Satu (End)

6.1K 188 4
                                    

Terimakasih telah menerimaku, dengan segala kekuranganku. Dan, terimakasih telah mau membersamai langkahku.

~Zahira Ayyuna

***********

"Maafin saya ya, Zahira. Saya sadar, perkataan saya sangat menyakiti kamu. Bahkan, seharusnya kata-kata itu tidak terlontar dari seorang ibu. Sekali lagi, saya minta maaf," ucap Qori pada Zahira dengan penuh penyesalan.

Saat ini, Zahira tengah berada di rumah Abyan. Meski dengan luka hati yang masih membasah, Zahira berusaha dengan ikhlas memaafkan Ibunda dari Abyan itu.

Qori menangis kala mengucapkan kata maaf. Dia menyadari dengan sangat, apa yang dia ucapkan pada Zahira tempo hari, pasti sangat menyakiti hati gadis itu.

Namun, yang membuat Qori semakin merasa bersalah adalah, gadis itu masih mau menginjakkan kaki di rumahnya, masih mau menerima kembali putranya, dan yang pasti masih mau memaafkan dirinya.

"Saya bukan hanya melukai kamu, tapi menyakiti hati putra saya juga. Saya tau kalau kalian saling mencintai, namun karena ego saya, saya tega memisahkan kalian." Qori masih meneteskan air mata.

"Saya minta maaf. Mama minta maaf, Byan."

"Saya nggak apa-apa kok tante. Wajar kalau seorang Ibu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Nggak usah merasa bersalah tante, bagaimana pun tante sosok orang tua yang mencoba memilihkan hal terbaik untuk anaknya," jawab Zahira sembari tersenyum.

"Sekarang Mama tau, Byan, alasan apa yang membuat kamu memilih Zahira. Kamu gadis yang baik, saya yakin putra saya tidak salah memilih."

Mereka bertiga tersenyum bahagia. Harapan Zahira dan Abyan telah Tuhan kabulkan. Cinta mereka, telah Tuhan beri jalan untuk disatukan.

********

Hembusan angin malam menyapu lembut, memberi kesejukan pada dua insan yang tengah berbahagia.

Bulan malam itu terlihat sangat cerah, bintang berkerlip dengan menawannya. Seolah alam semesta, turut bahagia seiring pancaran cinta yang kedua insan itu tebarkan.

"Ternyata ke pantai malam-malam tuh seru juga ya, Pak," ucap Zahira kagum. Lelaki di sampingnya masih setia tersenyum, sembari menatap dirinya.

"Terimakasih, Ra," Zahira menolehkan muka, menghadap lelaki yang tak melepas pandangan mata dari dirinya.

"Untuk apa, Pak?" Dia berkedip heran, untuk apa lelakinya itu berterimakasih?.

"Masih mau menerima saya, mau memaafkan Mama saya. Terimakasih," ujar Abyan tulus. Gadis itu tersenyum.

"Saya yang berterimakasih malah, Pak. Untuk semua kekurangan saya, terimakasih Pak Abyan masih mau menerima saya. Untuk keburukan saya, terimakasih Pak Abyan tak mempermasalahkan. Untuk ketidak mampuan saya, terimakasih Pak Abyan mau melengkapi."

"Kamu tau apa yang membuat saya jatuh cinta sama kamu?" tanya Abyan, gadisnya itu hanya menggeleng.

"Kamu itu gadis terkuat yang pernah saya temui. Kamu berhasil melewati segala ujian dalam hidup kamu, dengan sabar dan berusaha untuk tetap berprasangka baik. Saya, selalu merasa bangga memiliki kamu."

"Saya nggak seperti itu kok, Pak. Saya masih suka mengeluh, masih suka berharap orang lain saja yang ada di posisi saya untuk merasakan semua duka saya. Saya tidak sebaik itu, saya hanya sedang berusaha baik."

"Saya sayang kamu, Ra. Jangan pergi lagi dari saya. Karena saya sudah yakin, untuk membina dan membangun masa depan saya bersama kamu."

Zahira mengangguk. Mereka saling melempar senyuman. Menikmati desiran perasaan yang membuncah di hati keduanya.

"Pak, duduk di pasirnya yuk!" ajak Zahira, namun gadis itu sudah berlari dan terduduk di atas pasir pantai itu.

"Dulu, saya selalu nangis setiap pulang sekolah." Zahira menengadah, seakan gambaran masa lalunya terputar di atas sana.

"Kenapa?" tanya Abyan penasaran, bahkan lelaki itu telah mengubah duduknya menghadap gadisnya.

"Setiap di sekolah, saya selalu dijauhin sama temen kelas saya. Nggak ada yang mau temenan sama saya, Pak. Dulu, saya punya satu temen di kelas. Tapi waktu itu saya sakit selama satu minggu, dan satu minggu pula saya nggak masuk sekolah." Zahira mulai bercerita, meski sakit di hatinya memang tak pernah reda.

"Setelah saya sembuh, saya masuk sekolah lagi. Dan nggak tau kenapa, satu teman saya itu juga ikut menjauhi saya. Bahkan, tatapannya pada saya berubah sinis."

Masih terlalu sakit untuk seorang Zahira. Masa lalunya terlalu membekas di hatinya. Goresan luka itu, tidak pernah bisa mengering sehingga dia selalu bisa merasakan perihnya.

"Saya adalah adik dari seorang kakak laki-laki, yang dipandang seperti seorang kriminal oleh masyarakat di lingkungan saya. Itulah sebabnya, mereka semua menjauhi saya. Tidak ada yang mau berurusan dengan saya, mereka takut bergaul dengan saya, karena saya memiliki seorang kakak yang berperilaku tidak baik."

"Dulu, setiap malam saya menangis. Memohon pada Tuhan, agar mereka merasakan apa yang saya rasakan. Agar mereka semua yang menyakiti saya, juga kelak disakiti oleh orang lain."

Abyan masih setia mendengarkan. Tidak berusaha menyela. Sebab dia tau, Zahira bukanlah seseorang yang mudah bercerita pada siapapun. Dan ketika dia bercerita, itu artinya dia ingin didengarkan.

"Saya selalu merasa tidak terima. Kenapa harus saya yang dihukum atas kelakuan buruk kakak saya? Kenapa harus saya yang menderita, ketika yang melakukan sebuah dosa bukanlah saya?"

Zahira mulai meneteskan air matanya. Seribu kali dia merasa kuat, namun nyatanya luka itu tak mampu dia sembunyikan. Luka itu, terlalu dalam untuk sekadar diredam.

"Saya berusaha sekuat saya agar terlihat baik di mata semua orang. Namun, ternyata mereka tak pernah menganggap saya meski seribu kali saya melakukan kebaikan pada mereka."

"Tapi, sekarang saya mengerti. Saya hidup, bukan untuk mencari penilaian manusia. Saya sudah tidak peduli mereka berkata apa tentang saya. Sebab hidup saya, hanya saya, Tuhan saya, dan orang yang menyayangi saya yang mengetahuinya."

Zahira tersenyum disela derai air matanya. Ia menatap lelaki yang ia cinta. Rasanya, kehadiran Abyan menambahkan rasa syukur yang ia panjatkan pada Tuhan.

"Sekarang saya tau, kenapa Tuhan memilih saya atas semua ujian hidup yang saya alami? Karena saya, mampu menjalani. Tuhan yakin, saya makhluk-Nya yang kuat. Dan juga, saya belajar makna sabar atas semua yang terjadi dalam hidup saya."

"Saya mencintai kamu, bukan sebab sempurnanya fisik kamu. Tapi sebab, sempurnanya hati kamu. Tetap menjadi Zahira yang seperti ini, kuat, sabar dan selalu berprasangka baik kepada Tuhan, dan sesama manusia." Abyan menatap Zahira lekat, sembari mengucapkan kalimat tersebut.

Zahira mengangguk dan tersenyum. Penguat kedua dalam hidupnya adalah, seorang Abyan Nandana.

Bagi seorang Abyan, Zahira adalah sosok yang mengajarkan makna hidup yang sebenarnya.

Dan menurut semesta, mereka berdua adalah gambaran dari indahnya cinta. Cinta yang bukan indah karena tak memiliki masalah apapun, namun cinta yang indah karena mereka bisa saling menguatkan.

"Terimakasih, karenamu aku mengenal cinta dengan baik," ucap Zahira.

***********

Jangan lupa berdoa, belajar dan berusaha. Terimakasih...

ZAHIRA [SELESAI] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang