Menangislah. Hingga kelak ketika kamu di hadapkan kembali dengan penderitaan, kamu telah menjadi orang yang tegar.
-Abyan Nandana
*********
"Sejak kecil, saya selalu di bully, Pak. Hinaan, cemoohan seakan menjadi makanan saya. Saya dikucilkan, saya dimusuhi seakan saya adalah makhluk yang paling berdosa."
Zahira menahan tangisnya. Bayangan masa lalu begitu menikam hatinya. Bahkan seringkali, ia menganggap kelahirannya bukanlah kebaikan untuknya.
Abyan mendengarkan semua yang diutarakan Zahira dengan seksama. Ia tau, betapa sakitnya hati seorang Zahira. Namun sejujurnya, Abyan tak pernah membayangkan hidup Zahira begitu pelik.
"Saya tidak pernah melakukan hal buruk, Pak. Saya mengikuti norma yang ada di masyarakat, menghormati orang tua saya, mematuhi tata tertib di sekolah. Tapi entah mengapa, mereka memandang saya buruk hanya karena Kakak saya melakukan hal yang tidak baik."
Entah mengapa, hati Abyan seperti teriris. Hatinya berdenyut sakit. Gadis di depannya, yang selalu menampakkan senyumnya, berlaku sopan pada siapapun, menghormati semua orang. Ternyata serapuh itu. Hidupnya, sekejam itu.
"Teman-teman sekolah saya, hanya mau berteman dengan saya ketika Ujian tiba. Mereka memanfaatkan saya. Meminta contekan, dan kadang dengan lancang mengambil lembar jawaban saya. Ketika saya tidak memberi, perlakuan buruk mereka pada saya semakin menjadi. Saya semakin dikucilkan."
Seorang Zahira, yang tidak pernah berani mengungkapkan kesedihan hatinya pada siapapun. Siapa sangka, ternyata luka yang ada di hatinya, telah bernanah. Bahkan hampir membusuk.
"Dan hari ini, Kakak saya melakukan kesalahan yang serupa. Saya kacau, Pak. Bahkan, Ibu tetap membela Kakak saya. Saya capek, Pak. Berungkali di hadapkan dengan serangkaian ujian yang menghimpit hati saya. Sesak, sakit, perih, itu yang saya rasakan."
Abyan memandang gadis di depannya, tatapannya nanar. Ia akui, ia merasa amat kasihan. Diusianya yang masih sangat muda, cobaan menerpa seolah ia adalah orang dewasa.
"Ra, saya nggak akan bilang saya mengerti perasaan kamu. Karena memang saya tidak pernah ada di posisi kamu. Tapi saya yakin, kamu gadis yang kuat. Kamu hebat. Selama ini pun, kamu mampu melewati batu besar di hidupmu. Tuhan, tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan makhluk-Nya, bukan?"
Zahira mengangguk. Selama ini pun ia selalu yakin, Tuhan mengujinya karena Tuhan sangat mencintainya. Tuhan mengujinya, karena Tuhan ingin tau seberapa lapang hatinya.
"Kamu harus bertahan, lawan semua yang ada di hidupmu. Meski dengan tangisan, meski berdarah-darah. Kamu pasti mampu. Setidaknya, kamu masih memiliki Ayahmu, yang selalu mengharapkan kebaikan atas hidup kamu."
Zahira teringat Ayahnya. Bagaimanapun, ia masih memiliki Ayahnya. Sejauh ini dia bertahan, hanya karena Ayahnya. Dia melawan semua rasa sakit, hinaan dan cacian hanya karena Ayahnya. Dia tidak akan menyerah secepat ini. Dia, masih memiliki janji pada Ayahnya yang harus ia tepati.
"Ra, manusia itu nggak akan pernah lepas dari yang namanya cobaan. Ingat, paku yang bengkok tidak akan di tempa dengan palu. Tapi paku yang lurus, akan selalu terkena tempaan palu. Kenapa? Karena paku itu harus menancap kuat, benar-benar kuat. Sehingga kelak, ketika dihantam dengan palu yang lebih besar, dia tidak akan pernah bengkok."
Zahira mengangguk. Ia merasakan, seolah bebannya perlahan luruh. Ia sedikit merasa lega, bahkan tidak ragu untuk tetap berdiri meski badai akan selalu mencoba menjatuhkan dia kembali.
"Terimakasih, Pak. Maaf, saya lancang menceritakan masalah pribadi saya pada Bapak. Dan terimakasih juga, telah menyadarkan saya dari hal bodoh yang hampir saya lakukan."
Zahira akui, ia menyesal karena hampir saja melakukan kesalahan yang fatal.
"Jangan merasa sungkan untuk cerita sama saya. Saya dosen kamu, anggap saja kamu membantu saya memdapatkan pahala." Abyan tersenyum, senyuman yang begitu tulus dan menghangatkan.
"Sebenarnya saya malu, Pak." Air muka Zahira memerah. Ia menutupi mukanya dengan kedua telapak tangannya.
"Malu kenapa?" Abyan menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia kebingungan, gadis ini merasa malu karena apa?.
"Saya hampir aja bunuh diri. Padahal kalau dipikir saya paling takut liat air sungai yang deras seperti tadi, saya nggak bisa renang Pak. Dan sebenarnya, saya juga takut kalau saya beneran mati."
Sedetik kemudian Abyan tertawa. Rona merah di pipi Zahira semakin kentara.
"Kamu itu lucu ya, Ra. Saya baru tau, ternyata ketika orang mau melakukan hal nekat seperti itu, sebenarnya mereka masih memikirkan takut mati."
"Ih kan, malah diketawain. Nggak semua orang, Pak. Itu mah yang saya rasain. Abisnya saya nggak bisa renang, kalau nyebur kan langsung hanyut."
Tawa Abyan makin kencang. Dosen satu ini memang ya, aneh.
"Ya sudah, kapan-kapan kamu belajar renang, Ra. Lagian kamu aneh, sudah mahasiswa tapi renang nggak bisa."
"Saya pernah hampir tenggelam di kolam renang, Pak. Makanya saya nggak pernah mau belajar renang, dan nggak mau dekat-dekat sama kolam renang." Zahira mencebik sebal.
"Lagian ngapain dekat-dekat sama kolam renang? Mending dekat sama saya aja. Kalaupun tenggelam, kamu tenggelam di hati saya."
Abyan memberikan senyuman mautnya. Senyuman Yang membuat kadar ketampanannya berlipat. Di tambah rambutnya yang masih setengah basah, ah rasanya author mau bawa pulang kalau ada yang kaya Abyan beneran, Haha.
"Pak, kayanya Pak Abyan demam deh. Bapak ngomongnya ngaco, saya jadi takut." Bukannya tersipu malu oleh gombalan Abyan, Zahira justru bergidik ngeri.
Susah ngomong sama anak kecil. Batin Abyan. Dia mengelus dadanya, sepertinya mengkode Zahira adalah PR yang berat untuknya.
"Pulang yuk, Ra. Kamu bakalan demam kalau kelamaan di luar dengan baju yang basah gitu. Saya juga merasa mulai pusing."
"Pak Abyan sakit beneran? Maafin saya ya, Pak." Gurat penyesalan tercetak jelas.
"Nggak apa-apa, Ra. Ya sudah ayo pulang." Ajak Abyan lagi, Zahira mengangguk.
"Sekali lagi terimakasih, Pak. Maaf terlalu sering merepotkan Pak Abyan."
Abyan tersenyum, lagi. Dia mengangguk.
"Saya nggak masalah, Ra. Saya ikhlas." Zahira tersenyum lega mendengarnya.
Entah mereka sadar atau tidak, sebuah perasaan yang tertanam dalam hati mulai tumbuh dan mengakar kuat.
*********
Jangan lupa belajar, berdoa dan berusaha. Terimakasih...
KAMU SEDANG MEMBACA
ZAHIRA [SELESAI]
Teen FictionKulalui liku hidup, meski berderai air mata. Kadangkala dunia terasa sangat tidak adil, menguji makhluk yang bahkan telah lunglai. Duniaku terasa sangat menyakitkan. Luka demi luka kuseka, tapi duka tak henti memenjara. Entah kapan terakhir kali aku...