Aku yakin untuk hidup bersamamu. Sejak awal, aku memujamu untuk kujadikan teman hidupku. Jadi, mari beranikan diri.
~Abyan Nandana
********
Satu minggu berada di Jogja, akhirnya kemarin malam Zahira sampai di Jakarta. Rasanya lelah, tapi menyenangkan.
Bagi Zahira, liburannya bersama Widi adalah liburan pertamanya bersama seorang sahabat. Dia tidak pernah menyangka sebelumnya, dipertemukan dengan seseorang sebaik Widi dan keluarganya.
Zahira tengah mematut dirinya di depan cermin. Siang ini dia akan bertemu dengan Abyan. Entah Abyan akan membawanya kemana.
Tin tin..
Suara klakson mobil membuat Zahira buru-buru keluar kamar dan menguncinya. Takut menbuat Abyan menunggu terlalu lama, lagipula dirinya memang sudah siap.
"Hai, Ra. Gimana keadaan kamu? Gimana liburannya?" tanya Abyan bertubi ketika Zahira telah memasuki mobil miliknya.
"Baik kok, Kak. Kak Abyan sendiri gimana? Seru dong, Kak. Yang paling berkesan pas Lava Tour, naik Jeep dong. Medannya lumayan terjal, isinya debu sisa letusan Merapi." Zahira bercerita dengan semangatnya, sedang Abyan mendengarkan dengan seksama.
"Baik juga. Senang banget deh kayanya, semoga kali ini kamu juga senang ikut saya."
"Kemana Kak?" Zahira baru sadar, bahwa Abyan membawanya memasuki komplek perumahan Abyan. Zahira mulai menduga-duga dalam hati.
"Ketemu Mama saya. Saya kemarin cerita kalau saya udah punya kamu. Terus Mama saya pengen ketemu kamu, pengen kenal kamu katanya."
"Tapi, Kak" rasa cemas menghantui seorang Zahira. Pasalnya, dia terlalu sering ditolak oleh orang-orang disekelilingnya dahulu. Dan jujur saja, sekarang perasaan takut dia akan ditolak masih menghantuinya.
"Tapi kenapa, Ra?" tanya Abyan lembut. Dia bisa merasakan kecemasan yang melingkupi hati Zahira.
"Saya, nggak siap Kak. Saya takut, takut kalau nanti hasilnya nggak sesuai sama ekspektasi kita." Abyan tersenyum, mengelus kepala Zahira.
"Ra, setidaknya kita mencoba lebih dulu. Saya serius sama kamu, dan saya sadar saya nggak mungkin ngajak kamu nikah sekarang. Jadi, anggap aja ini bukti serius saya ke kamu." Abyan masih tersenyum hangat pada Zahira.
"Entah nanti di depan akan bagaimana, kan sedari awal saya sudah bilang sama kamu. Kita lewati sama-sama." Mobil Abyan sudah bertengger manis di garasi rumahnya, setelah sebelumnya seorang satpam membukakan pintu untuknya.
"Ayo turun, percaya sama saya. Percaya sama diri kamu, ayo."
Mereka turun dengan Abyan yang menggandeng erat jemari Zahira. Tak ayal membuat jantung Zahira ingin loncat dari tempatnya. Selalu seperti itu ketika bersama Abyan.
"Assalamualaikum, anak mama yang ganteng pulang." Teriakan Abyan menggema di rumahnya. Membuat Zahira menggeleng heran, seorang Abyan yang selalu terlihat berwibawa, ternyata bisa bar bar juga.
"Waalaikumsalam, Byan. Kamu itu, udah tua lho masih kaya anak kecil. Udah gandeng anak orang juga, tapi tingkahnya kaya anak SD baru pulang sekolah" tegur mamanya, sedangkan Abyan hanya tersenyum menanggapi ucapan mamanya itu.
"Kenalin, Ma. Ini Zahira, yang Abyan ceritain kemarin. Mahasiswa Abyan, tapi cintanya Abyan juga." Zahira mencubit lengan Abyan, bisa-bisanya dia berkata seperti itu di depan mamanya. Percayalah, muka Zahira sudah merah seperti kepiting rebus.
"Saya Zahira, Tante." Zahira menyalami Qori. Dengan perasaan yang tak karuan, bercampur malu yang tak terhingga.
"Cantik, Byan. Tapi kok Nak Zahira mau si sama anak tante yang nggak jelas gitu?" pertanyaan berujung pada candaan yang dilontarkan Qori, hanya dibalas senyuman oleh Zahira. Rasanya, canggung.
"Anak Mama yang satu ini paling ganteng lho, Ma." Qori yang mendengar penuturan putranya, hanya tersenyum sembari geleng kepala.
"Ajak duduh atuh, Byan. Kasian capek kalau berdiri terus. Mama ke dapur, mau buatin minum."
Qori beranjak menuju dapur, sedang Abyan membawa Zahira ke ruang tamu. Mendudukkan gadisnya di sana, dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya.
"Kenapa deh senyum-senyum mulu, awas kering nanti giginya." Perkataan Zahira tak dihiraukan oleh Abyan.
"Ya udah, saya senyumnya nggak buka mulut deh." Dengan segera Abyan mengatupkan mulutnya, dan melanjutkan aktifitas senyumnya.
"Nak Zahira, di minum. Tadi tante juga buat Brownies, cobain deh. Abyan itu suka banget sama makanan yang manis, apalagi kue kaya gini."
Qori datang dari arah dapur dengan nampan di tangannya. Berisi tiga cangkir teh, beserta kue brownies buatannya. Zahira menganggukkan kepala, saat Qori mempersilakan dirinya menikmati hidangan yang dia sediakan.
"Kamu asli Jakarta atau dari luar kota, Nak? Tante pengen tau dong keluarga Nak Zahira seperti apa?" tanya Qori. Pertanyaan yang membuat tenggorokan Zahira tercekat.
Namun, ketika Zahira hendak menjawab seseorang datang dari balik pintu dan mengucapkan salam.
"Assalamualaikum, Tante Qori." Wanita itu, wanita yang pernah menjadi bahan gosip di fakultas. Wanita yang pernah dikabarkan memiliki kedekatan dengan seorang Abyan.
"Ibu Agnetta" gumam Zahira. Iya, wanita itu adalah Agnetta Ayunindia.
"Waalaikumsalam, Neta. Udah lama nggak main kerumah. Mau ketemu Om? Mau bahas kerjaan? Omnya lagi nggak di rumah, Net."
Sambutan dari Qori kepada Agneta lebih hangat, daripada kepada Zahira tadi. Ah, mungkin karena mereka sudah terlalu akrab. Itulah, pikiran-pikiran yang berusaha Zahira cipta di kepalanya.
"Nggak dong, mau ketemu Tante. Kebetulankan lagi libur ngajar, Tan. Jadi mau main. Wah ada Abyan, tumben di rumah. Biasanya kalau saya ke sini kamu nggak pernah di rumah."
"Iya, mau kenalin calon istri ke Mama. Barangkali kamu mau kenal juga, namanya Zahira." Abyan memperkenalkan Zahira pada Agnetta.
"Kayanya saya pernah ketemu deh. Di ruangan kamu kan Byan, yang waktu dia ngumpulin tugas di loker kamu." Ah iya, Zahira baru ingat. Pertama kali dia melihat Agnetta, dan berhasil membangkitkan rasa cemburu di hatinya kala itu.
"Iya dia mahasiswa saya." Zahira yang dijadikan objek obrolan hanya diam. Tapi Abyan dengan antusiasnya memperkenalkan Zahira pada Agnetta.
Raut muka Agnetta pias. Ada sebersit rasa tak rela yang muncul di hatinya. Tak rela melihat seorang Abyan bersama wanita lain, bukan dirinya.
"Tante, aku bawa bahan makanan. Tadinya mau masak sama tante, tapi kayanya nggak bisa ya, Tan?" Qori tersenyum pada Agnetta. Satu hal yang membuat Agnetta mudah dekat dengan Qori, karena mereka sama-sama suka memasak.
"Ayo langsung aja ke dapur. Tante itu suka kalau masak sama kamu, pasti hasilnya masakan tante jadi enak." Pujian yang Qori lontarkan, entah mengapa membuat hati Zahira semakin cemas. Akankan sebuah restu yang ia harap, akan dengan susah ia dapat?
Kedua wanita itu beriringan menuju tempat memasak. Tempat di mana seorang wanita berkutat setiap harinya. Tempat di mana keajaiban tercipta dari tangan yang penuh cinta.
"Kak?" Zahira mendongak. Menatap Abyan yang juga tengah menatapnya. Sebuah genggaman ia rasakan, berusaha menghantarkan kekuatan dan keyakinan.
Sepertinya, mereka akan berusaha lebih keras lagi untuk menggapai sesuatu yang bernama, restu.
Terlebih, Zahira takut. Takut kalau keluarga Abyan mengetahui bagaimana kondisi keluarganya. Ujian yang menimpa keluarganya berkali-kali. Ia takut, itu semua akan semakin mempersulit jalan cintanya dengan Abyan.
********
Jangan lupa berdoa, belajar dan berusaha. Terimakasih...
KAMU SEDANG MEMBACA
ZAHIRA [SELESAI]
Teen FictionKulalui liku hidup, meski berderai air mata. Kadangkala dunia terasa sangat tidak adil, menguji makhluk yang bahkan telah lunglai. Duniaku terasa sangat menyakitkan. Luka demi luka kuseka, tapi duka tak henti memenjara. Entah kapan terakhir kali aku...