Bagi Risya, Rayyan adalah satu-satunya orang yang paling mengerti dirinya, lebih daripada siapa pun. Bagi Risya, segala hal lebih mudah dilakukan ketika Rayyan berada disampingnya.
Bagi Rayyan, Risya adalah satu dari segelintir orang yang pendapatny...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Alan terduduk lemas, mengamati Rania yang masih belum sadarkan diri di atas ranjang rumah sakit. Setelah dilakukan pemeriksaan, perempuan yang pergelangan tangannya diinfus ini terserang penyakit tifus hingga mengharuskan untuk opname beberapa hari di rumah sakit.
Sejak tadi, matanya yang tidak lepas mengawasi Rania. Membuat dadanya terasa penuh dengan perasaan bersalah. Masih diingatnya dengan jelas tatapan kecewa Risya ketika ia meninggalkan perempuan itu begitu saja, namun Alan tidak punya pilihan lain.
Ditengah memikirkan semua kesalahannya pada Risya, pintu kamar rawat inap Rania dibuka dari luar dengan pelan. Rayyan bersama Anjani—teman Rania yang paling dekat, pun satu tempat kost dengan perempuan itu—muncul.
"Sorry bikin lo nunggu lama, gue masih ngambil beberapa baju ganti buat Rania di kostan."
Alan mengangguk mendengar penuturan Anjani yang kini meletakkan travel bag berukuran sedang di dekat kaki meja. Laki-laki itu pun beranjak sembari mengantongi ponselnya.
"Gue balik dulu ya, Jan? Lo nggak ada jadwal, kan?"
"Kuliah gue udah kelar dari tadi. Thank you udah bawa Rania ke sini," ujar Anjani, sebelum menoleh pada Rayyan. "Thank you udah nganterin gue, Ray. Ini yang bayar admin sama nebus obat siapa? Gue udah telepon ortunya, masih bakal ditransfer nanti malem."
Rayyan tersenyum kecil. "Gampang, urusan nanti itu, Jan. Kalau ada waktu, ntar malem gue mampir. Lo nggak masalah sendirian di sini?"
Perempuan cantik di depan Rayyan itu mengangguk. Sebelum menjawab, diliriknya Alan yang berdiri dengan wajah kusut. "Nggak masalah. Alan juga kayaknya capek banget, pada istirahat dah, ntar malem Kakaknya Rania juga bakal dateng."
Setelahnya, Rayyan dan Alan keluar dari kamar rawat inap Rania. Berjalan bersisihan dan saling bungkam. Alan sebenarnya sudah siap dengan segala amukan Rayyan, atau sedikit pukulan yang bisa menyentaknya. Namun sahabatnya itu tidak melakukan apa-apa dan masih dengan tenang berjalan menuju tempat parkir.
"Risya ada di mobil. Kalau lo nggak capek, selesaiin masalah kalian sekarang. Kasian dia nangis-nangis dari tadi."
Alan menoleh sekilas pada Rayyan sebelum mengurangi kecepatan berjalannya. "Dia masih mau ketemu gue?"
"Kenapa harus nggak mau?"
"Gue udah ninggalin dia dan milih bawa Rania ke RS. Gue kira dia udah muak sama gue. Mau ngomong juga ujungnya gue bakal disalahin lagi. Capek lama-lama kayak gini, Ray."
Sontak, Rayyan menghentikan langkahnya. Keduanya kini berdiri berhadapan di koridor yang agak sepi. Meski tidak kondusif, Rayyan tetap menyuarakan kekhawatirannya.
"Gue emang nggak berhak ngatur hubungan kalian, tapi gue pesen, tolong jangan nyakitin Risya."
Alan menghela napas. "Selama ini gue berusaha nggak nyakitin Risya dengan cara gue sendiri, Ray. Tapi seberapa keraspun gue nunjukin itu, nggak ada artinya buat Risya. Selalu, semua salah gue."