"Papa mau ngomong, Kak."
Risya yang sedang menuangkan susu kemasan ke dalam gelas, melirik sekilas. Jam masih menunjukkan pukul enam pagi ketika Papanya telah rapi dengan setelan kerja, kemeja dan celana kain. Sebenarnya Risya ingin menghindari Papanya, jika tidak ingat pagi ini ia ada praktikum dan perutnya yang semalam tidak terisi makanan ikut meronta, meminta diisi.
"Kalau mau ngomongin soal perceraian Papa sama Mama, nggak perlu. Risya udah baca suratnya semalem."
"Duduk dulu, ya, Kak? Kemarin sore, Mama udah ngobrol sama Tari. Sekarang Papa yang mau jelasin ke Kakak." Kini Mamanya ikut bersuara.
Mau tidak mau, akhirnya Risya mengalah. Perempuan itu mendudukkan dirinya di depan Papa dan Mamanya. Risya tahu bahwa saat ini akan datang, namun ia tidak pernah menyangka akan secepat ini.
"Papa sama Mama mau minta maaf karena nggak bisa jagain Kakak bareng-bareng lagi," ujar Papanya pelan. "Ini berat untuk Mama sama Papa. Kalau Papa bisa, Papa pengen terus bareng sama Kakak disini. Tapi kenyataannya nggak semudah itu, Kak."
Risya tersenyum miris, mendengarnya. Namun ia berusaha untuk tidak menangis lagi. "Risya nggak bisa nerima keputusan Mama sama Papa, tapi Risya nggak bisa ngelakuin apa-apa, kan?"
"Kak—"
"Risya tau kalau saat ini bakal dateng, Ma," potong Risya, cepat. Matanya menatap Risma dan Alvin bergantian. Namun ia tidak menemukan keraguan pada tatapan Mama dan Papanya. Menegaskan bahwa keputusan ini telah diputuskan dengan matang.
"Tapi nggak nyangka bakal secepat ini. Nggak nyangka kalau akhirnya Tari sama Risya jadi anak broken home. Bikin Risya sadar kalau orang dewasa juga bisa lebih egois."
Di depan Risya, Papanya mengehela napas. "Kak, Papa sama Mama mutusin buat cerai karena emang udah nggak bisa bareng-bareng lagi. Papa tau ini nyakitin buat Kakak, tapi Mama sama Papa nggak mutusin ini tanpa pertimbangan. Kamu masih anak Papa, yang beda cuma Papa dan Mama nggak satu rumah lagi. Kalau Kakak mau ikut Papa, Papa usahain buat beli rumah di Bandung."
Risya mengangguk. Menunduk, perempuan itu mengusap pipinya yang mendadak basah, sebelum kembali menegakkan kepala. "Risya boleh milih buat tinggal sama siapa, kan? Mama sama Papa nggak bakal ngelarang?"
"Iya, Kak. Tari bakal tinggal sama Mama, kalau Kakak mau sama Papa, nggak masalah. Yang penting Kakak seneng," ujar Risma, lengkap dengan tatapan teduhnya yang membuat Risya sedikit lebih tenang.
"Risya juga bakal sama Mama."
Papanya hanya mengangguk dan berusaha tersenyum. Yang Risya tahu, itu dipaksakan.
"Risya juga mau minta beberapa hal yang harus Mama sama Papa kabulin. Boleh, nggak?"
Kompak, kedua orang tuanya mengangguk. Membuat Risya merasa lebih percaya diri untuk menyuarakannya, sebab ia tidak ingin ada masalah lagi yang menyusul di belakangnya jika ia tidak meluruskan saat ini juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Intersection ✔
RomanceBagi Risya, Rayyan adalah satu-satunya orang yang paling mengerti dirinya, lebih daripada siapa pun. Bagi Risya, segala hal lebih mudah dilakukan ketika Rayyan berada disampingnya. Bagi Rayyan, Risya adalah satu dari segelintir orang yang pendapatny...