Jangan terlalu fokus pada apa yang menyakitimu. Sebab hidup, tak akan selaras tanpa derita di dalamnya.
~Abyan Nandana
********
Gadis dengan surai hitam yang tergerai, baru saja keluar dari sebuah stasiun kereta api di Jakarta. Setelah sepuluh hari lamanya berada di kampung halaman, ia akhirnya kembali menghirup udara di kota metropolitan.
Dia menarik kopernya, sesekali melirik kearah ponselnya. Memastikan seseorang di sana telah menjemputnya.
Hingga sebuah mobil berwarna putih berhenti di depannya. Membuat senyum gadis itu mengembang. Seorang pria membuka pintu kemudi, melepas kacamata yang ia kenakan, lalu menghampiri gadis yang tengah tersenyum kepadanya.
"Kamu udah nunggu lama? Jalanan tadi macet banget, maaf ya." Pria itu menatap gadis di depannya dengan perasaan bersalah.
"Nggak kok, Kak. Tapi panas," rengek gadis itu. Tangan lelaki itu terulur untuk mengusap surai gadisnya.
"Ya udah, ayo masuk. Kopernya saya yang taruh di bagasi." Lelaki itu berlalu menuju belakang mobilnya, membuka bagasi dan meletakkan koper milik gadisnya di sana.
Jalanan Jakarta masih sama, panas, pengap dan polusi di mana-mana. Bahkan, AC mobil pun sudah terasa tidak dingin.
Deru knalpot memekakkan telinga, di tengah matahari yang terasa seperti di atas kepala. Zahira mengibaskan tangannya, berharap gerah yang ia rasa sedikit berkurang.
"Gerah, Ra? ACnya nggak berasa ya?" tanya lelaki di sampingnya yang tengah mengemudi, sambil sesekali melirik gadisnya.
"Kak, kayanya Jakarta makin hari makin nyiksa deh. Panas banget, saya sepuluh hari di kampung, pas dateng ke sini lagi kaya di Ospek sama Jakarta." Kekehan terdengar di telinga Zahira, ia melirik mendapati Abyan yang tengah menertawai dirinya.
"Ish, sebel. Malah diketawain." Zahira mencebik sebal, membuat Abyan terpaksa menghentikan tawanya.
"Kayanya suhu Jakarta segini aja deh, Ra. Mungkin efek kamu habis dari daerah yang suhunya dingin, jadi sampe sini kamu harus adaptasi lagi sama panasnya kota ini."
"Pas awal-awal di sini dan adaptasi, saya sakit satu minggu. Terus kalau nanti kaya gitu lagi, gimana dong Kak?"
Zahira teringat satu minggu pertama dirinya berada di kota besar itu. Demam, batuk dan pilek melanda dirinya. Untung saja dia sudah terbiasa merantau, jauh dari orang tua. Jadi ketika mendapati dirinya sakit, dia tidak akan merengek manja meminta pulang.
"Apa yang kamu pikirin, itu yang akan terjadi. Jangan kebiasaan mensugesti diri dengan hal negatif, nanti benaran terjadi baru deh nyesal. Pikirin yang positif aja. Oke." Abyan mengelus puncak kepala Zahira, setelah mengucapkan kalimat itu.
Zahira mengangguk, sedetik kemudian mengarahkan pandangannya ke luar jendela. Matanya dengan serius mengamati pemandangan di sepanjang jalan yang ia lewati.
Hatinya terenyuh, kala mobil berhenti di lampu merah. Ia menatap seorang wanita bersama satu orang anak kecil di pinggiran trotoar, terlihat sedang berteduh menghindari sengatan mentari.
Pakaian mereka amat sangat lusuh. Beralaskan selembar koran, wanita itu membaringkan anaknya yang tertidur. Miris, itu yang terlintas di benak Zahira. Di tengah peradaban Jakarta yang amat sangat maju, berbeda dengan provinsi lain di Indonesia, ternyata masih ada segelintir orang yang berada dalam kekurangan.
Tanpa sadar, air mata Zahira menetes. Membasahi pipinya yang memerah, entah sebab cuaca yang panas atau sebab ia menangis.
"Saya suka kesel sama mereka yang mengatakan wakil rakyat. Tapi malah menggunakan uang rakyat untuk kepentingan pribadinya, dan membiarkan rakyatnya hidup menderita." Abyan menengok, lampu merah masih lama. Dan entah mengapa, gadisnya tiba-tiba berkata seperti itu.
Abyan mengarahkan pandangannya, menatap keluar jendela, mencari tahu apa yang membuat Zahira mengeluarkan kalimat kritikan seperti itu. Setelahnya dia mengangguk, kemudian tersenyum.
"Kita nggak bisa menuntut semua orang berbuat baik, Ra. Toh, mereka yang ada di tahta pemerintahan memang sedari awal mencari suara rakyat hanya untuk kepentingan pribadi dan sebuah pangkat. Jadi nggak heran, kalau mereka dengan tega bahkan seperti orang yang tidak punya hati memakan uang rakyat."
"Tapi kamu harus tahu, Ra. Nggak semua orang yang duduk di kursi pemerintahan seperti itu. Masih ada segelintir orang yang dengan tulus ingin membangun Indonesia. Jangan hanya berfokus pada hal negatif, sesekali kita juga harus melihat ke arah yang positif. Bukan hanya sesekali malah, tapi sering-seringlah."
"Iya sih, Kak. Tapi apakah mereka ketika hendak melakukan hal yang merugikan seperti itu, tidak memikirkan bagaimana nasib orang-orang seperti mereka. Jangankan untuk tidur di tempat yang layak, untuk makan pun mereka kesusahan dan harus banting tulang."
"Saya nggak bisa ya bilang kalau semua itu sudah garisan Tuhan?. Saya nggak pernah ada di posisi mereka yang menjadi pemerintah, saya juga nggak pernah ada di posisi mereka yang menderita." Abyan menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Tapi saya berbicara sebagai sesama manusia. Menyakitkan? Sudah pasti, Ra. Mereka harus menjalani hidup dengan kondisi seperti itu, sedangkan pemerintah yang katanya wakil rakyat dengan mudahnya berbelanja barang bermerk, dan jalan-jalan keluar negeri." Abyan menarik napas.
"Tapi ini juga bisa dijadikan bahan perenunangan untuk kita, Ra. Ketika kamu merasa hidupmu menyedihkan, coba lihat mereka. Hidup kamu masih lebih baik dari mereka. Ketika kamu pengen ngeluh karena capek dengan tugas kuliah, coba kamu liat mereka yang bahkan nggak bisa mengenyam bangku sekolah. Ketika kamu merasa uang jajan yang dikasih orang tua kamu itu kurang, coba lihat mereka yang bahkan untuk makan sehari aja harus bersusah payah."
Zahira mengangguk, merenungi kalimat demi kalimat yang Abyan ucapkan. Abyan benar, hidupnya masih lebih baik dari mereka. Tapi Zahira tidak hentinya mengeluh, bahkan selalu merasa bahwa hidupnyalah yang paling menyedihkan.
Mobil Abyan berhenti di sebuah rumah berpagar hitam. Rumah yang setengah tahun ini Zahira huni. Ah, rasanya Zahira begitu merindukan kamar kostnya.
"Jangan terlalu dipikirkan, Ra. Hiduplah sesuai keinginanmu tanpa melanggar norma yang ada di masyarakat. Dan tentunya, tanpa melanggar apa yang tidak diperbolehkan dalam agama."
"Beberapa kalimat Kak Abyan buat saya sadar, kalau selama ini saya masih suka ngeluh dan nggak bersyukur. Tapi saya nggak pernah mau berpikir, kalau ada orang yang hidupnya masih lebih sulit dari saya."
"Yang udah lewat, ya biarin lewat, Ra. Jangan terlalu di masukkan ke dalam hati, biar nggak makin sakit hati. Yang baik, kamu ambil. Jadikan bahan introspeksi diri. Yang buruk, kamu buang. Jangan biarin hal buruk menguasai hati kamu."
Zahira mengangguk. Dia tersenyum pada Abyan. Lelaki itu, selalu berhasil membuat dirinya termotivasi.
"Makasih ya, Kak. Udah mau saya repotin, Kak Abyan langsung pulang. Jangan kemana-mana." Abyan tersenyum. Zahira, tidak pernah berhenti membuat seorang Abyan jatuh hati.
"Saya selalu di hati kamu kok, Ra." Abyan mengerling, membuat Zahira buru-buru membuka pintu dan beranjak keluar. Disusul Abyan yang menurunkan koper Zahira dari bagasi mobilnya.
"Ya udah, masuk gih. Saya pamit, ya. Kalau ada apa-apa hubungi saya aja. Istirahat, oke." Lagi, Zahira hanya mengangguk dan tersenyum manis pada Abyan. Sebelum melenggang pergi, Abyan sempat-sempatnya mengacak gemas rambut hitam Zahira.
Ada sebuah nasihat dari seorang Ayah. Jangan terlalu sering melihat ke atas, maka kamu tidak akan pernah bersyukur atas nikmat yang kamu dapat. Tapi, teruslah melihat ke bawah. Niscaya kamu akan sadar, betapa beruntungnya takdir yang Tuhan berikan, atas namamu.
**********
Jangan lupa berdoa, belajar dan berusaha. Terimakasih...
KAMU SEDANG MEMBACA
ZAHIRA [SELESAI]
Подростковая литератураKulalui liku hidup, meski berderai air mata. Kadangkala dunia terasa sangat tidak adil, menguji makhluk yang bahkan telah lunglai. Duniaku terasa sangat menyakitkan. Luka demi luka kuseka, tapi duka tak henti memenjara. Entah kapan terakhir kali aku...