Manusia memang tempatnya salah. Tapi bukan berarti, kamu bisa bebas melakukan kesalahan.
~Zahira Ayyuna*********
Suasana rumah begitu dingin. Tidak ada kadar kehangatan sama sekali. Penghuninya sama-sama dalam keadaan diam. Merenungkan apa yang terjadi hari ini.
Banyak cobaan yang diterima manusia di luar sana. Tapi mengapa, rasanya mereka mendapatkan masalah bertubi-tubi. Tidak ada permohonan maaf. Sang tersangka malah melarikan diri.
"Ya Allah, Yah... Perhiasan Ibu hilang, nggak ada di dalam lemari! Ayah!" teriak sang Ibu dari dalam kamar. Zahira beserta Ayahnya segera berhambur ke arah di mana ibunya berada.
"Kenapa, Bu?" tanya Ayah. Ibu Zahira tengah mengacak-acak isi lemarinya. Mencari barang yang dia bilang telah hilang.
"Tadi siang Ibu liat Ivan masuk kamar kita, Yah. Tapi Ibu nggak tau dia cari apa, sekarang pas Ibu liat, perhiasan Ibu nggak ada, Yah!"
Zahira masih diam memerhatikan. Ayah sudah beranjak membantu Ibu mencari perhiasannya, barangkali terselip ditumpukkan baju.
"Nggak ada, Yah!" Ibu menangis. Pasalnya, perhiasan itu memang sengaja Ibu kumpulkan, takut kalau suatu hari membutuhkan uang dalam keadaan terdesak. Tapi sekarang, semuanya hilang.
"Ya Allah, masa Ivan berani ambil perhiasan Ibu?"
Ibu terduduk di kasur kamarnya. Tidak pernah terpikir sedikitpun, bahwa anak tersayangnya berani melakukan perbuatan demikian padanya.
"Ibu kan selalu nurutin permintaan Ivan, terus kenapa Ivan berani melakukan hal seperti ini pada Ibu?" Ibu bermonolog. Ayah hanya diam. Mungkin, memang benar apa kata orang. Istrinya terlalu memanjakan putra sulungnya, hingga dia berani melakukan hal buruk seperti itu.
"Kamu terlalu memanjakan dia. Setiap aku mau berbuat tegas pada Ivan, kamu selalu melarang. Sekarang lihat, itu hasil didikan kamu! Bahkan, dia menjadi seorang pria yang tidak memiliki rasa tanggung jawab! Karena apa? Kamu selalu membela dia, meski dia berdosa besar!" ungkap sang Ayah.
Perasaan yang selama ini Ayah pendam, akhirnya terungkap. Selama ini Ibunya hanya diam, ketika Ivan melakukan kesalahan. Bahkan ketika para tetangga membicarakan kesalahannya, Ibu tetap gigih membela. Seolah putranya, adalah manusia paling benar di dunia.
Apa yang dikatakan Ayah rupanya sedikit menyentil hati Ibu. Dia tergugu, menangis, dan menyalahkan dirinya sendiri. Mungkin, jika Ibu dengan tegas menunjukkan, mana yang benar dan mana yang salah, putranya tidak akan berani melakukan dosa besar. Ah, seandainya.
"Kamu selalu diam waktu Ivan melakukan kesalahan. Tidak pernah memarahi, tidak pernah berucap bahwa itu hal yang salah. Malah kamu menuduh, mereka yang mengandung anak Ivan itu berbohong. Kamu menuduh mereka melakukan dengan pria lain! Bukan seperti itu cara mendidik anak, Bu!"
Zahira mendekat, mengusap lengan sang Ayah. Sadar bahwa pertengkaran orang tuanya bisa saja membesar, Zahira berusaha menghentikan. Dia menggeleng pada Ayahnya, sebagai isyarat bahwa sang Ayah tidak boleh menuruti emosinya.
"Zahira merelakan masa kecilnya, dia tidak bisa bermain dengan teman sebayanya, itu karena putra kesayangan kamu! Dan aku, aku merasa gagal menjadi seorang Ayah sekaligus seorang suami!"
Ibu semakin menangis. Di tengah isakannya, dia memohon maaf. Menyesali perbuatan yang berpuluh-puluh tahun dia lakukan. Dia pun sadar, telah memberikan perlakuan yang berbeda pada putra-putrinya.
Tok... Tok... Tok...
Ketukan pintu depan rumahnya, membuat pertengkaran itu terhenti. Zahira segera berlari ke pintu depan. Membukakan pintu untuk seseorang di sana.
"Ra, ada kabar buruk," ucap tetangga samping rumah Zahira, Bu Lia.
"Ada apa ya, Bu?" tanya Zahira. Mendadak perasaannya tak enak. Entah ada hal buruk apa yang terjadi.
"Ada apa, Bu Lia?" tanya Ayah yang menyusul Zahira ke depan.
"Begini, Pak, Ivan kecelakaan di depan gang. Tertabrak mobil, motornya bagian depan hancur," ungkap Bu Lia. Sontak hal itu membuat Zahira dan Ayah terkejut. Ibu yang baru keluar dari kamar, dan mendengar pernyataan sang tetangga, langsung limbung.
"Sekarang Ivan di mana, Bu?" tanya Ayah. "Di rumah sakit kota, Pak. Baru saja dibawa sama warga."
************
Setelah mendapat kejelasan tentang di mana Ivan dirawat, Zahira beserta keluarganya telah berada di rumah sakit. Keadaan Ivan kritis dan belum sadarkan diri.
Sahla dan Ibu masih setia menangis. Sedangkan putra Sahla berada dalam gendongan Zahira.
Ayahnya tak bergeming, dia tidak merasa sedih pun tidak merasa baik-baik saja. Sedang Zahira, gadis itu duduk dengan tenang. Meski hatinya begitu benci, namun tak urung tetap melafalkan doa untuk sang Kakak.
Selang beberapa menit, sang dokter keluar dari dalam kamar rawat Ivan. Raut mukanya tidak menunjukkan apapun.
"Ivan sudah sadar, keluarganya boleh menjenguk ke dalam," ujar Dokter yang menangani Ivan.
Setelah mengucapkan terimakasih, Zahira dan yang lain pun masuk ke dalam. Menengok bagaimana kondisi putra sulung keluarga itu.
Kondisinya cukup memprihatinkan. 12 jahitan di dahinya, 5 jahitan di lengannya, dan 7 jahitan di lututnya. Dan tak luput dari pandangan, seluruh tubuh Ivan di penuhi goresan luka kecil.
Sang istri berhambur memeluk Ivan. Menumpahkan air mata di sana. Ivan tersenyum. Seolah tidak ada beban untuknya.
"Aku minta maaf sama kamu. Aku sadar, aku belum bisa jadi suami yang baik buat kamu. Belum bisa jadi Ayah yang baik untuk anak kita, maafin aku," pinta Ivan. Dia memohon pada Sahla, matanya berkaca-kaca. Sahla hanya bisa mengangguk, dan tetap memeluk Ivan.
"Ayah, Ibu, maafin Ivan. Ivan banyak salah. Nyusahin Ayah sama Ibu. Bikin kalian malu, bikin kalian dapet hinaan dari tetangga. Maafin Ivan. Ivan belum bisa jadi anak yang berguna buat kalian. Belum bisa jadi anak yang berbakti sama kalian. Maafin Ivan, Yah, Bu."
Banyak pepatah yang mengungkapkan besarnya kasih sayang orang tua. Bahkan sejak seorang anak mengenal dunia, hal pertama yang dia dapat adalah kasih sayang, perhatian, dan cinta dari orang tua.
Lantas, apakah ada orang tua yang tidak memaafkan kesalahan anaknya? Tentu tidak ada. Begitupun yang dilakukan Ayah dan Ibu Zahira. Mereka memaafkan, dengan tulus dan ikhlas, segala perbuatan yang dilakukan oleh Ivan.
Ivan menatap Zahira yang enggan menatapnya. Sadar bahwa kesalahannya pada adik perempuannya besar sekali. Dia tidak pernah memperlakukan Zahira dengan baik. Dia tidak pernah berperan sebagai seorang Kakak dalam hidup Zahira. Bahkan, dulu dia terang-terangan membenci Zahira.
"Abang minta maaf, Ra. Abang sadar, kesalahan Abang ke kamu, itu besar banget. Karena Abang, kamu selalu dapet perlakuan nggak baik dari banyak orang. Maafin Abang. Abang nggak bisa ngasih kamu kebahagiaan seorang adik. Maafin Abang."
Zahira menangis. Ia berusaha mengutamakan kebenciaanya. Dia benci pada Ivan, sangat benci. Namun entah kenapa, hati nuraninya berkata agar dia memaafkan Ivan.
Beribu luka yang dia terima, tak berhasil membuat dia membenci Ivan dengan sangat. Sisi baiknya, mengangguki permintaan maaf Ivan. Dia berharap, ini bukan hanya permintaan maaf yang keluar dari lisan. Tapi awal, dari Ivan memulai kehidupan baru, dengan hal yang baik.
*********
Jangan lupa berdoa, belajar dan berusaha. Terimakasih...
KAMU SEDANG MEMBACA
ZAHIRA [SELESAI]
Teen FictionKulalui liku hidup, meski berderai air mata. Kadangkala dunia terasa sangat tidak adil, menguji makhluk yang bahkan telah lunglai. Duniaku terasa sangat menyakitkan. Luka demi luka kuseka, tapi duka tak henti memenjara. Entah kapan terakhir kali aku...