Tak perlu merasa iba, sebab aku baik-baik saja. Biar seisi jagat mencibir, hatiku tak lagi terkilir.
~Zahira Ayyuna
********
Satu minggu berlalu. Zahira telah menyelesaikan masa UAS sekaligus melaksanakan kewajiban yang diberikan fakultas.
Sepulang dari Puncak, Bogor, ia memutuskan untuk pulang ke kampung halaman. Widi dan Abyan benar, ia pasti mampu melewati rintangan yang menghadang.
Tidak ada yang berkesan bagi seorang Zahira selama di Puncak. Bimbingan, lalu menikmati suasana dinginnya Puncak, yang menurutnya sama dinginnya dengan desanya.
Hanya beberapa dosen fakultasnya yang membersamai acara mereka, bahkan Abyan pun tidak ikut serta. Hal itu juga mungkin yang membuat seorang Zahira merasa bosan.
Walaupun hubungannya dengan Abyan tidak diketahui banyak orang, hanya Widi mungkin. Zahira tidak ingin kenyamanan belajarnya terganggu, dan pekerjaan Abyan pun bisa saja memiliki kendala jika hubungan mereka diketahui banyak orang.
Setelah enam jam perjalanan menggunakan kereta api, Zahira sampai di kampung halamannya. Tidak banyak yang berubah, bahkan mungkin mulut para tetanggannya tetap sama. Tetap senang mencibir orang lain.
Benar saja, di rumahnya telah ramai orang berlalu lalang. Sibuk mengerjakan banyak hal. Beberapa hari lagi pernikahan Ivan dengan seorang gadis yang bahkan Zahira belum mengenalnya, akan dilangsungkan.
Ini adalah pernikahan pertama Ivan yang sah secara hukum dan agama. Diana dan Ratna, hanya Ivan nikahi sah secara agama. Menyakitkan, tentu saja.
Zahira beranjak menuju kamar tercintanya, merebahkan diri dan mengistirahatkan kepalanya yang terasa pening. Setelah bertemu dengan kedua orang tuanya, menyalami beberapa kerabatnya, Zahira melenggang meninggalkan mereka semua.
Hanya ada kerabat Ayahnya, keluarga besar dari Ibunya enggan untuk hadir. Ibunya berasal dari Serang, Banten. Ayahnya yang berasal dari Jawa Tengah asli. Kemarin Zahira sempat bertukar kabar dengan sepupunya dari keluarga Ibu, mereka berkata hanya akan hadir di pernikahan Zahira saja. Entah apa alasannya, mungkin mereka pun merasa jengah.
Lalu, bagaimana kondisi hati Zahira saat ini? Malu. Jelas saja, untuk kesekian kali orang tuanya menggelar pernikahan untuk satu orang anaknya, dengan tiga orang wanita yang berbeda.
Dia ingin marah, tapi entah marah kepada siapa. Mungkin, memang harus seperti ini jalan hidup yang Zahira lalui. Terjal, berliku, curam dan menghabiskan terlalu banyak tenaga.
Hari berlalu begitu cepat. Hingga sebuah akad nikah akan digelar. Prosesi yang telah dilakukan Ivan untuk ketiga kalinya, namun yang pertama kalinya untuk wanitanya.
Zahira baru saja mengetahui nama gadis itu, Sahla. Inilah awal pertemuan Zahira dengan Sahla. Menurut pandangan Zahira, Sahla gadis yang baik. Dia ramah, dan mudah akrab dengan siapapun. Sama seperti mantan istri Ivan sebelumnya, Diana.
Ijab kabul telah selesai, dengan mata malas dan muak Zahira mendekat pada mempelai yang tengah berbahagia.
"Selamat, Kak. Semoga pernikahannya membawa keberkahan" ucap Zahira pada Sahla. Kakak iparnya itu tersenyum, memberikan ketulusan pada senyuman yang ia berikan pada Zahira.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZAHIRA [SELESAI]
Teen FictionKulalui liku hidup, meski berderai air mata. Kadangkala dunia terasa sangat tidak adil, menguji makhluk yang bahkan telah lunglai. Duniaku terasa sangat menyakitkan. Luka demi luka kuseka, tapi duka tak henti memenjara. Entah kapan terakhir kali aku...