Aku telah melampaui tujuanku. Bahkan, aku melupakan tujuanku. Mungkin, ini cara Tuhan menegurku.
~Zahira Ayyuna
***********
Kembali menginjakkan kaki di kampus tercinta, menggenggam binder untuk mencatat. Seorang gadis yang menguncir kuda rambutnya, memasuki kelas.
Tatapan matanya sendu. Bahkan kentara sekali kalau gadis itu baru saja menangis. Dia mendudukkan dirinya disalah satu kursi yang masih kosong.
"Ra, gosip pagi ini bener?" tanya sahabatnya. Gadis itu mendongak, menatap bingung pada sahabatnya. Kemudian, matanya menyapu seluruh penjuru kelas. Semua mata teman-temannya melihatnya prihatin.
"Gosip apa, Di? Gosip yang kemaren belum selesai? Masih ada yang percaya sama gosip itu?" tanya Zahira pada Widi.
"Lo selesai sama Pak Abyan? Baru ada pesan siaran di whatsapp kalau Pak Abyan akan bertunangan dengan Bu Agnetta, lo gimana?" tanya Widi hati-hati.
Zahira kaget? Sudah pasti. Baru tadi pagi dirinya memutuskan untuk menyelesaikan hubungannya dengan Abyan, lalu siang ini dia mendapat berita kalau Abyan akan bertunangan. Secepat itukah dirinya kehilangan Abyan?
"Gue, gue nggak, gue nggak tau, Di." Zahira kembali menangis, rasanya sesak. Seolah batu besar tengah menghimpit hatinya. Sakit.
"Cerita ya sama gue, kita ke taman belakang kampus, ya?" Zahira mengangguk, menerima tawaran Widi. Memang, saat ini yang dirinya butuhkan hanya seorang pendengar.
"Ra, sabar ya. Gue tau disaat kaya gini nggak pantes banget bilang buat sabar, tapi gue yakin lo bisa," ucap Della menyemangati, Zahira hanya mengangguk. Sesaat kemudian, melenggang pergi bersama Widi.
"Sekarang ceritain ke gue, lo sama Pak Abyan ada apa? Dan kenapa bisa ada berita kalau Pak Abyan mau tunangan sama Bu Agnetta?" tanya Widi.
Kini kedua gadis itu berada di taman belakang kampus. Meninggalkan satu mata kuliah mereka. Widi tau betul, sahabatnya itu pasti ingin mencurahkan isi hatinya.
"Gue, gue sama Pak Abyan udahan Di. Tadi pagi," jawab Zahira. Tetes demi tetes air mata membasah. Zahira tak sanggup menahan air matanya lebih lama lagi.
"Kok bisa?" Widi mengernyit heran. Pasalnya, baru hari kemarin Abyan membelanya di depan para mahasiswa. Baru kemarin Abyan mengatakan pada semua orang, bahwa dia mencintai Zahira.
"Kemaren, kemaren Mamanya Pak Abyan datengin gue. Beliau, beliau nggak setuju gue sama Pak Abyan. Beliau, beliau bilang gue nggak pantes buat Pak Abyan. Karena keluarga gue, abang gue, yang lo tau sendiri kaya apa keadaannya." Zahira sesenggukan. Dia kembali mengingat perkataan Qori kemarin sore, menyakitkan.
"Pak Abyan terlalu sempurna buat gue yang nggak punya apa-apa ini. Keluarga Pak Abyan terlalu baik, buat menyatu dengan keluarga gue yang rusak. Gue, gue sadar. Seharusnya, dari awal gue nggak usah naruh perasaan segini dalamnya." Lagi, Zahira menyalahkan dirinya.
"Gue salah, Di. Gue salah. Nggak seharusnya gue suka bahkan cinta sama Pak Abyan. Nggak seharusnya gue naruh perasaan lebih dari mahasiswa dan dosen ke Pak Abyan. Nggak seharusnya, Di."
Zahira semakin terisak. Widi yang tau bahwa Zahira benar-benar terpukul, segera memeluk Zahira. Memberikan kekuatan pada gadis itu.
"Gue yakin lo kuat, Ra. Lo pernah dapet ujian yang bahkan lebih berat dari ini, dan lo bisa lewatin semua itu. Jadi, untuk ujian lo kali ini, gue yakin lo pasti bisa lewatin." Widi mengusap punggung Zahira.
"Tapi sakit, Di. Rasanya nyesek. Hati gue sakit, Di. Gue pengen egois sekali aja, tapi gue nggak bisa. Gue nggak mungkin biarin Pak Abyan tetep sama gue, tapi malah menentang kemauan orang tuanya. Sakit, Di."
"Lo pasti bisa lewatin ini semua, Ra. Ada gue di samping lo. Gue bakalan bantuin lo, selalu. Inget tujuan awal lo ke sini buat apa? Buat banggain orang tua lo, bikin derajat orang tua lo naik lagi. Sekarang, cukup fokus sama hal itu. Fokus buat bahagiain orang tua lo, terutama Ayah lo. Lo pasti bisa, Ra!"
Zahira mengangguk, Widi benar tekad awalnya adalah untuk keluarga. Ia tidak boleh hancur hanya karena cinta. Seharusnya, sedari awal dia menempatkan masalah cinta diurutan paling akhir. Bukan malah menjadikan cinta yang paling utama.
Zahira kembali menerawang, gurat senyum yang terpancar dari Ayahnya. Beliau amat berharap bahwa di sini dia fokus pada pendidikannya. Bukan memikirkan hal tidak penting yang memang belum waktunya dia pikirkan.
Tekadnya harus kembali dibulatkan. Titik fokusnya harus kembali ke awal. Yaitu, orang tua.
Dia tidak boleh lemah hanya karena cinta. Dia tidak boleh hancur hanya karena cinta. Sedangkan cinta yang Ayahnya berikan selama ini, lebih besar dari cinta yang Abyan berikan padanya.
"Lo bener, Di. Selama ini fokus gue hilang. Gue lebih mikirin masalah cinta. Padahal niat awal gue ke sini buat nyari ilmu, wisuda, jadi sarjana, jadi lulusan terbaik, dan banggain orang tua. Gue, harus balik ke tekad awal gue." Zahira menghapus jejak air mata di pipinya.
Dia tersenyum, akhirnya dia berhasil mendapatkan semangat baru. Mungkin, dia terlalu terpuruk karena terlalu menganggap bahwa Abyan adalah segalanya. Dia mensugesti dirinya bahwa Abyan adalah bahagianya.
Tapi sekarang, dia harus menghilangkan itu semua. Bahagianya adalah orang tuanya. Segala yang ada di hidupnya, untuk membahagiakan orang tuanya.
"Semangat, Ra. Lo, pasti bisa. Sekarang, fokus sama kuliah aja. Nggak usah mikirin yang lain-lain. Biar pulang, lo udah bisa buktiin ke orang yang dulu ngehina lo. Dan lo juga bisa buktiin ke Ibunya Pak Abyan kalau lo lebih segalanya dibanding Ibu Agnetta itu. Semangat!"
"Gue pasti bisa kan, Di? Gue pasti mampu kan? Gue pasti bisa lupain ini semua, dan fokus buat bahagiain keluarga, iyakan, Di?" Widi mengangguk, memyemangati Zahira.
Zahira sangat berterimakasih, ia diberikan sahabat seperti Widi. Widi selalu menemani dirinya di kala sedih, menyemangati dirinya ketika terpuruk. Mendorong dirinya ketika dia mulai lelah.
Zahira terlalu bodoh, hanya karena cinta dia melupakan segalanya. Dia melupakan orang tuanya, yang telah susah payah membiayai kuliahnya. Dia, tidak boleh terus seperti ini.
Mungkin, Tuhan tengah menegurnya. Zahira terlalu larut akan cinta yang manusia beri, hingga Tuhan memberinya ujian. Agar dia ingat, bahwa Abyan bukan segalanya.
*********
Jangan lupa berdoa, belajar dan berusaha. Terimakasih...
KAMU SEDANG MEMBACA
ZAHIRA [SELESAI]
Teen FictionKulalui liku hidup, meski berderai air mata. Kadangkala dunia terasa sangat tidak adil, menguji makhluk yang bahkan telah lunglai. Duniaku terasa sangat menyakitkan. Luka demi luka kuseka, tapi duka tak henti memenjara. Entah kapan terakhir kali aku...