"Al!"
Mendengar namanya dipanggil, laki-laki yang hari ini hanya mengenakan kaus dan jeans karena tidak ada jadwal kuliah, menoleh pada asal suara. Dari arah timur, Rania yang memeluk dua buku tebal berlari kecil ke arahnya.
"Hai! Tumben sendirian?"
"Biasanya juga sendirian, Ran. Abis kuliah?"
Rania mengangguk.
"Mekatronika," beritahunya sebelum Alan bertanya.
"Udah kerasa susahnya?" tanya Alan, lengkap dengan senyumnya yang menenangkan.
Perempuan dengan blouse coklat dan rok jeans selutut itu ikut tersenyum. "Dari mekatronika I juga udah susah, Al. Tadinya aku mau hubungi kamu, aku butuh tutor buat matkul ini,"
"Aku nggak expert, Ran,"
Rania sontak mendengus samar. "Kalau nggak expert, kamu nggak bakal jadi mapres, Al. Nggak usah merendah gitu deh,"
Alan tergelak mendengarnya. Membuat beberapa mahasiswa mesin yang lalu-lalang pada selasar labtek, mencuri pandang pada Alan. Mengagumi laki-laki tampan dan cerdas yang terkenal seantero fakultas.
"Mau diskusi kapan?" tanya Alan akhirnya.
Seolah pertanyaan tersebut adalah sebuah pertanyaan yang ia tunggu, Rania menawarkan tanpa berpikir ulang. "Setelah makan siang, bisa? Sorenya aku ada diskusi di sekre, jadi kita masih punya waktu sekitar dua sampai tiga jam,"
"Boleh. Tapi aku kabarin Risya dulu, katanya dia mau minta antar aku beli buku,"
Mendengar nama Risya, sontak saja Rania merasa tidak enak. Lupa bahwa laki-laki itu, yang Rania gafal belum hari ini tidak ada jadwal, tidak mungkin ke kampus tanpa alasan yang pasti. Yang semakin membuatnya sadar, bahwa Risya sudah tentu menjadi salah satu alasan tersebut.
"Oh, yaudah besok aja deh, Al. Duluin Risya aja."
"Ini bukan masalah harus duluan siapa, Ran," Alan dengan segala ketenangannya memang menjadi doping paling ampuh untuk Rania yang baru saja keluar dari labtek dengan isi otak nyaris mendidih. Satu-satunya yang ia ingin miliki saat ini, namun juga satu-satunya yang begitu sulit untuk ia gapai.
"Makan siang dulu yuk? Sekalian ngomong ke Risya. We solve together, biar kamu nggak kesusahan,"
Rania mengernyit. "Apanya?"
"Lapraknya, kan? Memangnya apa?"
Sontak saja wajah Rania memerah. Salah mengartikan ucapan Alan tepat di hadapan laki-laki itu sungguh terasa sangat memalukan. Jika biasanya Alan mengucapkan kalimat-kalimat implisit tersebut melalui telepon. Atau yang sangat biasa lagi adalah Rania yang nyaris tidak pernah blushing atau gagal fokus dengan ucapan Alan ketika berhadapan dengan laki-laki itu, kali ini berbeda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Intersection ✔
RomanceBagi Risya, Rayyan adalah satu-satunya orang yang paling mengerti dirinya, lebih daripada siapa pun. Bagi Risya, segala hal lebih mudah dilakukan ketika Rayyan berada disampingnya. Bagi Rayyan, Risya adalah satu dari segelintir orang yang pendapatny...