Sehari saja, kuingin singkirkan segala beban yang mengikat. Melenyapkan derita. Sebab bahagia, kita yang cipta.
~Zahira Ayyuna
*********
Dua hari penuh Zahira berdiam diri di kamar kostnya. Menenangkan hati, mendinginkan pikiran. Dia sadar betul, apa yang ada dalam hidupnya memang di takdirkan untuknya.
Hari ini dia tengah menunggu Widi. Sesuai janjinya pada Widi, mereka akan berlibur bersama. Sebenarnya liburannya kali ini sama saja dia pulang kembali ke tempat asalnya, hanya berbeda kota saja.
"Hay, Ra. Kangen gue nggak? Haha. Udah lama ya? Udah bilang sama Pak Abyan mau liburan ke luar kota?" tanya Widi tanpa jeda, ketika dia sudah bertemu dengan sahabatnya itu.
"Nggak ah, lo kali yang kangen gue. Kayanya lima belas menit deh, Di. Udah kok, hehe."
Mereka berjalan masuk ke dalam area stasiun kereta api. Sesekali Zahira melirik jam yang melingkar indah di pergelangan tangannya. Kurang dari dua puluh menit lagi, kereta yang mereka tumpangi akan melaju.
"Akhirnya liburan, Ra. Holiday, I'm coming." Widi bersorak gembira, kala kereta api mulai melaju.
"Lo kurang liburan ya, Di? Piknik gih sesekali, biar nggak norak." Widi mencubit lengan Zahira gemas.
"Huh, kaya lo pernah liburan aja selama kuliah. Lo juga sama ya, bertelur di dalem kost, tapi nggak keliatan tuh anak ayamnya netes apa belum."
"Lo kira gue ayam betina." Widi tertawa keras. Selain liburan, membuat Zahira kesal juga kebahagiaan untuk seorang Widi.
Delapan jam mereka lewati. Sampailah mereka di tempat liburan yang mereka tuju. Tempat liburan impian seorang Widi. Zahira si manut saja, dibayarin Papa Widi soalnya.
"Ah akhirnya gue bisa selonjoran, Ra. Hotelnya enak nih, keren lagi" ucap Widi.
"Katanya mau liburan, tapi kok malah rebahan" sindir Zahira. "Huh, Jogjaaaaa. Gue dari kecil pengen banget nih ke sini. Akhirnya." ujar Widi tanpa menghiraukan sindiran Zahira.
"Berisik, Di. Lo kira ini di hutan, kaya Tarzan lo teriak-teriak nggak jelas." Widi menoyor Zahira, merasa tidak terima dikatakan seperti Tarzan.
"Buset, cantik-cantik gini lo bilang kaya Tarzan. Wah, rabun mata lo Ra. Yuk ke optik, cek tuh mata."
"Iya cantik, kalau di lihat pake sedotan." "Hih dasar. Mending beres-beres deh, besok kita mau ke merapi. Yey"
Jogja. Salah satu provinsi di Indonesia, yang menjadi tujuan wisata. Keindahan dan kebudayaan yang ada di Jogja, merupakan daya tarik tersendiri yang membuat seorang Widi tergila-gila akan Jogja.
Untuk Widi, liburan kali ini merupakan pemenuhan targetnya. Sedari kecil dia punya keinginan untuk berlibur ke kota yang khas akan gudegnya itu.
Namun bagi Zahira, liburannya kini adalah penenang hati dan pikirannya. Sejenak melupakan masalah yang membelenggunya. Dan, sebentar saja mencipta kebahagiaan untuk dirinya.
Keesokan harinya, mereka bersiap menjalani trip panjang dan melelahkan. Namun, mengasyikkan.
Sebuah Jeep telah menunggu mereka. Dan seorang Guide sekaligus Driver Jeep tersebut, akan menemani mereka menjelajahi Jogja kali ini.
Lava Tour Merapi, adalah tujuan liburan mereka kali ini. Di sana mereka akan di suguhkan pemandangan dari sisa-sisa letusan Gunung Merapi. Dan tujuan utama mereka adalah, rumah peninggalan Mbah Maridjan.
"Let's go, Pak. Udah nggak sabar ini," teriak Widi. Zahira hanya geleng kepala melihatnya. Memang, sejak semalam Widi heboh sekali seolah ini adalah liburan pertamanya.
"Pak, maafin temen saya ya. Dia emang gitu, nggak pernah liburan soalnya." Widi bersungut-sungut mendengar ucapan Zahira.
"Biasa kok Kak, banyak mahasiswa juga yang suka liburan ke sini. Dan tripnya ke Merapi juga. Ya heboh juga, kaya Kakak itu."
Medan yang begitu terjal, dengan tumpukan debu sisa letusan di sepanjang jalan. Rupanya, tidak membuat mereka merasa lelah. Buktinya, mereka tetap berteriak heboh.
"Makan tuh omongan lo, yang katanya gue norak. Lah lo sendiri juga teriak-teriak nggak jelas gitu. Huuuu" Zahira nyengir Kuda membalas perkataan Widi.
"Seru ternyata, Di. Ini baru liburan, penat gue ilang." teriak Zahira.
Sampailah mereka di rumah Mbah Maridjan. Beliau dulu meninggal kala letusan Gunung Merapi. Membuat banyak orang merasa kehilangan.
Di rumah itu, masih banyak bekas-bekas letusan. Dari gelas meleleh karena terkena lahar. Bahkan tulang-tulang Sapi pun masih utuh. Kerangka sepeda motor, yang juga sama di lahap oleh lahar panas Gunung Merapi.
Kedua gadis itu merasa terenyuh. Benda-benda yang bahkan di rasa tidak mungkin meleleh pun, bisa hancur seperti ini. Apalagi manusia?.
Satu hal yang mereka pelajari. Kuasa Tuhan. Kuasa Allah. Jika Dia yang Maha Kuasa telah mengehendaki, maka apapun bisa terjadi.
Dan, satu hal yang terlintas di benak Zahira. Memang, apapun kehendak Tuhan tidak bisa ia tolak begitu saja. Sebab, biarpun ia lari bahkan keujung dunia sekalipun, jika Tuhan sudah berkata ini ujian untukmu, maka sebagai manusia ia hanya bisa belajar melewati semuanya.
Setelah perjalanan yang melelahkan, mereka kembali ke Hotel. Membersihkan diri, dan berkemas. Mereka akan melanjutkan trip ke tempat yang berbeda. Berpindah hotel, dan menikmati keindahan Jogja di tempat yang lainnya.
Malioboro, tujuan mereka selanjutnya. Mobil jemputan mereka telah menunggu, berlalulah mereka dari tempat itu. Meninggalkan kenangan di benak mereka, dan menciptakan kenangan lain di memori mereka.
"Jogja, keren parah. Gue nanti S2 di sini aja ah, Ra. Sama lo ya, hehe" Widi itu selalu ada-ada saja.
"S1 dulu selesain woy, baru juga mau masuk semester 2. Masih lama widuy sayang.""Ra, masa depan itu harus dipersiapkan. Jangan masa depan lo sama Pak Abyan doang yang di persiapkan." "Iya deh iya, Di"
Setelah menata kembali barang-barang mereka di hotel yang baru. Ternyata, rasa lelah tak kunjung menghampiri kedua gadis itu. Mereka menjelajahi Malioboro di malam hari.
Menikmati suasana malam yang berbeda dari Jakarta. Berjalan sepanjang jalan Malioboro. Sesekali melihat-lihat barangkali ada yang ingin mereka beli. Tawar-menawar sampai mendapatkan harga yang pas dengan isi dompet mereka.
Zahira bisa melupakan sejenak kondisi keluarganya. Sepuluh hari berusaha menulikan telinga dari ocehan tetangga, kini dirinya terhibur menikmati segala yang ada di depan mata.
Meskipun sesekali ia masih menangis, teringat bagaimana hujatan kian deras mengalir. Mengiang jelas di telinganya, para hinaan tetangga yang di tujukan pada keluarganya. Terutama Ayahnya yang dianggap tidak bisa membesarkan Kakaknya dengan baik.
Ia menghempas jauh semua itu. Membiarkan kebahagiaan merasuk ke dalam dirinya. Membiarkan aura positif terpancar dari senyumnya. Membiarkan kupu-kupu seakan beterbangan dalam dirinya.
Ini yang Zahira inginkan sejak kecil. Tersenyum bebas, tertawa lepas dan bahagia tanpa batas. Namun ia pun sadar, manusia tanpa ujian bagaikan anak sekolah yang tidak akan pernah naik kelas.
Ia percaya, Tuhan menyayanginya. Ia hanya perlu bersabar. Sebab, Tuhan pasti telah menjamin kebahagiaan untuknya.
*********
Jangan lupa berdoa, belajar dan berusaha. Terimakasih...
KAMU SEDANG MEMBACA
ZAHIRA [SELESAI]
Ficção AdolescenteKulalui liku hidup, meski berderai air mata. Kadangkala dunia terasa sangat tidak adil, menguji makhluk yang bahkan telah lunglai. Duniaku terasa sangat menyakitkan. Luka demi luka kuseka, tapi duka tak henti memenjara. Entah kapan terakhir kali aku...