"Udah hampir jam sepuluh, Ris. Masih nggak mau pulang?"
Risya menggeleng dan semakin mengeratkan pelukannya pada lengan Alan. Setelah menghabiskan waktu satu jam mengitari Gramedia untuk membeli beberapa buku yang Risya butuhkan, keduanya menghabiskan malam di sekitar Braga dan menjajal berbagai jajanan disana. Sebuah kegiatan sederhana yang biasa Risya lakukan dengan Alan ketika keduanya tidak memiliki banyak waktu untuk pergi ke tempat yang lebih jauh. Asal bersama Alan, Risya tidak pernah keberatan.
"Tadi kan sudah izin ke Mama kalau pulangnya agak malem. Aku capek di rumah, apalagi kalau jam segini. Mama sama Papa selalu nggak bisa lihat kondisi kalau mau bertengkar."
Perlahan, digenggamnya tangan mungil Risya dengan erat. Perempuan yang selalu ceria itu kadang bisa terlihat sangat rapuh, terlebih saat bersama Alan atau Rayyan. Sebab hanya mereka yang benar-benar paham dengan memburuknya kondisi keluarga Risya sejak satu tahun terakhir.
Kedua orang tua Risya yang workaholic mulai saling menyalahkan satu sama lain ketika intensitas berkumpul bersama keluarga mulai berkurang. Risya dan Mery—adik perempuannya—mulai merasa bahwa kedua orang tua mereka hanya mencukupi kebutuhan fisik saja. Kasih sayang yang dulu selalu tercurahkan dalam keluarga kecilnya kini mulai berganti dengan berbagai makian yang kerap Risya dengar di malam hari, ketika Mama dan Papanya beranggapan bahwa kedua anak gadis mereka sudah tertidur.
"Papa kamu sudah nggak dinas di Jakarta?"
"Masih, tapi tiap minggu selalu pulang buat nengok aku sama Mery. Aku nggak ngerti lagi gimana caranya supaya Mama sama Papa akur. Bahkan Papa sekarang sudah jarang banget tidur di rumah, Al. Datang cuma untuk ngobrol sama aku sebentar, abis itu pergi lagi. Aku nggak tau sekarang Papa milih tinggal dimana dengan kondisi mereka nggak mutusin untuk cerai. Bahkan waktu aku tanya tempat tinggalnya, Papa Cuma bilang kalau sekarang dapat rumah dinas dari kantor."
"Ris, nggak semua bisa diselesaikan dengan cerai. Mama Papa kamu pasti masih mikirin kamu sama Mery kalau mereka mutusin untuk bener-bener pisah. Banyak hal yang harus dipertimbangkan lagi sebelum siap mengambil keputusan itu,"
Risya mengangguk. Di trotoar jalan Asia Afrika yang semakin malam semakin ramai, Risya membiarkan Alan mengenggam erat tangannya. Sebab hanya laki-laki itu yang begitu mudah meruntuhkan kekalutan dalam diri Risya selain Rayyan. Laki-laki yang begitu ingin Risya pertahankan dalam keadaan apapun.
"Kalau suatu saat Mama dan Papa kamu mutusin untuk pisah, kamu sanggup?"
"Nggak," ujar Risya, cepat. "Tapi seenggaknya, aku nggak lagi dengar mereka saling menyalahkan tiap kesempatan, saling menuduh, saling nggak pengertian lagi. Aku ngerti kalau harapanku ini egois, Al. Aku tau, bakal sakit banget rasanya kalau sampai itu terjadi. Tapi dengan keputusan itu, aku jadi tau kalau memang sudah nggak ada lagi hal yang bisa mereka pertahankan. Bahkan dengan melihat aku sama Mery pun, mereka nggak lakuin,"
Alan menghela napasnya yang terasa berat. Membahas permasalahan dalam keluarga Risya memang tidak pernah mudah. Mood perempuan itu yang sejak tadi sangat baik perlahan mulai turun dan nyaris tidak terkontrol. Alan bahkan sempat mendengar suaranya yang berubah serak. Semudah itu Risya berganti mood, sebuah hal yang juga menyakitkan untuk Alan karena dibalik semua keceriaannya, Risya menyimpan banyak luka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Intersection ✔
RomanceBagi Risya, Rayyan adalah satu-satunya orang yang paling mengerti dirinya, lebih daripada siapa pun. Bagi Risya, segala hal lebih mudah dilakukan ketika Rayyan berada disampingnya. Bagi Rayyan, Risya adalah satu dari segelintir orang yang pendapatny...