Keputusan

3.1K 166 3
                                    

Siapkan hatimu, sebab semuanya akan terasa berat. Mulai detik ini, kesempurnaan hidupmu akan sedikit terkecoh.

~Zahira Ayyuna

*********

"Ra, gimana udah ada keputusan buat Pak Abyan?" tanya Widi sedikit berbisik. Mereka kini tengah mengikuti mata kuliah. Meski banyak yang terkantuk-kantuk, karena dosen yang mengampu sudah lumayan berumur.

"Udah kayanya. Nanti Pak Abyan ngajak ketemu kalau gue udah selesai kuliah." Sebenarnya, dalam hati Zahira masih ada setitik keraguan. Bukan ragu pada Abyan, dia ragu pada dirinya sendiri.

"Cie, bentar lagi ada yang nggak jomblo nih. Kasian ya gue, malam minggu nggak ada yang ngajak jalan, lo udah ada," ledek Widi.

"Ye, emang lo yakin gue nerima komitmen yang Pak Abyan tawarin? Belum tentu."

"Halah, nggak mungkin lo sanggup menolak pesona seorang dosen yang bernama Abyan Nandana. Gue yakin, lo bakal bilang iya."

Widi benar, bahkan sedari awal jika Zahira mau mengakui hatinya memang sudah terarah pada seorang Abyan. Namun, setitik keraguan dan batasan yang berusaha dia bangun membuatnya menutupi hal itu.

"Baik, pertemuan kali ini cukup sampai di sini. Dan ini sekaligus pertemuan terakhir kita, dua minggu lagi kalian akan menghadapi Ujian Akhir Semester. Jadi, persiapkan diri kalian." seorang dosen yang kini tengah mengampu salah satu mata kuliah di kelas C4 memberikan beberapa wejangan.

Akhir semester sudah di depan mata, rasanya baru kemarin mereka semua menginjakkan kaki di universitas itu sebagai mahasiswa baru.

"Ra, lo libur semester pulang nggak? Lumayan lho libur satu bulan." Zahira menimang sejenak, mungkin dia akan mengambil separuh dari liburannya untuk berada di kampung halamannya.

"Kayanya dua minggu gue pulang deh, dua minggu lagi liburan di sini. Nggak tau si tapi, kalau betah di rumah ya gue bisa aja satu bulan, kalau nggak ya bentaran aja lah hehe" jawab Zahira pada Widi.

"Liburan aja yuk sama gue, kemana gitu kek. Nggak usah pulang haha"

"Mau bayarin emang? Kalau gratis si gue mau aja." Widi melotot mendengar celotehan Zahira.

"Paling nanti ujungnya liburan sama Pak Abyan. Hapal gue, males ah." Zahira terbahak mendengar perkataan Widi, entah apa yang lucu.

Kelas mulai bising sepeninggal dosen mereka. Tidak, mereka tidak meributkan akan belajar dengan siapa dan di mana untuk persiapan UAS. Namun, mereka meributkan akan liburan di mana dan dengan siapa setelah UAS. Dasar mahasiswa.

"Teman, gimana kalau kita adain liburan bareng satu kelas. Kayanya asik deh," usul Della.

"Bentar, gue ada pengumuman nih seputar hari libur hehe," Daffin menyela. Berjalan kearah depan kelas, mengambil atensi seluruh anak kelas.

"Kampus kita itu punya agenda tahunan untuk mahasiswa baru. Jadi, kayanya liburan kita yang cuma satu bulan akan terpotong selama beberapa hari atau satu minggu." Anak kelas bersorak ketika mendapati informasi bahwa jatah libur mereka di kurangi.

"Agenda apaan dah? Daffinku sayang, Jay ini udah pengen pulang ke Malang. Udah kangen sama Kambingnya Bapak, mau ikut jualan Kambing."

Ucapan Jay sontak membuat seisi kelas tertawa. Jay ini memang anak juragan Kambing, wajar saja terkadang anak kelasnya meledeknya bau Kambing. Tapi memang dasarnya Jay, ledekan pun dia jadiin guyonan.

"Apa lo sayang sayang, gue timpuk pala lo pake sepatu baru tau rasa." Gelak tawa semakin riuh kala melihat Daffin dan Jay beradu mulut.

"Gue lanjutin ya. Kita sama beberapa dosen di Fakultas kita akan pergi ke Puncak, bimbingan seputar dunia Psikologi. Tenang, bimbingannya cuma satu hari. Tiga hari berikutnya kita liburan di Puncak. Tapi, masih sama Bapak dan Ibu dosen ya."

Liburan macam apa yang didampingi oleh dosen? Seperti anak sekolahan saja.

"Buset, udah mahasiswa liburan masih aja ditemenin dosen. Dikira kita anak TK apa?" ujar Ayu tak terima.

"Kan gue emang masih TK, Yu. Masih imut gini, masih lucu dan masih polos." Ayu menimpukkan gulungan kertas pada Jay. Benar-benar ya anak itu, biang rusuh sekaligus bahan tawa kelas C4.

"Cih, muka udah banyak kerutan kaya gitu kok bilang masih imut. Kemaren bawa air galon ke lantai 3 kost aja hampir mati lo."

Della kini menyahut, siap siap saja sebentar lagi akan ada peperangan antar Della dan Jay. Della dengan Jay memang satu kost, bukan satu kamar kost lho ya. Jadi wajar saja aib mereka berdua sama-sama terbuka.

"Dellaku sayang, itu bukan nggak kuat cuma galonnya aja yang isinya kepenuhan. Coba kalau isinya cuma setengah, sanggup gue sambil lari juga."

"Apa lo bilang tadi? Sayang? Jijik. Sekali lagi lo ngomong kata menjijikan itu, gue seleprat pala lo pake sepatu gue." Jay menelan ludah melihat sepatu yang Della kenakan. Sepatu berhak tujuh senti, lumayan juga kalau kena timpuk di kepala.

"Della sayang," tapi memang dasarnya Jay, dia itu nggak akan kapok menggoda Della dan membuat Della marah. Benar saja, Della melemparkan sepatunya tepat mengenai bahu Jay. Sontak hal itu membuat seisi kelas makin riuh oleh tawa yang Jay dan Della cipta.

Hingga kedatangan seorang dosen membuat seisi kelas kembali damai. Mereka larut dalam ilmu yang sedang mereka gali. Menikmati setumpukan materi sembari menunggu terbenamnya mentari.

Sebuah taman di tengah hiruk pikuknya Ibukota, ada seorang gadis yang tengah menikmati senja di penghujung hari. Siap menyambut gelap yang akan menemani, dan yakin akan menjalani kehidupannya lagi di esok pagi.

Suara langkah seorang lelaki mendekat, membuat si gadis itu mendongak. Sinar senja mencipta siluet mereka berdua. Ukiran senyuman terbit di wajah keduanya. Seiring senja yang kian tenggelam, mereka pun sama-sama mengarungi lautan perasaan.

"Bagaimana? Sudah siap menghadapi dunia bersama saya? Berbagi keluh dan kesahmu kepada saya, juga meletakkan bebanmu di pundak saya. Sudah siap?" Tanya lelaki itu. Wajahnya begitu teduh, memberikan kedamaian pada gadis yang sedang ia tatap.

"Saya, siap. Tapi percayalah, setelah ini semesta tidak akan membiarkan kita bahagia." Gadis itu beringsut, setitik keraguan tercipta di hatinya. Namun dia yakin, ombak yang akan menghadangnya akan mampu ia lewati.

"Yakinlah atas hati saya, bahwa perasaan saya benar-benar mencipta namamu." Mereka kembali tersenyum, menikmati aliran rasa yang berderai di hati kedua insan tersebut.

Zahira Ayyuna dan Abyan Nandana, telah mencipta takdir baru di babak kehidupannya. Akankah garis hidup mereka menyetujui apa yang singgah di hati mereka? Ataukah suratan hidup mereka akan memisahkan tautan di antara mereka?.

Biarlah. Sejenak biarkan mereka menikmati indahnya hidup. Yakinlah, sebuah rasa tak akan memudar meski acap kali dihancurkan. Teguhlah, seberapa sering mereka dipisahkan takdir akan tetap menyatukan.

*********

Jangan lupa berdoa, belajar dan berusaha. Terimakasih...

ZAHIRA [SELESAI] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang