"Tidur gih, Ris."
Adalah kalimat Rayyan yang tidak kurang dari satu jam terus laki-laki itu tujukan pada Risya. Namun tetap mendapat gelengan dari perempuan yang sedang fokus pada laptopnya.
Satu jam yang lalu, tepat pukul sepuluh pagi, Rayyan harus merelakan waktu tidurnya diganggu karena Risya yang menelepon berkali-kali. Padahal ini hari minggu dan Rayyan butuh tidur lebih lama setelah semalam mengobrol bersama teman-teman kabinet di selasar masjid Salman hingga pukul tiga dini hari.
Namun Rayyan tetap tidak bisa menolak ketika Risya minta dibukakan pintu gerbang kostnya yang hari ini sedang kosong. Teman-teman kostnya yang tinggal di lantai dua sedang berkegiatan di kampus, pun dengan Alan yang sejak pagi telah berada di kampus untuk mempersiapkan lombanya, sehingga Rayyan yang bertugas membuka gerbang ketika ada tamu.
"Nggak capek bilang kayak gitu puluhan kali? Lebih baik kamu yang tidur deh, kostan aman sama aku. Atau kamu mau aku masakin buat sarapan?"
Rayyan menggeleng. Kemudian ditempelkannya punggung tangan laki-laki itu pada dahi Risya. "Makin hangat ini badan kamu. Kalau emang nggak mau pulang, tidur di kamar Alan atau di kamarku gih, kunci pintunya kalau kamu takut. Aku udah izin ibu kost kalau kamu main ke sini."
Perempuan dengan wajah pucat itu menggeleng dan tetap melanjutkan kegiatannya mengerjakan tugas. Sebenarnya Rayyan sadar bahwa Risya sedang berusaha mengalihkan fokus dari hal-hal yang menganggu pikirannya.
Selama satu bulan terakhir, kondisi keluarga Risya memang semakin buruk. Setelah hari ketika Risya kabur hingga ke Lembang, perempuan itu semakin meningkatkan intensitas kaburnya. Terutama pada hari Sabtu atau Minggu. Ketika Papa perempuan itu pulang ke rumah, maka bisa dipastikan Risya tidak berada di tempat yang sama. Tidak jarang Risya mengungsi ke tempat kost Alan dan Rayyan. Hingga ibu kost di tempat mereka mengenal Risya dengan baik.
Rayyan mengambil tempat di samping Risya dengan ponsel di tangan laki-laki itu. Sontak aroma mint menyambut hidung Risya yang setengah buntu akibat flu. Namun, meski siang ini Risya terserang flu yang membuat indra penciumannya tidak berfungsi dengan baik, ia tetap bisa mencium aroma segar Rayyan sehabis mandi.
"Nangis aja kalau nggak kuat," ujar Rayyan sembari mengusap puncak kepala Risya dengan lembut. "Nggak usah pura-pura ngerjain tugas, deadlinenya masih lama."
"Nggak ada yang pengen nangis. Jangan ngelantur deh, Ray."
Rayyan berdecak, namun tangannya masih dengan santai mengusap puncak kepala Risya. Yang juga tidak perempuan itu tolak, seolah nyaman dengan gestur Rayyan yang menenangkan.
"Alan baru bisa pulang nanti sore, jadi mau ngobrol sama aku dulu atau nunggu dia?"
Rayyan masih persuasif. Pasalnya siang ini Risya menjadi sedikit lebih pendiam. Bahkan laki-laki itu sampai beranggapan bahwa Risya yang sedang mengerjakan tugas adalah bentuk menyibukkan diri dan mengalihkan fokusnya barang sejenak. Terlebih sahabatnya itu terserang flu, membuat Rayyan semakin khawatir jika Risya terus memaksakan diri untuk terlihat baik-baik saja dan bungkam di hadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Intersection ✔
RomansaBagi Risya, Rayyan adalah satu-satunya orang yang paling mengerti dirinya, lebih daripada siapa pun. Bagi Risya, segala hal lebih mudah dilakukan ketika Rayyan berada disampingnya. Bagi Rayyan, Risya adalah satu dari segelintir orang yang pendapatny...