Bagi Risya, Rayyan adalah satu-satunya orang yang paling mengerti dirinya, lebih daripada siapa pun. Bagi Risya, segala hal lebih mudah dilakukan ketika Rayyan berada disampingnya.
Bagi Rayyan, Risya adalah satu dari segelintir orang yang pendapatny...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Ris, lo udah makan?"
Risya yang sedang berbicara dengan Rania dan Krisna di dekat meja komputer menoleh pada Darrel. Di tangan laki-laki itu, menggantung tas plastik berisi bungkusan nasi.
"Kenapa, Rel? Mau beliin gue makan?"
Darrel terkekeh mendengar selorohan Risya. Laki-laki itu kemudian meletakkan tas plastik yang dibawanya di depan Risya. "Dari Ray. Barusan gue makan bareng dia. Temen lo cupu sekarang, Ris. Beraninya nitip doang."
Mendengarnya, Risya terenyak. Bukan tanpa maksud Darrel mengucapkannya. Sebab keluhan laki-laki itu, tiba-tiba terasa menampar Risya dengan keras.
"Gue... udah makan," ujar Risya lirih, kemudian meletakkan bungkusan nasi itu di depan Krisna. "Makan gih, Kris. Lo belum makan, kan?"
Rania yang duduk di depannya, mendadak bungkam. Padahal tidak kurang dari satu menit, perempuan itu masih asyik bercanda dengan Krisna setelah obrolan berat ketiganya. Tentang Risya yang menghilang selama hampir setengah kepengurusan, tentang majalah dan buletin tidak berhasil terbit, juga tentang segala keegoisan Risya yang perempuan itu pikir, sangat tidak termaafkan. Sebelum akhirnya Darrel datang dan mengacaukan ketenangan di dalam sekre.
"Ray ngasihnya ke lo, bukan gue. Lagian orangnya nggak di sini, Ris."
Risya tidak langsung menjawab. Namun keheningan yang mendadak, membuatnya tidak nyaman.
"Nanti kalau temen-temen ada yang belum makan, ambil aja."
Mendengarnya, Darrel terkekeh. Kemudian menoleh pada Krisna yang terlihat serba salah. "Kris, temen lo perlu ditatar dulu kayaknya."
Krisna mendengus, mendengar celetukan Darrel. Laki-laki itu menoleh pada Risya. "Ngobrol soal LPM, udah. Mau ngobrol soal Ray juga, Ris? Mumpung ada Darrel sama Rania. Jadi bisa sharing. Kalau ada apa-apa, mikirnya jangan sendirian. Gue selalu bilang kalau lo punya gue, punya temen-temen LPM yang siap dengerin masalah-masalah lo."
"Gue... capek sama Ray," ujar Risya, lirih. Perempuan itu menelisik satu-persatu temannya yang duduk melingkar. Menunggu Risya membuka lebih banyak atas masalah-masalahnya. "Gue pikir selama ini Ray orang yang paling ngertiin gue. Ray yang ngejaga supaya gue nggak gila karena masalah-masalah yang nggak ada habisnya. Tapi dia sendiri yang ingkar janji. Dia bikin gue ngerasa nggak berarti apa-apa."
"Kenapa lo mikir gitu, Ris?" Darrel yang bersuara.
"Gue yakin salah satu dari kalian tau masalah gue sama Ray," tembak Risya langsung. Krisna yang pertama mengubah raut wajah. Namun Risya menggeleng samar, seolah mengatakan bahwa hal itu bukan masalah besar. "Gue sadar kalau apa yang gue lakuin ini egois banget. Tapi gue nggak bisa handle perasaan Ray."
"Kenapa?" timpal Krisna, berhati-hati.
Risya menghela napas. "Dunia tau kalau gue sayang banget sama dia. Gue pengen dia yang bakal gue cari kalau gue butuh sandaran, tapi... nggak gini caranya. Nggak dengan Ray yang malah mengharapkan lebih, dan mikir kalau kedekatan kita selama ini bisa jadi jembatan supaya kita bisa pacaran. Gue nggak pernah mikir Ray bakal sejahat itu."