Aku masih ingin berjuang, aku masih ingin menggenggammu, dan aku masih ingin membersamaimu. Jadi, tetaplah di sampingku. Kan kuusahakan apapun untukmu.
~Abyan Nandana
*********
Setelah mengantar Zahira pulang, Abyan kembali ke kampus. Pasalnya, masih ada beberapa kelas yang harus ia ampu.
Tepat pukul lima sore, Abyan telah selesai dengan semua kegiatannya. Ia mengemasi barangnya, lalu bergegas pulang. Ia lelah.
Tadi siang, saat baru sampai di kampus ia di panggil oleh dekan kampus. Beliau meminta Abyan menjelaskan hubungannya dengan Zahira. Syukurlah, pihak kampus memaklumi.
Abyan bergegas menuju parkiran mobil, sudah tak sabar ingin pulang. Ia ingin mengistirahatkan sejenak pikirannya, rasanya hari ini penat sekali.
Sore menjelang malam, senja mulai hilang, mentari pun sudah hampir tenggelam. Seolah waktu begitu cepat berlalu, tidak memberi kesempatan siapapun untuk bermalas-malasan.
Jakarta sore hari semakin padat. Hilir mudik kendaraan memenuhi jalan. Seolah tergesa ingin segera sampai, bertemu keluarga dan menikmati hangatnya kebersamaan dengan orang tersayang.
Abyan memarkirkan mobilnya di garasi rumah. Air mukanya terlihat begitu lesu, pikirannya masih melayang. Membayangkan kejadian tadi siang, membayangkan tangisan Zahira. Rasanya, begitu mengiris hatinya.
"Assalamualaikum, Ma. Abyan pulang, anak Mama yang paling ganteng laper!" kebiasaan Abyan ketika pulang setelah bekerja seharian, sepertinya akan selalu membuat siapapun geleng kepala.
"Waalaikumsalam. Tumben sampe sore banget, jadwalnya penuh hari ini? Mama udah masak, tapi mending kamu bersih-bersih dulu, sekalian sholat baru turun makan."
"Semester ini hari senin sampai rabu Abyan ngajar sampe sore, Ma. Abyan ngajar semester bawah sampe atas soalnya." Mamanya mengangguk.
"Ya udah, Abyan naik dulu ya Ma. Mau bersih-bersih badan."
"Iya, nanti turun makan, sekalian ada yang pengen Mama bicarain sama kamu. Penting dan serius." Abyan berpikir sejenak, apa yang ingin Mamanya bicarakan?
Tanpa menunggu lama, Abyan melenggang ke kamar mandi di kamarnya. Membersihkan diri, sekaligus mendinginkan hati.
Setelah sholat maghrib, Abyan turun menemui Mamanya sekaligus mengisi perutnya. Di sana hanya ada Mamanya, Papanya sedang berada di luar kota. Adiknya, mungkin masih belum pulang.
"Makan dulu, Nak. Mama siapin ya, mau pake apa lauknya?" tanya Mamanya pada Abyan.
"Semua, Ma. Abyan laper banget." Mamanya hanya tersenyum menanggapi ucapan putranya itu. Kemudian mengambilkan nasi, dan menyendokkan lauk pauk ke piring Abyan.
"Makasih, Ma. Oh iya, Mama mau ngomong apa? Kayanya penting banget, soal apa Ma?"
"Kamu tau Mama nggak suka basa-basi kan Byan? Mama langsung aja ya. Kenapa kamu nggak kasih tau Mama apapun soal Zahira?"
Deg..
Abyan mematung, apakah ini saatnya menceritakan pada Mamanya bagaimana hidup Zahira? Tuhan, semoga setelah ini tidak akan memperburuk hubungan Abyan dan Zahira.
"Mama nggak pernah tanya ke Abyan, kalau Mama tanya pasti Abyan kasih tau kok." Abyan berusaha setenang mungkin, dia akan menjelaskan pelan-pelan pada Mamanya itu.
"Mama sudah tau semuanya, Byan. Siapa Zahira dan bagaimana keluarganya? Mama tau semuanya." Abyan menegang, Mamanya tau semua? Darimana dan bagaimana Mamanya bisa mengetahui?
"Mama tau semuanya? Apa aja yang udah Mama tau? Dari siapa Mama tau?" kalau sudah begini, Abyan takut. Takut akan hal buruk yang bisa saja menimpa hubungannya dengan Zahira. Pasalnya, dia mengenal betul Mamanya.
"Apa aja yang udah Mama tau? Mama tau Zahira korban bullying sejak dia masuk sekolah dasar hingga kelulusan SMA-nya. Dan satu hal yang membuat Mama tidak bisa menerima dia, dia bukan dari keluarga baik-baik Abyan!"
"Tapi Mama lihatkan Zahira gadis baik, dia nggak pernah berbuat yang aneh-aneh. Dia gadis pintar, berprestasi sejak kecil. Keluarganya seperti apapun, tidak membuat dia rusak Ma."
"Abyan kamu sadar, siapa kita dan siapa dia. Kamu berpendidikan tinggi, seorang dosen. Papamu pemilik perusahaan terbesar, bahkan donatur terbesar di universitas tempat kamu mengajar!"
Mamanya memberi jeda, ia menatap putranya. Ia tau, putranya begitu mencintai gadis itu. Tapi, bagaimana kondisi keluarga gadis itu sangat tidak bisa ia terima.
"Mama memang tidak pernah memandang seseorang dari seberapa banyak materi yang dia punya. Tapi untuk menyepelekan darimana dia berasal, dan dari keluarga seperti apa dia besar, Mama tidak bisa Byan."
"Abyan dengerin Mama, Mama cuma pengen yang terbaik untuk kamu. Kamu bebas mencintai siapapun, tapi kalau gadis yang kamu cinta berasal dari keluarga seperti Zahira, Mama menolak Byan." Abyan termenung, dia tidak ingin kehilangan Zahira.
"Kamu taukan keluarganya? Kakak laki-lakinya bahkan sudah menikah sebanyak tiga kali, dan dua kali pernikahannya itu karena perzinaan Byan. Ibu dari Zahira begitu buruk di mata Mama. Dia bahkan dengan mudah membela putranya yang sudah berdosa besar seperti itu. Mama nggak mau punya menantu dari keluarga yang rusak Byan!"
"Mama tau darimana semua itu? Mama dapet darimana informasi itu?"
"Kamu nggak perlu tau. Sekarang Mama cuma minta satu sama kamu, sudahi hubungan kamu dengan gadis itu. Kalau tidak, Mama yang akan menemui gadis itu dan menyuruhnya pergi dari hidup kamu!"Mamanya beranjak, meninggalkan Abyan seorang diri termenung di meja makan. Rasanya menyakitkan, bahkan dirinya tidak pernah sedikitpun membayangkan untuk meninggalkan Zahira.
Hatinya sudah terpaut dengan gadis itu. Ia sudah menemukan rumah untuk ia tinggali. Ia sudah menemukan gadis yang akan menemaninya hingga tua nanti.
Tapi kenapa harus seperti ini? Kenapa dia harus meninggalkan gadisnya saat dia sudah benar-benar menjatuhkan hatinya?
Dia berada di persimpangan jalan, antara menuruti perintah Mamanya atau tetap mempertahankan cintanya? Ia tak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika dia kehilangan gadis itu?.
Dia beranjak, mengambil kunci mobil di nakas. Dia harus menenangkan pikirannya, mencari jalan keluar atas permasalahannya.
Dia memberhentikan mobilnya di depan rumah berpagar hitam. Rumah kost yang gadisnya tinggali. Ia memang tak ingin menemui gadis itu, ia hanya ingin berdiam diri di sana. Tak mungkin dia menemui gadisnya, dengan pikiran sekacau itu.
Perkataan Mamanya masih terngiang, bagaimana Mamanya meminta dia meninggalkan Zahira. Mamanya begitu serius mengatakan itu, ia tau itu adalah titah orang tua yang seharusnya tidak ia bantah.
Tapi dia bahkan tidak bisa jika harus meninggalkan gadis yang dia cinta.
**********
Jangan lupa berdoa, belajar dan berusaha. Terimakasih...
KAMU SEDANG MEMBACA
ZAHIRA [SELESAI]
Teen FictionKulalui liku hidup, meski berderai air mata. Kadangkala dunia terasa sangat tidak adil, menguji makhluk yang bahkan telah lunglai. Duniaku terasa sangat menyakitkan. Luka demi luka kuseka, tapi duka tak henti memenjara. Entah kapan terakhir kali aku...