Terlalu banyak hari yang kita lewati bersama. Seperti inikah akhir dari cerita kita?
************
Gadis berusia dua puluh satu tahun itu berlarian keluar gedung yudisium. Berhambur ke dalam pelukan sang Ayah dan Ibunya. Hari ini, Zahira mendapatkan gelar sarjananya.
Kurang dari empat tahun, gadis cantik itu berhasil berhasil menyelesaikan studinya. Menjadi lulusan terbaik, dan mendapat predikat cumlaude.
Orang tua mana yang tak mengharu biru, melihat sang putri berhasil meraih apa yang dia inginkan. Memberikan torehan nilai kebaikan pada orang tua. Setidaknya, dengan keberhasilan Zahira kali ini, nama orang tuanya sedikit demi sedikit terangkat kembali.
Zahira semakin menjadi pribadi yang tangguh. Kesabaran hatinya tak perlu diragukan lagi. Keikhlasannya sudah terbukti. Meski duri yang menancap di kakinya begitu tajam, tapi gadis itu tak pernah berhenti melangkah.
Hari ini, dia memetik hasil atas semua yang telah dia perjuangkan. Gadis itu, telah berhasil. Meski harus terinjak seribu kali, namun seribu satu kali gadis itu berusaha bangkit.
"Ayah bangga sama kamu, Nak. Kamu putri ayah yang hebat. Terimakasih, sudah mau berjuang demi semua orang. Amalkan ilmu yang kamu punya. Jadilah putri ayah, yang bermanfaat untuk sesama."
Rasa syukur begitu membuncah dalam hati keluarga itu. Setelah pahit kehidupan mereka lalui, akhirnya hari ini ada rasa manis yang sanggup mereka cecap.
Zahira celingukan, mencari sosok yang selama ini juga menemaninya. Namun, nihil. Lelaki itu tak ada. Bahkan pesan yang dia kirimkan sejak pagi juga tak dibalas. Zahira mencoba berprasangkan baik, mungkin Abyan tengah sibuk.
"Kita foto-foto yuk, Yah, Bu."
Zahira tak ingin terlihat murung di hari bahagianya, apalagi di depan orang tuanya. Detik ini, akan jauh lebih bermakna, kalau dirinya menorehkan memori bahagia bersama keluarga.
Sang Ayah merangkul putri semata wayangnya itu. Seolah ingin menunjukkan pada semesta, bahwa gadis berprestasi itu adalah putrinya.
Zahira bersua foto bersama orang tuanya. Tak hanya ingin menyimpan di memori kepalanya saja. Dia akan mengabadikannya dalam sebuah album foto.
Tak lama dari kejauhan, seorang lelaki bertubuh tegap menghampirinya. Lelaki yang Zahira tunggu kehadirannya. Lelaki yang selalu menemaninya begadang mengerjakan skripsi, meski hanya melalui sambungan telfon. Lelaki yang menjadi sandarannya, kala segala hal terasa melelahkannya.
"Maaf, saya telat. Selamat, Ra, usaha kamu dapet hasil yang maksimal," ucap Abyan.
Senyum Zahira mengembang. Kedatangan Abyan cukup berpengaruh besar pada tingkat kebahagiaan Zahira.
Abyan mengulurkan sebuah bucket berukuran besar, berisikan berbagai macam coklat. Zahira bukan gadis yang menyukai bunga, maka dari itu Abyan tidak memberikan bucket bunga.
"Terimakasih, Kak. Saya kira kakak ngga bakal dateng. Saya hubungin dari pagi nggak ada balesan."
Abyan tersenyum simpul mendengar penuturan gadisnya itu.
"Saya dateng kok, dari kamu dipindahin toga malah. Udah ketemu juga sama keluarga kamu. Tapi tadi saya terpaksa keluar gedung, ada urusan dadakan. Maaf ya?"
Zahira tidak menyangka, bahwa Abyan sudah menyaksikan prosesi wisudanya. Padahal tadi, dia sempat berpikir yang tidak-tidak. Dan hal mengejutkan lainnya adalah, Abyan sudah bertemu dengan kedua orang tuanya.
"Iya, Nak, tadi Nak Abyan ini dateng waktu prosesi wisuda kamu. Nemuin Ibu sama Ayah juga. Kenapa nggak cerita kalau kamu udah punya calon?" tanya Ibu.
Zahira melotot kaget, calon?. Bahkan hubungan mereka baru hanya sekadar komitmen. Komitmen untuk berusaha selalu bersama. Lalu bagaimana bisa dikatakan Abyan ini calonnya?.
Zahira menatap Abyan, menuntut penjelasan. Dosen tercintanya itu, ternyata melakukan sebuah langkah tanpa perundingan dengannya.
"Jadi gini, saya nggak mau bertele-tele lagi, Ra. Kamu tahu usia saya nggak muda lagi untuk tetap mengurus segalanya sendiri. Saya butuh pendamping di hidup saya, yang bersedia menemani saya entah dalam keadaan duka ataupun suka. Saya butuh perempuan yang mau hidup bersama saya, mendukung saya, dan mendoakan saya."
Abyan menatap Zahira penuh keyakinan. Kilatan cinta sangat terbaca di bola mata keduanya, begitu besar. Bahkan ketika banyak hal berusaha menggoyahkan hati mereka, mereka mampu bertahan hingga sejauh ini.
Abyan mengeluarkan kotak beludru berwarna merah dari dalam saku jasnya. Dibukanya kotak itu, menampakkan sebuah cincin bertahtakan berlian. Tidak besar, namun sangat elegan.
"Ra, dari dulu saya selalu bilang sama kamu, kalau saya serius sama kamu. Saya ingin menjadikan kamu milik saya seutuhnya. Saya ingin kamu yang menemani saya, mengarungi segala yang ada di depan nanti. Saya ingin kamu yang mendampingi saya, hingga akhir hidup saya. Zahira Ayyuna, maukah kamu menikah dengan saya?"
Zahira menitihkan air mata. Kebahagiaan yang hari ini Tuhan berikan padanya, seganjar dengan duka yang selama ini menyelimuti hatinya. Setelah semua kesakitan Zahira telan meski terpaksa, pada akhirnya hari bahagia tiba.
Abyan yang hadir ketika dirinya terjatuh ke dalam jurang yang menyakitkan, kini benar-benar menariknya ke dalam lembah kebahagiaan.
Abyan yang setia mendengar keluh kesah, serta isak tangisnya, kini memberinya hujaman kebahagiaan. Beginikah rasanya bahagia? Indah sekali.
"Saya, saya nggak tau harus ngomong apa."
Senyum yang Abyan tampilkan semakin lebar, mengetahui gadisnya menangis sebab bahagia. Lelaki itu menyeka air mata yang luruh di pipi Zahira, gadis yang membuatnya berjanji pada semesta, bahwa hidupnya akan dia abdikan untuk membahagiakan Zahira.
"Terimakasih, Kakak mau menemani saya sampai sekarang. Banyak kesulitan yang kita dapet, tapi kakak nggak pernah nyerah, meski saya sering kali mengaku kalah. Terimakasih, mau menerima saya apa adanya saya. Mau menyempurnakan kekurangan saya. Mau menjadi sandaran lelah saya."
"Sudah menjadi kewajiban saya, Ra. Sejak saya berkomitmen dengan kamu, saya sudah berjanji, bahwa selama kamu bersama saya, saya akan mengusahakan kebahagiaan untuk kamu. Apapun caranya. Jadi, sekali lagi, maukah kamu menikah dengan saya?"
Zahira mengangguk, tak bisa berkata-kata. Hanya seulas senyum dan tangis bahagia yang menjadi jawabannya.
Abyan menyematkan cincin sebagai tanda kepemilikan di jari manis Zahira. Sangat pas. Tidak kekecilan ataupun kebesaran. Padahal, Abyan hanya mengira-ngira ukuran jari Zahira.
Ayah dan Ibu yang berdiri di belakang Zahira pun ikut menangis haru. Putrinya, menemukan pria yang begitu baik. Mereka yakin, Abyan mampu memberikan Zahira kebahagiaan, yang selama ini jarang sekali Zahira rasakan. Abyan, mampu.
Bahagia. Jika ada kata yang bisa mendeskripsikan betapa berbunganya hati Zahira, lebih sekadar bahagia, Zahira akan menggunakan kata itu.
Abyan menarik Zahira kedalam dekapannya. Berulang kali dirinya berucap terimakasih pada gadisnya. Mulai detik ini, Zahira adalah sumber bahagianya.
Zahira yang dahulu hidup dalam dunia yang gelap, penuh kesakitan, penuh luka, dan amat sangat akrab dengan derita. Kini, Zahira adalah gadis yang memiliki sejuta kata bahagia.
**********
Jangan lupa belajar, berdoa dan berusaha. Terimakasih.
Ini part terakhir ya, sekali lagi terimakasih untuk pembaca Zahira. Silakan mampir kelapak saya yang lainnya. Hehehe.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZAHIRA [SELESAI]
Teen FictionKulalui liku hidup, meski berderai air mata. Kadangkala dunia terasa sangat tidak adil, menguji makhluk yang bahkan telah lunglai. Duniaku terasa sangat menyakitkan. Luka demi luka kuseka, tapi duka tak henti memenjara. Entah kapan terakhir kali aku...