Bagi Risya, Rayyan adalah satu-satunya orang yang paling mengerti dirinya, lebih daripada siapa pun. Bagi Risya, segala hal lebih mudah dilakukan ketika Rayyan berada disampingnya.
Bagi Rayyan, Risya adalah satu dari segelintir orang yang pendapatny...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Risya sedang memasukkan sketchbooknya ketika Rania datang dari arah utara. Perempuan itu melambaikan tangannya ketika mendapati Risya duduk di tribun lapangan basket sebelah timur yang lebih dikenal dengan sebutan lapangan cinta atau biasa disingkat 'lapcin'.
"Udah lama, Ris? Maaf ya, tadi masih mampir beli persediaan makanan di minimarket."
Benar saja, karena tangan Rania menenteng satu tas plastik berukuran sedang yang berisi berbagai macam camilan.
"It's okay, Ran. Aku juga baru disini, dari tadi di perpus nyari bahan buat tugas."
"Ultramilk strawberrynya nggak ada, jadi aku beliin yang rasa taro."
Risya menerimanya dan mengucapkan terima kasih. Sejenak, hening menguasai keduanya. Risya dengan satu kotak susu ditangannya, dan Rania dengan berbagai pergolakan dalam dadanya.
Perempuan itu kemudian melirik Risya sekilas sebelum kembali mengamati orang-orang di sekitar mereka. Sore ini kampus terlihat lebih lenggang. Mungkin karena hujan baru saja reda, sehingga beberapa mahasiswa tampaknya memutuskan untuk berdiam di sekre mereka atau beberapa mahasiswa yang terlampau rajin biasanya mendekam di perpustakaan. Entah untuk mengisi waktu luang dengan mengerjakan tugas atau sekedar untuk tempat singgah.
"Satu hari sebelum kita rabid, Krisna ngadain rapat presidium dan isinya nggak beda jauh sama apa yang kita bahas kemarin. Aku mau minta maaf karena nggak ngomongin semua ini dengan kepala dingin. Jujur aku beneran ketrigger waktu Krisna seenaknya minta aku milih antara majalah dan buletin, tanpa reason yang jelas," kemudian Rania menoleh pada Risya yang masih mendengarkannya dengan tenang. Tidak ada kernyitan pada dahinya. "Ris... aku bukan lagi nyalahin Krisna. Aku cuma pengen ngasih tau yang sebenernya."
Risya mengangguk dan tersenyum kalem. "Iya, lanjutin aja. Aku ngerti kalau banyak banget kesalahpahaman di antara kita, jadi kita bisa mulai membereskan dari ini dulu. Jadi, reason nggak jelas seperti apa yang sampai bikin kamu ikutan emosi di rabid kemarin?"
Rania terdiam sejenak. Bingung memulainya dari mana karena seperti Risya katakan, terlalu banyak kesalahpahaman di antara mereka.
"Kalau reason dari Krisna, karena redaksi terlalu santai selama litbang kerja keras buat ngehire anggota magang. Tapi Krisna lupa kalau selama ini redaksi selalu jalan sendiri untuk nyari isu, sedangkan divisi pengembangan jarang banget ngasih asupan isu dan diskusi."
"Kalau reason dari kamu?"
Rania terlihat canggung ketika mendengar pertanyaan tersebut, tetapi ia juga tidak bisa menghindarinya. "Aku... sebenernya juga bingung kenapa aku jadi ngikut apa yang Krisna mau, Ris."
"Kamu lagi emosi ya, Ran?"
Rania mengangguk dan menoleh pada Risya. "Banget. Aku nggak tau apa motif Krisna ngomong kayak gitu, tapi aku ngerasa kalau dia nggak percaya sama kerjaku di pimred, nggak percaya sama kerja dari temen-temen redaksi. Masalah kepercayaan kayak gini yang akhirnya bikin semangat kita jadi turun, Ris. Kita di LPM kan sama-sama belajar, daripada nyalahin redaksi, kenapa nggak dibantuin aja sih?"