Intersection - 7

1.8K 187 7
                                    

Setelah Rania mengakhiri rapat bidang, Risya memutuskan untuk menunggu Rayyan yang juga ada rapat di sekrenya alih-alih langsung pulang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah Rania mengakhiri rapat bidang, Risya memutuskan untuk menunggu Rayyan yang juga ada rapat di sekrenya alih-alih langsung pulang. Kepalanya masih terasa penuh dengan kalimat-kalimat pesimis yang dilontarkan Rania sore tadi. Sebagai redaktur pelaksana satu yang bertanggung jawab atas majalah dan buletin LPM, Risya butuh dukungan agar dua media tersebut dapat diterbitkan dengan kualitas yang baik. Bukan malah mengedepankan salah satu dengan berbagai rentetan alasan yang sangat klasik.

"Something happen, Ris?"

Tanpa berpikir lagi, Risya langsung mengangguk. Rayyan tidak pernah salah dalam mengerti dirinya. Terlebih ketika Risya mengatakan dalam pesannya di whatsapp, akan menunggu Rayyan di tribun lapangan basket. Pasti ada hal yang ingin perempuan itu curahkan padanya.

"Aku baru selesai rapat sama temen-temen redaksi. Aku kira dengan kita ngobrol, semuanya bakal lebih mudah untuk dijalani. Beberapa minggu ini, redaksi emang nggak menghasilkan apapun selain terbitan online. Tapi aku nggak habis pikir waktu Rania minta kita milih salah satu antara majalah dan buletin."

"Udah ditanyain apa alasan Rania ngomong kayak gitu?" tanya Rayyan, setelah lima menit berlalu dengan keheningan yang melingkupi mereka.

Risya tidak langsung menjawab sebab dadanya terasa penuh dengan rasa kesal. Ditengah temaram lampu dan matahari yang mulai terbenam, Risya berusaha mencari kenyamanan yang ia harapkan sejak tadi. Yang hanya bisa diberikan oleh Rayyan.

"Ya alasan klise, Ray," ujar Risya dengan suara pelan. "Nggak ada waktu lagi, nggak ada sumber daya manusianya, nggak ada yang mau diajak mikir. Aku nggak tau gimana jalan pikir Rania. Tapi terlepas dari itu, aku nggak terima kalau dia kayak gini cuma karena alasan-alasan klise. Aku juga capek, semua awak redaksi capek karena tuntutan tugas yang nggak ada habisnya. Tapi dengan bilang kayak gitu, apa Rania nggak mikir kalau akhirnya semangat kita semua yang dia jatuhin? Apa dia nggak mikir kalau beberapa dari kita yang bertahan di LPM sampai sekarang, karena emang beneran mau bikin LPM kita tetap hidup?"

Rayyan berdeham setelah menyeruput susu coklatnya. Laki-laki itu kemudian menyodorkan susu kotak pada Risya yang sedang mengusap wajahnya dengan gusar. "Minum dulu, Ris."

"Jadi aku harus gimana, Ray?" tanya Risya setelah menyeruput susu kotak pemberian Rayyan.

"Dibicarain lagi sama Rania."

"Dibicarain gimana lagi coba? Aku hafal banget sama Rania. Waktu dia bikin satu keputusan, mau nggak mau, anggotanya harus mempertimbangkan juga. Kamu tau sendiri dia nggak bisa dikritik sedikit aja. Pasti ketrigger."

Rayyan terkekeh mendengarnya. Kemudian mengacak rambut Risya dengan gemas. "Lah kamunya kan juga gampang ketrigger. Coba ngomongnya pelan-pelan, nggak usah pakai emosi. Dari hati ke hati. Cewek biasanya jago kalau urusan beginian, kan?"

Mendengar hal tersebut, Risya sontak mencebikkan bibirnya. "Kamu kok jadi belain Rania sih?"

"Belain dari mana, Risya? Aku lagi kasih kamu saran."

Intersection ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang