Maaf, aku lalai. Aku berjanji untuk menjagamu, namun aku ceroboh hingga kamu terluka.
~Abyan Nandana
**********
Setelah berbincang dengan Abyan, dan pria itu berjanji akan mencari siapa yang menyebarkan gosip berujung fitnah itu. Zahira melangkahkan kaki menuju kelasnya kembali.
Hari ini mata kuliahnya sampai sore hari. Sayangnya, belum saja beranjak siang dirinya sudah dibuat pusing bukan main.
Ia melangkah gontai, menatap lurus ke depan, menghindari mata-mata yang menatapnya seakan ingin menguliti dirinya.
Ia sendiri bingung, dari mana gosip itu berasal. Kalau soal hubungannya dengan Abyan, dia masih bisa membenarkan. Tapi, soal dirinya menggoda Abyan dan merusak hubungan antara Abyan dan Agnetta, itu sama sekali tidak bisa diterima oleh akal dan hatinya.
Lagipula, dari mana coba penyebar gosip ini mengetahui hubungan dirinya dan Abyan? Hingga berani melebih-lebihkan kenyataan. Sungguh, tidak bisa dinalar.
"Ra, lo nggak kenapa-napa kan? Gimana tadi pembicaraan sama Pak Abyan?" serbu Widi padanya, ketika Zahira telah memasuki ruang kelas.
"Gue nggak tau, Di. Buntu, gue nggak tau. Gue takut, Di. Semua orang natap sinis ke gue. Gue takut kaya dulu lagi, Di."
Zahira menelungkupkan tangannya di atas meja, membenamkan wajahnya di lekukan lengannya. Tubuhnya bergetar hebat. Lagi, dia tak kuasa membendung air matanya sebab ketakutan yang ada dalam dirinya.
Trauma masa lalu, sungguh menyakiti dirinya. Dia tidak siap, jika harus di hadapkan dengan keadaan yang sama seperti dahulu. Dalam benaknya membatin, tidak cukupkah penderitaan yang selama ini ia jalani, Tuhan?.
Tidak seperti biasanya. Zahira tidak berminat dengan mata kuliahnya hari ini. Pikirannya melayang jauh, berusaha mencari jalan keluar untuk semua permasalahan kali ini.
Dosen yang sedari tadi berbicara panjang lebar, tak ia hiraukan sama sekali. Sesekali mengusap pipinya, menghilangkan jejak embun yang keluar dari matanya.
Hari menjelang siang, mata kuliah sedang diistirahatkan. Setelah beribu bujukkan Widi layangkan, Zahira mau melangkahkan kakinya ke kantin kampus. Ia tau, masalah tidak akan selesai jika dia menghindar. Bukankah sedari awal, dia sudah berjanji untuk tetap tegar kalau-kalau ujian kembali menyambar?
Dia mendudukkan dirinya bersama Widi di meja yang berada di tengah-tengah kantin. Widi beranjak, memesan makanan untuk dirinya dan juga Zahira.
Lagi, tatapan mata mereka seolah menghunus tepat ke Jantung Zahira. Bahkan beberapa orang berbisik-bisik sembari menunjuk kearahnya.
"Wow, masih punya muka ya mba nongol di kantin? Nggak punya malu apa gimana?" gadis bersurai hitam di seberang Zahira bersuara. Air mukanya menujukkan ketidak sukaan.
"Masih nggak ngerasa salah dia tuh. Duh, kalau gue jadi dia gue mending cabut dari sini. Malu coy!" kini gadis berkemeja yang duduk di sebelah gadis tadi, ikut mengeluarkan perkataan pedasnya.
Zahira menunduk. Seharusnya, tadi dia menolak saja ajakkan Widi ke sini. Seharusnya, dia tetap berdiam diri di kelas. Seandainya, dia bisa menulikkan telinganya.
"Gila, ada ya cewek yang keliatannya baik-baik ternyata godain dosen demi nilai. Gue si ogah punya cewek kek gitu!" seru salah satu laki-laki berkacamata yang duduk di pojokkan kantin.
"Yoi bro, yang keliatannya polos justru kadang yang paling ganas. Ya kaya dia itu, diam-diam menghancurkan hubungan Bu Agnetta sama Pak Abyan demi kepuasannya!" teman lelaki berkacamata itu menyahuti.
Brakkkk
"Apa lo semua udah cek itu berita bener apa nggak? Jangan cuma bisa ngehina gue kalau lo semua, bisanya makan mentah-mentah sebuah gosip. Ngehina orang yang belum tentu salah, lo semua ngelakuin fitnah!"
Suara gebrakkan meja itu dari Zahira. Perkataan pedas mereka, sungguh tidak bisa di tolerir lagi. Mereka berani menghina, mencaci, dan memaki tanpa mencari tahu kebenaran berita yang mereka dengar.
Zahira sudah tidak sanggup jika dia harus tetap diam. Dulu, mungkin dia akan dengan sabar menerima segala hinaan. Dulu, dia hanya bisa menangis tanpa bisa melawan perbuatan kejam yang ia terima.
Tapi saat ini, rasanya dia sudah tidak mampu berpura-pura tidak mendengar. Dia tak kuasa, jika harus kembali bersabar dan menerima semua cemoohan.
"Sok nggak bersalah lagi, sok ada di posisi terdzolimi lagi. Heh, ngaca dong! Dasar penggoda!" begitulah kiranya cacian dari penghuni kantin di sana.
"Lo semua itu mahasiswa, punya otak dipake, jangan ditaruh di dengkul! Buktiin ke gue, kalau gosip tentang sahabat gue itu bener! Jangan cuma bisanya ngehina! Bego lo semua!"
Widi bersuara, dia baru saja tiba di kantin. Setelah memesan makanan, dia berlari menuju ke toilet. Namun, lupa tidak memberitahu Zahira. Dan ketika ia kembali ke kantin, ternyata sahabatnya sudah dijadikan bulan-bulanan penghuni kantin.
Byurr...
Segelas es teh membasahi tubuh Zahira. Rupanya dari arah belakang ada yang sengaja menumpahkan air minumnya pada Zahira. Gadis itu, kakak tingkat semester enam.
"Itu pantas, buat sampah sok suci kaya lo! Bukti? Berita yang tertempel di mading udah cukup jadi bukti. Gue bener-bener jijik sama adek tingkat kaya lo!"
Zahira, menangis. Kilasan masa lalu kembali terputar di kepalanya. Memori saat bagaimana ia dikucilkan, dianggap murahan, dihina bahkan tak segan disakiti secara fisik kembali menari di ingatannya.
Rasanya menyakitkan. Tempat yang ia kira akan menjadi awal dia melupakan segala kisah kelam, justru menjadi awal baru ia tersakiti. Untuk kesekian kali, Zahira merasakan perih yang begitu menyayat di hatinya.
"Atas dasar apa kalian bebas membully mahasiswa saya?" suara bariton yang sangat familiar di telinga Zahira dan para mahasiswa, menginterupsi. Suasana kantin menjadi semakin tegang.
"Jawab saya! Kalian ini bodoh atau apa? Tempat menimba ilmu kalian jadikan tempat melakukan hal kotor seperti ini!" rupanya, emosi lelaki itu sudah berada di puncaknya. Ia tidak tahan, melihat gadisnya diperlakukan tidak manusiawi seperti itu.
Abyan berjalan menuju di mana Zahira berada. Gadis itu masih menunduk, bahunya masih bergetar. Abyan membuka jas yang ia kenakan, memakaikannya pada Zahira.
Tatapan tajamnya seolah menusuk mereka yang dengan tega melakukan hal buruk pada gadisnya. Abyan menunduk, mensejajarkan dirinya dengan Zahira.
"Saya di sini, nggak usah takut. Maafin saya. Saya datang setelah kamu diperlakukan buruk separah ini." Zahira menggeleng pelan, tangisnya kian mereda seiring jemarinya yang digenggam erat oleh Abyan.
"Mahasiswa bodoh seperti kalian sepertinya tidak pantas berada di universitas ini! Membedakan mana berita yang benar dan bohong saja tidak bisa!" semua orang di sana menunduk. Tidak pernah melihat Abyan, dosen yang selalu mereka puja semarah ini.
"Saya memang memiliki hubungan dengan Zahira. Tapi itu semua atas dasar ketertarikan saya pada dia, bukan seperti gosip yang merusak kepala kalian!" Lagi, mereka semua yang di sana menunduk dalam. Merutuki kebodohan mereka yang dengan mudahnya mencerna sebuah gosip seolah fakta.
"Dan sekali lagi, entah orang bodoh yang berasal dari mana memberitakan saya dengan Agnetta. Saya, tidak pernah memiliki ketertarikan pada dosen wanita kalian itu!" Nafas Abyan memburu, dia benar-benar dibuat marah kali ini.
"Sekali lagi kalian menyentuh gadis saya, dan memperlakukan dia dengan buruk. Saya pastikan, kalian tidak akan mudah untuk menyabet gelar sarjana dari sini!"
Perkataan tajam Abyan membuat semua mahasiswa bergidik ketakutan. Pasalnya mereka tahu, bahwa orang tua Abyan adalah donatur terbesar di universitas itu. Persetan dengan perkataan menggunakan kekuasaan Papanya, apapun akan ia lakukan untuk melindungi gadisnya.
Abyan merangkul Zahira, membawanya pergi dari tempat itu. Rasa bersalah mengerubungi hatinya, bagaimana ia bisa lengah dan membiarkan gadisnya terluka seperti itu?
********
Jangan lupa berdoa, belajar dan berusaha. Terimakasih...
KAMU SEDANG MEMBACA
ZAHIRA [SELESAI]
Teen FictionKulalui liku hidup, meski berderai air mata. Kadangkala dunia terasa sangat tidak adil, menguji makhluk yang bahkan telah lunglai. Duniaku terasa sangat menyakitkan. Luka demi luka kuseka, tapi duka tak henti memenjara. Entah kapan terakhir kali aku...