Terpaksa lari namun tak terpaksa dalam menjalani. Kutemukan harapan baru, di duniaku yang lebih seru.
********
Aku terbangun kala jam menunjukkan pukul empat pagi. Hal-hal yang berusaha aku tinggalkan kembali bermunculan dalam ingatan.
Aku bangkit dari tidurku, mengucap istighfar berkali-kali. Pikiranku kembali kacau, rasa sakit itu kembali timbul. Air mataku melesak memaksa keluar dari persembunyian, terkadang aku marah sekaligus tidak terima dengan semua keadaan ini. Mengapa harus aku?
Adzan shubuh terdengar, aku segera bangkit menuju toilet. Aku mengingat ada kelas pagi, jadi sebaiknya aku langsung mandi baru setelahnya mengerjakan sholat shubuh.
Tepat pukul tujuh pagi aku berangkat ke kampus, mengendarai sepeda motor di tengah hiruk pikuk ibukota ternyata menyenangkan.
Limabelas menit berlalu, aku memarkirkan motorku di parkiran kampus, melepas helm dan meletakkannnya di tempat penitipan helm. Aku berjalan pelan menuju gedung fakultasku, pikiranku masih meremang ketempat di mana penyebabku berada di sini.
Aku memasuki ruang kelas, widi juga sudah berada di kelas. Ia melambai ke arahku, dan menepuk sebuah bangku kosong di sampingnya. Aku menghampirinya.
"Bawa motor Ra? Udah sarapan belum? Laper nggak?" serentetan pertanyaan widi ajukan padaku, aku hanya menggeleng heran kenapa dia bisa sebawel ini di pagi hari?
"Gue nggak kuat kalau bawa motor, tapi gue mengendarai motor haha. Udah tadi sebelum berangkat" jawabku dengan sedikit guyon.
"Haih iya itu maksud gue, hehe. Eh kemaren lo pulang naik apa? Angkot kan jarang lho kalau sore" aku bingung harus menjawab bagaimana, masa iya aku bilang numpang Pak Abyan?
"Ah, itu ada yang nawarin tumpangan kemaren, jadi ya udah ikut aja sekalian irit ongkos, ye nggak?." semoga dia tidak bertanya siapa yang menawariku tumpangan.
"Oh, ya udah deh syukur." aku tersenyum lega.
Drrtt.. Drrtt..
Hanphonku bergetar, menandakan ada notifikasi yang masuk. Sebuah pesan rupanya, dari Pak Abyan. Ah?? Pak Abyan??
Hari ini keruangan saya, jam empat sore.
"Pak Abyan ngirim pesan Di, nyuruh gue keruangannya jam empat sore nanti, males banget padahal" aduku pada widi, dia menganga.
"Pak Dosen ganteng? Samperin aja Ra, sekalian pepet kali aja jodoh, hahaha." dia terbahak. aku menyentil kepalanya, otak ngawurnya itu benar-benar sudah stadium akhir.
"Denger ya widi sayang, kuliah itu tempat nyari ilmu bukan tempat pedekate sama dosen."
Sekali lagi, widi tertawa. Dia ini, nggak tau apa ya aku itu males kalau harus ngurusin hal-hal kaya gini.
"Samperin aja udah, toh pasti kepentingan yang beliau kasih itu berhubungan sama mata kuliah dan itu berarti, ada hubungannya juga sama kelas kita." Ya sudahlah, terpaksa.
Baik, Pak.
Setelah membalas pesan dari Pak Abyan, aku mengedarkan mataku ke seluruh penjuru kelas. Keadaan kelas sudah mulai ramai, ada beberapa anak yang sibuk bercerita, ada yang sibuk bermain hanphon, ada yang asyik membaca buku, lalu beberapa anak perempuan beramai-ramai menonton drama korea, dan ada pula yang memilih mendengarkan musik menghindari kebisingan kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZAHIRA [SELESAI]
Teen FictionKulalui liku hidup, meski berderai air mata. Kadangkala dunia terasa sangat tidak adil, menguji makhluk yang bahkan telah lunglai. Duniaku terasa sangat menyakitkan. Luka demi luka kuseka, tapi duka tak henti memenjara. Entah kapan terakhir kali aku...