Melepaskan?

3.2K 132 6
                                    

Aku tak ingin kehilanganmu. Membayangkan bagaimana jadinya aku tanpamu, aku tak mampu.

~Abyan Nandana

*********

"Kak, udah lama? Maaf ya, baru selesai siap-siap. Ngasih taunya dadakan sih," tutur Zahira.

Abyan menjemputnya pagi-pagi sekali. Sebelum berangkat ke kampus, Abyan ingin sarapan bersama Zahira. Yang membuat Zahira kesal, Abyan memberitahunya dadakan, jadi mandinya pun terburu-buru.

"Nggak kok, harusnya saya yang minta maaf, ngasih tau kamu dadakan. Saya juga pengen sarapan sama kamunya dadakan," Abyan mengulas senyumnya.

"Kak Abyan nggak lagi ada masalahkan? Kayanya kusut banget mukanya, lagi banyak pikiran?" tanya Zahira.

Pagi ini, Abyan tidak seperti biasanya. Lengan kemeja yang biasanya ia kancing rapi, kini dia gulung sampai siku. Dasi yang selalu terpasang di leher kemejanya, kini entah kemana raibnya. Rambut yang selalu tertata rapi, kini terlihat acak-acakkan. Kantung matanya pun turut menghitam. Memang tidak mengurangi ketampanannya, tapi tetap saja dia terlihat berbeda.

"Banyak tugas kampus aja, Ra. Sama semalem kurang tidur, banyak kerjaan yang harus saya urus," jelas Abyan.

Maafin saya, Ra. Saya nggak mau kehilangan kamu, tapi saya juga nggak mungkin membangkang pada orang tua saya. Saya bingung. Batin Abyan.

"Yakin? Kalau ada apa-apa, atau perlu apa bilang aja ke saya Kak. Siapa tau saya bisa bantu," kedua sudut bibir Zahira terangkat.

"Iya. Mau sarapan apa?" tanya Abyan, Zahira menjentikkan telunjuknya di dagu. "Hm, bubur ayam depan aja Kak, enak soalnya saya jamin Kak Abyan suka." Abyan mengangguki, sedetin kemudian, menancap gas menuju tempat yang Zahira tunjukkan.

"Mang, bubur ayamnya dua ya, makan di sini," Zahira langsung memesan, ketika mereka sudah sampai. Bubur ayam di pinggir jalan, lebih nikmat daripada yang harganya mahal di restoran.

"Siap neng. wah sama cowok, pacarnya ya neng?" penjual bubur yang Zahira ketahui bernama Mang Asep itu menggoda Zahira.

"Hehe, dosen saya di kampus Mang," jelas Zahira. "Kalau pacar juga nggak apa-apa neng, baik kok keliatannya." Zahira hanya tersenyum kikuk.

"Ini neng, silakan dimakan." "Makasih, Mang." Zahira beranjak menuju tempat Abyan duduk.

"Akrab banget sama penjualnya, kenal?" tanya Abyan tanpa basa basi. "Saya langganan di sini, Kak. Biasa setiap pagi saya beli sarapan di sini sama temen kost. Ini buburnya, Kak."

Keduanya makan dengan tenang. Setelah selesai, mereka bergegas menuju kampus, karena waktu telah menunjukkan pukul setengah delapan pagi.

Di perjalanan, mereka sama-sama diam. Berkelana dengan pikiran masing-masing. Sejujurnya, Abyan masih dilanda kebingungan. Entah bagaimana hubungannya ke depan.

Sedangkan Zahira, sesekali melirik Abyan. Mengamati wajah serius dan sendu dari lelaki itu. Zahira paham dengan benar, lelakinya sedang memiliki sebuah masalah. Entah apa, tetapi Zahira tak mau menanyakan. Sebab masalah pribadi seseorang, tidak harus diumbar kepada khalayak ramai.

Terkadang, dia yang terlihat baik-baik saja. Justru yang memiliki masalah paling berat. Dia yang tertawa paling kencang, sejatinya tengah menyembunyikan kesedihan.

Pada intinya, tak perlu kau umbar apa yang tengah menimpamu. Sebab yang menyayangimu akan ada bersamamu, meski kamu tak mengatakan lukamu. Dan orang yang tak peduli padamu, akan tetap acuh meski seribu kali kau mengeluh.

Mobil Abyan memasuki lingkungan kampus. Membuat beberapa pasang mata bertanda tanya, siapakah perempuan yang bersama Abyan?.

"Ra, jangan pernah tinggalin saya. Apapun yang terjadi di masa depan. Tetap berjuang sama saya." Abyan menatap manik mata Zahira. Sendu, itu yang Zahira rasakan dari tatapan Abyan.

"Saya berusaha, Kak. Semampu saya, apapun yang ada di depan, entah membahagiakan atau menyakitkan. Saya akan tetap di sini, bersama Kak Abyan." Zahira yakin, dengan Abyan dia bisa menjemput kebahagiaanya.

"Saya nggak mau kehilangan kamu, Ra. Saya cinta kamu." Zahira tersenyum, kemudian mengangguk. Entah apa yang mengganggu pikiran lelakinya itu, tapi dia yakin dia akan bisa melewatinya bersama Abyan.

Abyan turun dari mobilnya. Berjalan mengitar, membuka pintu samping kemudi. Sayup-sayup terdengar para wanita berghibah ria. Ada yang pro dengan hubungan Abyan dan Zahira, bahkan tak sedikit yang kontra.

"Kalau diliat si emang serasi gitu, cocoklah jadi pasangan."
"Coba kalau Zahiranya lebih dewasa dikit tampilannya, pasti lebih pas. Kaya Bu Agnetta gitu."
"Nggak ah, kaya gitu cocok kok. Zahiranya masih imut, Pak Abyan jadi keliatan makin muda kalau sebelahan sama Zahira."
"Jago juga godainnya ya si Zahira. Mau belajar ah."

Begitulah kiranya lontaran kata dari beberapa mahasiswa. Abyan masih dengan sikap yang biasa saja, tenang seolah tidak ada apa-apa. Namun di sampingnya, Zahira sudah ketar-ketir. Bayangan kejadian kemarin, berputar tanpa ia minta.

"Masuk gih, belajar yang bener. Biar cepet wisuda, abis itu saya nikahin deh," Abyan tersenyum sembari menaik-naikkan sebelah alisnya.

"Ish, bahasnya udah sampe nikah aja. Yang sekarang aja yang dipikirin. Jodoh? Doa aja dulu, minta sama Allah," Zahira membalas senyuman Abyan.

"Apa mau sekarang aja nikahnya, pastiin kalau kamu jodoh saya atau bukan. Kalau udah sampe KUA pasti jodoh." Pria di depannya ini sepertinya, sudah benar-benar ingin menikah.

"Saya baru semester dua lho Kak. Udah ah, saya masuk ya. Makasih Kak, semangat ngajarnya."

"Kamu juga semangat!" Abyan tersenyum, menatap punggung Zahira yang kian menjauh. Abyan segera mengunci mobilnya, sebelum akhirnya dia menuju keruangannya.

Zahira telah berada di kelas, dengan senyum yang mengembang, mengingat perkataan Abyan di parkiran tadi.

"Ekhem, cie yang berangkat bareng Bapak Dosen. Duh, gue jadi pengen," ledek Widi. Huh, baru saja sampai di kelas sudah jadi bahan ledekan saja oleh sahabatnya itu.

"Eh, Ra kemarin lo nggak apa-apa kan? Kita kira lo nggak masuk hari ini gara-gara kemaren," Della nimbrung, menanyakan keadaan teman kelasnya itu.

"Nggak kok, hehe. Cuma rada syok dikit aja, tapi nggak apa-apa kok," Zahira tersenyum, menunjukkan pada seisi kelas bahwa dirinya baik-baik saja.

"Gila emang itu si kakak tingkat. Kek cabe-cabean, muka dempul udah berapa puluh senti itu. Palingan iri sama lo, Ra. Lo dapet Pak Dosen ganteng, lah dia bikin cowok suka aja harus pake dempul tebel," Jay ikut bersuara.

Memang sejauh ini, di kelas selain Widi, Zahira juga dekat dengan Della, Jay dan juga Ayu. Tapi Ayu belum terlihat batang hidungnya.

"Tumben lo ngomongnya bener, biasanya nggak otak lo, nggak omongan lo, nggak ada benernya," ledek Della. Kan mulai lagi, kapan si mereka berdua akur? Nunggu jadi jodoh?.

********

Jangan lupa berdoa, belajar dan berusaha. Terimakasih...

ZAHIRA [SELESAI] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang