadi dia belum mengerti apa yang para orang dewasa ini katakan.
"Begini Pak Bu, saya baru saja pulang dari Jakarta berkerja. Tetangga samping rumah saya berkata pada saya bahwa diana tidak pernah keluar rumah, dan perutnya semakin membesar" ucap ayah kak diana. Orang tuaku kaget, raut muka ayah dan ibuku berubah menjadi merah antara menahan marah, kebingungan dan kegelisahan.
"Saya menanyakan hal ini pada diana, namun dia enggan berbicara, sampai akhirnya saya mengancam akan membawa dia ke dokter kandungan barulah dia berkata jujur" lanjut ayah kak diana.
"Saya hamil Pak Bu, anak dari Ivan" kali ini kak diana ikut berbicara. Beberapa penggal kata yang mampu membuat amarah ayah dan ibuku memuncak. Menyakitkan rasanya untuk orang tuaku. Mereka membesarkan kak ivan dengan kasih sayang dan perhatian, namun ketika besar ia benar-benar melempar kotoran di muka orang tua.
Ibuku menangis, sembari menatap kakakku. "Benar Van? Kamu menghamili diana?" tanya ibuku, kakakku hanya diam tak mengeluarkan sepatah katapun.
Kakakku memang terkenal sangat bebal, ia di keluarkan saat kelas 3 SMP karena ketahuan membawa minuman keras dan meminumnya di lingkungan sekolah. Sedari Sekolah Dasar dia tak pernah berhenti membuat ulah, hampir setiap hari ibuku di panggil kepala sekolah, dan pada saat SMP berkali-kali meneriman surat panggilan dari kesiswaan, hingga surat panggilan yang terakhir memutuskan untuk mengeluarkan kakakku dari sekolah. Namun, ibuku tidak pernah memarahi bang ivan, ibu selalu saja membela bang ivan sekalipun yang bang ivan lakukan adalah kesalahan yang fatal. Mungkin karena pembelaan terus menerus dari ibu yang pada akhirnya menjadikan bang ivan pribadi yang semakin bebal dan tidak bisa diatur.
Karena ulahnya dari kecil itu, aku selalu di bully di sekolah. Teman-teman sekolah mengatakan bahwa aku memiliki abang yang tidak baik akhlaknya. Aku dikucilkan, dimusuhi dan tidak memiliki teman satupun. Karena itulah aku memutuskan untuk menjadi anak yang unggul di sekolah, mengikuti berbagai macam perlombaan setiap harinya. Setidaknya dengan sibuk belajar dan mengikuti perlombaan, aku bisa sedikit menghindar dari perkataan kejam mereka dan tidak memusingkan masalah pertemanan.
Sore itu, keluargaku dan keluarga kak diana memutuskan untuk menikahkan kak diana dengan bang ivan. Aku dan keluargaku diajak kerumah kak diana.
Di sana sekitar pukul setengan delapan malam, dimulailah acara akad nikah itu, dengan penghulu salah satu ustadz yang ada di desa kak diana. Ya, kami menikahkan secara sisi baru setelah anak kak diana lahir mereka akan menikah di KUA, karena keadaannya memang tidak memungkinkan.
Aku masih tercengang, memikirkan akan bagaimana nasib keluargaku nanti di desaku. Bahkan berita ini pun sudah menyebar dengan sangat cepat. Memang di desa kalau masalag gosip selalu menjadi hal yang paling cepat tersebar.
Aku menerawang jauh, sebelum bang ivan melakukan hal seperti inipun aku telah menjadi bahan hinaan teman-teman, lalu bagaimana jika kabar ini tersebar di sekolah? Akan seperti apa lagi pembullyan yang aku dapat nanti?.
Aku duduk seorang diri di depan rumah kak diana, setetes air mata berhasil lolos dari kelopak mataku. Kenapa rasanya begitu menyakitkan? Mengapa harus aku Tuhan?.
******Jangan lupa berdoa, belajar dan berusaha. Terimakasih..
KAMU SEDANG MEMBACA
ZAHIRA [SELESAI]
Teen FictionKulalui liku hidup, meski berderai air mata. Kadangkala dunia terasa sangat tidak adil, menguji makhluk yang bahkan telah lunglai. Duniaku terasa sangat menyakitkan. Luka demi luka kuseka, tapi duka tak henti memenjara. Entah kapan terakhir kali aku...