Manusia memang suka sekali menyalahkan. Namun, jarang sekali yang bersedia merenung dari sisi positif sebuah kehidupan.
~Author
********
Berbeda dari hari biasanya, Abyan memasuki ruang kelas di mana ia mengajar dengan tatapan yang begitu tajam. Seolah mengintimidasi siapa saja yang menatapnya.
Beberapa hari belakangan jam tidur Abyan tidak teratur. Seringkali ia tertidur di ruang kerjanya. Dengan laptop yang masih menyala, disertai dering ponsel yang selalu mengganggu malamnya.
Ia seolah diteror oleh pekerjaannya sendiri.
"Pagi." Bahkan ia tidak seramah biasanya. Ia cenderung ketus dan galak pada siapapun. Abyan ini seperti perempuan saja, moodnya mudah terganggu.
"Pagi, Pak." anak kelas C4 serempak menjawab salam dari dosen mereka. Mata para kaum hawa setia menatapnya.
"Jangan liatin saya sampai mata kalian seperti mau copot. Saya manusia, bukan setan." Biasanya Abyan tidak mempermasalahkan kaum hawa yang menatapnya penuh kagum dan memuji.
"Kayanya Pak Abyan lagi dateng bulan deh, Ra. Galak banget buset." Ucap widi pada Zahira. Zahira mengangguk setuju.
"Lagi bad mood mungkin," jawab zahira asal.
"Tugas yang minggu kemarin saya kasih, sekarang dikumpulkan. Satu orang saja yang mengumpulkan, nggak usah ke depan semua. Pusing saya ngeliatnya."
Daffin bangkit dari duduknya. Menghampiri teman kelasnya satu persatu. Mengambil tugas individu mereka lalu meletakkan di atas meja dosen.
Abyan membolak-balikkan tumpukan kertas tersebut. Mengoreksi satu persatu tugas yang dikerjakan mahasiswanya itu.
Brakk.
Pertama kalinya selama menjadi dosen, Abyan menggebrak meja. Matanya menajam. Membuat tatapan kagum padanya berubah menjadi tatapan ketakutan.
"Kalian semua ini mahasiswa. Kenapa mengerjakan tugas semudah ini tidak ada yang benar satu pun." Abyan menarik napas. Emosinya benar-benar diuji pagi ini.
"Saya minta kalian membuat makalah tentang psikologi, dengan berbagai macam teori dalam psikologi. Teori psikologi itu banyak. Kenapa yang kalian bahas itu semua sama?."
Kemarin saat berdiskusi bersama, para mahasiswa dari kelas C4 ini sepakat menggunakan teori yang sama pula dalam melakukan penelitian. Mereka berpikir, jika isinya berbeda pasti Abyan tidak akan mempermasalahkan. Namun nyatanya, mereka seperti sedang membangunkan singa yang tertidur.
"Hal sepele kaya gini saja kalian masih harus diajarkan? Atau saya yang kurang dalam memberikan penjelasan? Atau kalian terlalu malas untuk mengerjakan tugas dari saya?"
Semua orang yang di sana tertunduk. Menyesal. Andai saja mereka tidak mengambil keputusan seenaknya tanpa persetujuan dari Abyan. Pasti Abyan tidak akan semarah ini.
"Jawab saya!" sekali lagi, Abyan memberi bentakan yang membuat para mahasiswanya dag dig dug ketakutan.
"Maaf, Pak. Itu murni kelalaian kami semua. Maaf, tidak meminta persetujuan Bapak saat kami mengambil keputusan atas tugas yang Bapak berikan." Daffin menjawab. Memberanikan diri, meski sebenarnya dia pun merasa terintimidasi.
Abyan menghela napas. Urusan pekerjaannya saja membuat dia pusing tujuh keliling. Lalu harus mengurusi mahasiswa yang bertindak ceroboh seperti ini.
"Kalian ini mahasiswa, bukan anak SMA. Kalau mendiskusikan tugas ya bersama dosen, jangan seenak jidat kalian." Abyan geram. Moodnya benar-benar hancur hari ini.
Padahal tadinya dia berharap, dengan pergi mengajar, bertemu dengan para mahasiswanya, akan membuat moodnya naik. Sebab mengajar memang kesukaannya. Tapi, nyatanya semua diluar ekspektasi.
"Maaf, Pak. Sekali lagi kami meminta maaf." Daffin menunduk sembari mengucapkan permintaan maaf. Mereka semua mengakui bahwa mereka ceroboh, seenaknya sendiri dan seolah tidak ingin diatur.
"Revisi. Buat ulang. Dengan judul yang berbeda. Gunakan teori yang berbeda pula." Suara Abyan memelan.
Tidak ada yang berani menjawab, mereka semua hanya mengangguk. Meski dalam hati, mereka mengeluh.
"Pertemuan hari ini cukup. Waktu terbuang hanya untuk membenarkan kesalahan dan kebodohan kalian semua."
Abyan melangkah meninggalkan ruang kelas, namun sebelumnya ia berkata pada salah satu mahasiswi di kelas C4.
"Zahira, ikut saya keruangan. Sekarang." Titahnya. Terdengar tidak mau ada penolakan. Ah, dosen itu selalu saja semaunya.
"Jangan-jangan Pak Abyan ada masalah lagi sama lo ya, makanya marah-marah di kelas kita kaya tadi." tuduh Widi. Zahira menyentil kening Widi, membuat siempunya meringis.
"Sembarangan lo. Mungkin beliau belum puas marah-marah sama kita. Makanya minta salah satu dari kita jadi samsaknya." Zahira bergidik ngeri. Takut jika benar dia akan jadi korban amarah Abyan.
"Hati-hati, Ra. Doi lagi PMS kayanya" ledek Della. Zahira mendengus sebal mendengarnya. Setelahnya berjalan menuju ruangan Abyan. Takut kalau sampai telat dia akan didamprat lebih kejam daripada tadi.
"Ada apa, Pak?" Zahira telah berada di ruangan Abyan.
"Saya nggak akan marahin kamu. Saya cuma mau cerita." Zahira melongo. Seorang dosen, menjadikan mahasiswa sebagai tempat curhat? Baru Abyan doang deh kayanya.
"Kenapa, Pak? . Bapak kayanya hari ini suntuk banget, ada masalah?" tanya zahira pelan.
"Ayah saya jatuh sakit sejak beberapa hari yang lalu. Akhirnya urusan kantor saya yang mengerjakan. Saya kurang tidur, setiap hari harus hadir di rapat perusahaan. Jam tidur saya selalu diganggu oleh sekretaris Ayah saya, lagi-lagi harus cek email, pengajuan proposal dan lain sebagainya."
Ohh jadi itu masalahnya. Pantas Pak Abyan kelihatan lelah sekali. Batin Zahira.
"Belum lagi saya harus bergantian menjaga Ayah di rumah sakit. Saya nggak mungkin membiarkan Mama saya yang berjaga siang malam." Raut muka Abyan, benar-benar menunjukkan kesedihan.
Guratan kemarahan yang Zahira lihat di kelas tadi, menguap. Suasana hati seorang Abyan, memang sedang kacau.
"Barangkali Bapak butuh bantuan, dan siapa tau saya bisa bantu. Saya bakal bantu kok, Pak. Lagipula Bapak juga sering bantuin saya" ujar zahira.
Abyan menggeleng pelan. Zahira berpikir, apa yang bisa membuat dosen muda itu setidaknya merasa lelahnya berkurang?.
"Pak Abyan sudah makan?" tanya Zahira. Sebab biasanya orang yang terlalu sibuk bekerja bisa melupakan banyak hal, salah satunya makan. Memberi asupan pada tubuh itu penting.
"Saya lupa kapan terakhir kali saya makan, Ra. Sepertinya kemarin atau kemarinnya lagi."
"Kebetulan mata kuliah saya lanjut siang nanti, Bapak mau makan sama saya? Saya nggak bermaksud apa-apa kok, Pak. Tapi makan itu penting, tubuh kita butuh energi."
Abyan berdiri, mengambil kunci mobil lalu berjalan kearah pintu ruangan. Zahira bingung, dosen itu mau kemana?
" Ayo, Ra. Katanya mau makan? Sekalian ngedate sama saya, gimana?" seulas senyum akhirnya terbit di bibir Abyan.
" Bagaimana Pak? Date? Bahasa inggris ya, Pak? Artinya hari, setau saya." entah bego betulan atau Zahira sengaja mengalihkan pembicaraan?.
"Haih saya punya mahasiswa kok loadingnya lama sih, ya sudah ayo makan"
Date? Yang Pak Abyan maksud date apa? Yang artinya hari? Atau dating? Kencan? Pak Abyan ngajak kencan?. Ayah, kayanya bentar lagi Zara nggak jomblo. Tapi jangan kegeeran Ra. Cicit Zahira dalam hatinya.
Dua insan berlainan jenis berjalan bersamaan. Membuat beberapa pasang mata yang melihatnya mencipta tanda tanya dalam kepala mereka.
Terkadang, cinta itu simple. Datang seenaknya, pergi juga bisa seenaknya. Simple kan?.
********
Jangan lupa berdoa, belajar dan berusaha. Terimakasih...
KAMU SEDANG MEMBACA
ZAHIRA [SELESAI]
Teen FictionKulalui liku hidup, meski berderai air mata. Kadangkala dunia terasa sangat tidak adil, menguji makhluk yang bahkan telah lunglai. Duniaku terasa sangat menyakitkan. Luka demi luka kuseka, tapi duka tak henti memenjara. Entah kapan terakhir kali aku...