Kita

3K 158 9
                                    

Kini, aku adalah bagian dari hidupmu. Pun kamu, adalah sebagian duniaku. Jadi, gandenglah tanganku dalam menghadapi semesta.

~Abyan Nandana

**********

Abyan: Senin besok UAS, sudah siap Ra?

Zahira: Sudah Pak. Tinggal memahami beberapa materi aja. Bapak nggak kemana-mana?

Abyan: Oke, semangat. Tadinya si mau ajak kamu ke luar. Mau nggak? Atau mau langsung ke rumah ketemu calon mertua? 😉


Zahira: Kemana Pak? sehari aja jangan bikin saya salah tingkah nggak bisa ya, Pak?

Abyan: Rahasia dong. Nggak bisa, saya suka liat kamu salah tingkah soalnya, bikin saya pengen nikahin kamu.

Zahira: Pak, jangan godain mulu ih.

Abyan: Saya jemput sekarang. Jangan terlalu cantik, saya takut kamu diambil orang nanti.

------------

"Pasar malam, Pak? Saya dari kecil pengen banget bisa ke tempat ini. Tapi sayangnya saya nggak pernah dibolehin keluar malam."

Melihat Zahira yang begitu antusias ketika aku mengajaknya ke pasar malam, membuatku mengerti. Bahagianya adalah hal yang sangat sederhana, namun tak pernah ia rasakan.

Setitik nyeri muncul di hatiku, seburuk apa kehidupan Zahira? Namun kenapa gadis ini sangat kuat? Bahkan ribuan ombak menghantam ia tetap mampu bangkit dan tersenyum.

"Saya janji, akan selalu buat kamu bahagia Ra." Aku menyayanginya, tulus. Tidak peduli bagaimana hidupnya, dan bagaimana keluarganya. Karena saat ini, dia adalah bagian dari duniaku.

"Pak, naik biang lala yuk. Ayo, Pak." Dia menarik lenganku, membawaku ke antrian tiket biang lala. Melihatnya sebahagia ini, membuat hatiku ikut merasakan kebahagiaan.

"Sebentar saya beli tiketnya dulu ya. Kamu tunggu sini aja." Aku mengantri membeli tiket, membiarkannya mengagumi suasana malam di tempat ini.

"Mau naik sekarang? Tiketnya udah nih" aku menunjukkan tiket yang kubeli tadi pada Zahira. Senyumnya mengembang, sorot matanya menunjukkan kegembiraan.

"Sekarang ayo, Pak." lagi-lagi dia menarik lenganku, anehnya aku justru tersenyum melihat tingkahnya itu. Andai orang lain yang melakukan ini, sudah kena timpuk olehku.

"Pak, maaf ya kalau saya norak hehe," aku tersenyum mendengar kata yang dia lontarkan.

"Saya malah seneng liat kamu bisa seceria ini. Ra, biarin saya selalu berusaha bahagiain kamu ya?" pintaku, dia mengangguk tersenyum malu.

"Terimakasih, Pak. Wah, Pak liat deh pemandangannya bagus ya kalau dari ketinggian kaya gini. Lampunya jadi keliatan warna-warni, padahal kalau diliat dari bawah warna lampunya sama" ucapnya heboh.

"Memangnya kamu sudah pernah cek satu persatu kalau lampu yang ada di sini warnanya sama semua?" tanyaku, dia menggeleng kemudian tersenyum.

"Pak, saya sebenarnya takut ketinggian lho. Tapi kok kali ini phobia saya nggak kambuh ya?" aku baru tau kalau dia memiliki phobia ketinggian.

"Serius kamu? Kenapa nggak bilang dari awal? Jadinya kan nggak usah naik wahana yang tinggi kaya gini." Aku panik sekaligus khawatir.

"Pak, saya kan udah bilang tadi kalau phobia saya nggak kambuh. Aneh deh, kenapa ya Pak?"

"Oh, mungkin karena kamu lagi sama saya. Kamu bahagia sama saya, makanya phobia kamu nggak kambuh" sepertinya percaya diriku menaik pesat, haha.

"Hih, Pak Abyan over pede. Tapi, iya deh kayanya Pak." Dia tersenyum.

"Saya cinta kamu, Ra." Rona merah terlihat jelas di pipinya ketika aku mengungkapkan isi hatiku padanya, lagi.

"Pak Abyan berhenti deh bikin muka saya panas." Aku tertawa, dia mencebik sebal. Lucu sekali.

"Ra, saya boleh minta sesuatu nggak?" Dia menatapku horor. Dia pikir apa yang akan aku minta?

"Jangan aneh-aneh ya, Pak." Aku menggeleng, mengusap puncak kepalanya pelan.

"Bisa nggak, jangan panggil saya dengan embel-embel Bapak di luar kampus?" pintaku.

"Terus maunya dipanggil apa? Om? Paman? Hahaha" dia tertawa meledekku. Bukannya sebal, aku malah gemas. Langsung saja kucubit pipinya.

"Enak ya ngetawain saya. Ampun nggak?" "Iya deh Pak ampun. Pipi saya makin melar nanti." Kini giliranku yang tertawa, dia mudah sekali menyerah.

"Lagian Pak Abyan aneh, minta dipanggil apa emang? Kan saya sama Bapak emang kaya om dan keponakan, haha" Tuhkan, jiwa jailnya keluar lagi.

"Saya baru 25 tahun Zahira Ayyuna." "Iya deh yang nggak mau dibilang tua."

Ketika aku hendak berbicara, tiba-tiba biang lala berhenti. Tenang, ini nggak seperti sinetron yang biang lalanya berhenti ketika pemeran utama laki-laki dan perempuannya berada di atas. Tapi memang jatah waktu kita menaiki wahana ini sudah usai.

"Mau naik apa lagi? Atau mau makan?" tawarku pada Zahira yang kini tengah mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru.

"Saya pengen naik komedi putar, tapi ternyata nggak ada. Pengen gulali itu deh, Pak." Aku mengangguk, menggamit tangannya menuju tempat gulali yang Zahira tunjuk.

Setelah membelikan gulali untuk Zahira, kuputuskan membawanya mencari tempat duduk.

"Manis," ucapku padanya. Zahira menatapku, "Iya, Pak gulalinya manis. Pak Abyan yakin nggak mau?" Astaga anak ini.

"Kamu yang manis, bukan gulalinya Zahira. Duh kamu itu ya." Dia menatapku polos. "Saya bukan gulali, Pak." "Iya deh, Ra. Jadi gimana permintaan saya yang tadi?" Dia menengadah, berpikir mungkin.

"Apa ya? Kakak? Nggak ah. Ehm, Mas? Haih nggak cocok kayanya deh. Terus apa? Abang? Akang? Aa? Apa Pak?" Sontak aku tertawa, kucubit pipinya kembali.

"Sayang juga boleh, gimana?" aku mengedipkan sebelah mataku, membuatnya menjauhkan posisi duduknya dariku.

"Pak Abyan bikin saya takut." Apanya yang menakutkan?

"Hm, ya udah deh karena saya dari Jawa. Saya panggil Kak? Gimana? Iya sih kurang cocok, yang cocok cuma om haha."

"Apa hubungannya dari Jawa sama panggilan Kak, sayang. Astaga"

"Bapak bilang apa tadi?" "Sayang? Kenapa? Kan saya emang sayang sama kamu." Untuk kesekian kali, aku berhasil membuatnya tersenyum malu.

"Jangan panggil saya Bapak lagi di luar kampus. Nanti orang-orang ngira saya pedofil lagi."

"Kan emang iya Pak haha. Eh Kak maksudnya. Tapi lucu, saya nggak biasa."

"Biasain."

Terkadang ketika kita berlari jauh, mengejar dan bertanya siapa jodoh kita. Justru Tuhan, mengirimkan orang yang berada di dekat kita. Atau Tuhan menganugerahkan seseorang yang baru kita kenal, untuk mendampingi kita.

Biasanya ketika kita memohon agar seseorang itu dijadikan untuk kita, maka Tuhan malah akan menjauhkan dia dari kita.

Namun, ketika kita berpasrah diri. Tak menuntut Tuhan atas apa yang akan Dia kehendaki, Dia akan memberi kita hal yang paling indah di muka bumi.

Seperti kamu, Zahira.

********

Jangan lupa berdoa, belajar dan berusaha. Terimakasih...

ZAHIRA [SELESAI] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang