Izinkan aku menghakimi semua yang menyakitiku. Agar mereka tahu, pisau setajam apa yang menggoresku.
~Zahira Ayyuna*********
Satu tahun kemudian...
Seperti biasa, setiap libur semester Zahira akan menyempatkan waktu untuk pulang ke kampung halaman.
Dia baru saja mendapat kabar, beberapa minggu yang lalu kakak iparnya melahirkan. Keponakannya laki-laki. Zahira sudah tidak sabar ingin melihat seperti apa wajah bayi mungil, yang akan memanggilnya 'tante' itu.
Dengan menaiki ojek dari stasiun, akhirnya dia sampai di rumah. Keadaan rumah masih sama. Tidak ada unsur kehangatan di dalamnya.
Baru saja dia hendak mengetuk pintu dan mengucapkan salam, dia mendengar suara seorang perempuan menangis. Zahira menduga-duga, dia takut Abangnya berulah lagi.
Tanpa basa-basi dia segera masuk. Membuat beberapa orang yang ada di dalam rumah itu terkaget. Pasalnya, Zahira memang tidak mengabari akan pulang hari ini. Niat hati ingin membuat kejutan, tapi sepertinya dirinya pun ikut terkejut.
Sahla, Kakak iparnya tengah menangis. Dengan seorang bayi mungil dalam dekapannya. Ivan, tetap diam. Raut wajah yang sangat Zahira hafal, ketika beberapa kali seorang perempuan datang kerumah, dan mengabarkan bahwa mereka mengandung.
"Ada apa?" tanya Zahira. Ayahnya tersenyum, lalu menghampirinya. Mendekap Zahira erat, seolah ingin menghilangkan rasa rindu, dan beban di hatinya.
"Zahira, jadi anak baiknya Ayah ya?" bisik sang Ayah. Perkataan itu, memunculkan berbagai macam pikiran negatif di kepala Zahira.
Zahira melepas pelukan sang Ayah. Menatap Ayahnya penuh tanda tanya, namun sang Ayah hanya tersenyum. Seolah tidak ada apa-apa.
"Kenapa, Yah? Kak Sahla kenapa nangis?" tanya Zahira. Dia tahu ada yang tidak beres di rumah itu. Suasananya pun terasa sangat menyakitkan hatinya.
"Ivan selingkuh, Ra. Sejak aku hamil. Dia selingkuh dengan istri dari seorang bandar narkoba. Bahkan waktu aku lahiran, dia nggak ada di rumah sakit buat nemenin aku. Dia nggak ada waktu anaknya lahir, Ra!" jawab Sahla. Perempuan itu menangis, menahan amarah, mukanya merah padam.
"Kamu tau? Aku baru hamil tujuh bulan, tapi terpaksa harus melahirkan. Aku dirawat satu minggu, anakku terlahir prematur. Berat badannya cuma satu kilo dua ons. Dan Ivan, dengan teganya dia malah seneng-seneng sama perempuan lain!"
Sahla melempar beberapa kertas. Sebuah foto. Foto Ivan dengan seorang perempuan, di sebuah kamar, dengan kondisi tak berbusana.
Ayah Zahira jatuh terduduk, dia memijit pelipisnya. Putra sulungnya, benar-benar menghancurkan hatinya. Putra sulung, yang dia harapkan bisa menjaga adik-adiknya. Putra sulung, yang dia harapkan bisa menjadi panutan untuk adik-adiknya. Putra sulung, yang dia harapkan bisa menjadi penggantinya kelak.
Semua, musnah.
"Bang, jelasin!" ucap Zahira. Gadis itu menuntut penjelasan. Dalam hati dia berharap, itu semua hanya kebohongan belaka.
"Itu cuma temen." Dan tepat ketika Ivan berucap demikian, sebuah tamparan mendarat di pipinya. Meninggalkan tanda merah di sana.
"Temen kamu bilang? Mana ada temen cewek, sampe tidur bareng kaya gitu! Kamu pikir aku bodoh? Cewek itu udah ngakuin semuanya ke aku, dia bilang kamu ngaku ke dia kalau kamu itu nggak punya istri! Bahkan dia juga kaget, waktu aku bilang kamu udah punya anak, dan aku masih sah istri kamu!"
"Kalau iya emang kenapa?" Ivan naik pitam, dia bangkit dari duduknya. Menatap tajam Sahla. Tangannya sudah terangkat ingin menampar istrinya itu. Namun Zahira segera menahannya.
"Kalau sampai lo berani tampar istri lo sendiri, lo bajingan, Bang!" Zahira mengusap air matanya. Dia tidak boleh terlihat lemah lagi kali ini. Dia tidak boleh membiarkan, dunianya hancur karena Ivan lagi.
"Lo pernah mikir nggak si, kasian sama orang tua? Kasian sama gue? Kasian sama adek lo? Kasian sama istri dan anak lo? Pernah mikir nggak sih?!" Dia sudah hilang sabar. Zahira diam selama ini, menutup semua rasa sakit hati. Namun, kali ini dia tidak akan berpura-pura bodoh lagi.
"Lo tau nggak, lo hancurin harapan banyak orang! Ayah berharap, lo bisa jadi panutan buat adek-adek lo! Istri lo berharap, lo bisa jadi suami yang baik buat dia! Bahkan kalau anak lo udah bisa ngomong, dia berharap lo bisa jadi Bapak yang bertanggung jawab!" Zahira menghela napas, rasanya begitu sesak.
"Dan, gue! Gue berharap punya Abang yang bisa jagain gue! Jadi tempat cerita kalau gue cape sama semua yang ada di hidup gue! Lindungin gue! Bukan malah terus-terusan nyakitin kaya gini!"
"Gue berusaha nutup kuping dari semua omongan orang! Bahkan beberapa kali di sekolah, gue dibilang murahan karena punya Abang sering tidur sama banyak cewek! Gue dikucilkan di lingkungan gue sendiri! Gue dihina! Semua karena gue punya abang kaya lo!"
"Gue sekolah bahkan kuliah, merantau jauh-jauh. Lo tau karena apa? Gue berharap di tempat yang jauh, mereka nggak tau kehidupan keluarga gue separah dan sememalukan apa!"
"Lo nggak tau kan sakitnya? Sedangkan lo, tanpa rasa bersalah sedikitpun, seneng-seneng sama cewek lain. Ngelakuin hubungan di luar batas wajar! Lo nggak peduli itu dosa! Bahkan lo nggak peduli ketika mereka dateng ke rumah, minta pertanggung jawaban, karena lo hamilin mereka! Lo nggak peduli, orang tua nanggung malu yang gede karena lo! Lo cuma mikirin diri lo sendiri! Sumpah, gue pengen bunuh lo sekarang!"
Pertahanan Zahira roboh. Dia menangis. Terduduk dilantai, menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Dia menangis, histeris.
"Sakit tau nggak! Bertahun-tahun dikucilin sama tetangga! Nggak punya temen di sekolah! Lo pikir enak jadi gue? Dan lo masih dengan mudahnya, mainan cewek seenak jidat lo!"
"Lo nggak kasian sama istri lo? Sama anak lo? Lo udah nggak punya hati? Hah? Capek tau nggak? Capek punya Abang sebejat lo!"
Zahira masih terdiam, di lantai rumah yang begitu dingin. Pipinya sudah amat sangat basah. Namun, dia tidak lagi peduli.
Ayahnya mendekat. Mendekap putrinya dengan sayang. Ayahnya tahu, beban berat dan luka yang dihadapi oleh putri kesayangannya itu.
Rumahnya, berduka. Terasa sangat suram, dan dingin. Ivan tak menjawab semua perkataan Zahira. Laki-laki itu malah melenggang pergi, mengendarai motor besar miliknya. Dan hal itu, membuat Zahira makin naik pitam.
"Bajingan lo!" Pertama kalinya, Zahira berucap kasar. Dia, sudah terlampau marah. Ayahnya berusaha menenangkan. Mengelus kepala putrinya, sembari tersenyum. Namun Zahira tahu, senyum itu semata hanya kepalsuan. Ayahnya, pasti jauh lebih sedih dan sakit dibanding dirinya.
"Sudah, Nak. Nggak usah membuang tenaga kamu, untuk orang yang nggak pernah dengerin omongan siapapun. Ayah, berusaha ikhlas."
Ayahnya kembali tersenyum. Senyum yang justru membuat Zahira sakit. Sangat amat sakit hati. Senyum, yang di dalamnya menyimpan sejuta luka.
Ayahnya, sangat terluka. Zahira tahu itu.
*********
Jangan lupa berdoa, belajar dan berusaha. Terimakasih...
KAMU SEDANG MEMBACA
ZAHIRA [SELESAI]
Teen FictionKulalui liku hidup, meski berderai air mata. Kadangkala dunia terasa sangat tidak adil, menguji makhluk yang bahkan telah lunglai. Duniaku terasa sangat menyakitkan. Luka demi luka kuseka, tapi duka tak henti memenjara. Entah kapan terakhir kali aku...