Berbagi

3.1K 154 7
                                    

Dunia akan terasa sangat tidak adil. Dia mencipta tawa pada semesta, namun membuat takdir terluka.

~Author

*********

Hari ini merupakan hari terakhir Zahira melaksanakan Ujian Akhir Semester. Dia baru saja beranjak dari ruang kelas, meninggalkan lembaran soal yang telah tuntas.

Pikirannya melayang, membawanya tenggelam dalam bisingnya kenangan. Melarutkan hatinya dalam pesakitan, yang berusaha ia makamkan. Ia tergugu, mendapati kenyataan yang amat sangat lucu. Dunia, terasa seperti komedi baginya.

Dia mendapati sebuah pesan, kakaknya, Ivan akan menikah kembali. Bukan, bukan dengan Diana ataupun Ratna. Apa kabar Ratna? Perempuan yang kali terakhir ini ia hamili.

Satu kenyataan yang baru saja Zahira dapati, Ratna hanya dinikahi selama satu hari. Setelahnya Ivan menceraikan istrinya kembali. Jadi, ini adalah pernikahan yang ketiga kali. Membuat keluarganya malu sudah seperti hobi.

Ivan akan menikah dua minggu lagi, tepat di bulan februari. Membuat Zahira meragu untuk pulang dan menginjakan kaki. Ia, sudah teramat benci.

"Hey, Ra. Jangan ngelamun, ada apaan si? Kalau ada masalah itu cerita, gue sebagai teman jadi berasa nggak guna." Widi telah berada di sampingnya, entah sejak kapan gadis itu selesai mengerjakan UAS.

"Nggak ada apa-apa. Dari tadi? Gimana menurut lo UASnya?" tanya Zahira. Widi tau, temannya itu berusaha mengalihkan pembicaraan. Pun Widi sadar betul, ada beberapa hal yang memang tidak bisa diceritakan oleh setiap orang.

"Nggak sih, baru aja. Beh, susah Ra. Lo itu kenapa si pinter banget? Perasaan waktu yang di kasih itu 90menit, tapi lo ngerjain nggak ada 60menit."

"Lo tau? Itu sejatinya bukan karena gue pinter, tapi karena gue nggak tau jawabannya apa. Jadi, isi aja sesuka hati dan perasaan gue. Kumpulin, keluar deh pulang cepet, haha"

"Merendah untuk meroket lo ya? Kita liat aja kalau sampe nilai lo A semua, ucapan lo yang tadi cuma tipu-tipu."

Widi bersungut-sungut. Padahal sebelum materi itu di UASkan Widi sudah meminta Zahira untuk mengajarinya. Satu hari ia paham, namun ketika UAS dilaksanakan, apa yang ia pelajari menguap entah kemana.

"Mudik nggak, Ra? Kemarin gue tanya ke orang tua, gue boleh lho ikut lo mudik, hehe" Widi nyengir lebar, berharap Zahira akan mengajaknya ikut serta ke kampung halaman.

"Gue, kayanya nggak pulang deh, Di. Liburan aja yuk kita. Quality time berdua, kayanya seru." Ajakan Zahira membuat Widi berpikir, apakah dia tidak rindu keluarganya?

"Lo nggak kangen rumah emang, Ra? Yang lain pulang semua lho. Gue si oke oke aja kalau lo mau liburan berdua sama gue."

"Ada hal yang belum bisa gue ceritain, Di. Di rumah keadaannya lagi nggak mengenakkan buat gue." Zahira tertunduk. Ia pun ingin pulang, hanya saja keadaannya membuatnya takut. Takut ia akan membenci semua orang, termasuk orang tuanya.

"Oh, ya udah Ra nggak apa-apa. Nanti rencanain aja mau liburan di mana, toh kita juga ada liburan angkatan sama beberapa dosen fakultas." Zahira mengangguk dalam diamnya.

"Eh, Ra. Pak Abyan tuh, cie yang habis UAS langsung disamperin. Uhuyy," ledek Widi. Zahira menghadapkan pandangannya kearah yang Widi tunjuk. Dan benar saja, lelaki blasteran Indonesia-Arab itu tengah melangkah dengan begitu gagahnya.

"Ra, sudah selesai? Gimana UASnya? Lancar?" tanya Abyan pada gadis yang tak pernah bisa membuat Abyan melepaskan tatapannya.

"Ekhem, siang Pak. Ada saya lho di sini, bukan Zahira doang." singgung Widi, Abyan melirik sekilas lalu mengangguk.

"Ya udah, Ra gue cabut deh dari pada jadi nyamuk. Kalau udah siap, cerita aja ke gue. Gue pasti dengerin kok." Zahira kembali hanya mengangguk. Widi kembali menatap Abyan.

"Pak, saya titip Zahira ya. Saya pamit, siang Pak. Dadah, Ra." "Saya jagain kok selalu." jawab Abyan.

Widi melambaikan tangan pada Zahira yang dibalas lambaian tangan pula. Setelah Widi sudah tidak nampak, Zahira mendongak menatap Abyan yang masih setia memperhatikannya.

"Ada masalah? Mau cerita sama saya?" tanya Abyan, dia bukan lelaki yang tidak peka. Dia amat sangat mengerti, bahwa Zahira sedang dalam keadaan kurang baik.

"Pak, sebenernya saya laper. Pengen makan, tadi pagi buru-buru jadi nggak sempat sarapan, hehe" Abyan terkekeh geli.

"Ya sudah, ayo makan. Kita cari makanan favorit kamu." "Memangnya Bapak tau makanan favorit saya?" Abyan pura-pura berpikir, "Bakso kan?" Zahira tersenyum lalu mengangguk. Keduanya melenggang, meninggalkan area kampus mencari makanan favorit Zahira.

Di sebuah warung bakso, Zahira dan Abyan duduk berhadapan. Sangat kentara, Zahira tengah gundah. Pun Abyan memahami, gadisnya itu tengah memiliki beban.

"Ra, saya tau kamu ada masalah. Mau cerita sama saya? Sebelumnya kan kita udah janji akan berbagi apapun, saya nggak mau dihubungan ini kamu memberikan saya suka, tapi saya nggak bisa ikut merasakan duka yang kamu rasakan." Ucapan Abyan membuyarkan lamunan Zahira.

"Kak, dua minggu lagi Bang Ivan nikah. Untuk yang ketiga kalinya. Saya pengen pulang, tapi saya benci lihat pemandangan yang bikin saya sakit hati."

Kini Abyan mengerti, gadis di depannya itu sebenarnya sudah enggan untuk menerima kenyataan menyakitkan lagi dari keluarganya.

"Ceritain apa yang ingin kamu ceritakan. Ungkapin apa yang mengganjal di hati kamu. Saya siap dengerin kok, Ra." Abyan tersenyum. Senyuman yang selalu membuat Zahira merasa tenang.

"Kesekian kali, saya capek Kak. Banyak kenyataan hidup yang nggak sesuai sama harapan saya. Banyak takdir yang bahkan menyakiti saya sekaligus." Zahira menerawang, merasakan denyutan sakit di hatinya.

"Saya, benci menerima kenyataan hidup saya seperti ini. Saya, benci begitu menyadari keluarga saya tak seindah keluarga teman saya. Saya benci, lagi-lagi terjadi hal seperti ini."

Abyan menatap lekat gadis yang berhasil mengunci hatinya. Dia tau, jika bukan Zahira maka siapapun tidak akan kuat menghadapi kenyataan hidup yang begitu menyedihkan.

"Selama ini saya berusaha sabar, saya berusaha tegar, dan saya menutup telinga dari beribu-ribu hinaan. Tapi untuk kali ini, saya muak Kak. Saya muak di hadapkan dengan masalah hidup yang berakar dari satu orang yang sama."

"Ra, mendengar cerita kamu dan ungkapan hati kamu, saya yakin satu hal. Kamu, gadis terkuat yang pernah saya temui. Dan saya yakin untuk menjadikan kamu seutuhnya di hidup saya." Lagi, Abyan tersenyum hangat pada Zahira.

"Saya cuma bisa dukung kamu. Apapun yang akan kamu lakukan, jika menurut kamu baik maka lakukan. Kamu sudah terlalu dewasa, seiring beribu hantaman yang membuat pikiranmu melebihi usiamu." Abyan menarik napas, hendak melanjutkan perkataannya.

"Yang terpenting, kamu harus yakin. Kamu harus percaya sama diri kamu. Ingat yang pernah saya bilang? Tuhan nggak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan seorang hamba. Jadi, sekarang lakukan apa yang ingin kamu lakukan. Dan tinggalkan apa yang tidak ingin kamu jamah."

Perkataan Abyan bagai pemantik semangat untuk seorang Zahira. Dia tersenyum kemudian mengangguk. Dia hanya perlu yakin. Percaya pada takdir yang telah Tuhan gariskan.

"Terimakasih, Kak." Abyan mengangguk, membalas lengkungan senyum yang Zahira tujukan padanya.

Jika daun yang berguguran saja tidak pernah membenci angin. Mengapa manusia harus membenci takdir atas roda kehidupan yang tidak sesuai keinginan?.

Ikhlas. Sabar. Tawakal. Manusia, hanya bisa bermain dengan hati dan logika. Jadi, pergunakan sebaik-baiknya.

*********

Jangan lupa berdoa, belajar dan berusaha. Terimakasih...

ZAHIRA [SELESAI] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang