Intersection - 6

1.9K 204 2
                                    

"Nasinya ditambah, Kak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Nasinya ditambah, Kak. Hari ini Mama masak banyak banget,"

Risya yang baru saja menghabiskan satu piring nasi goreng buatan Mamanya, mendongak. Wanita paruh baya didepannya itu terlihat lelah. Meski kantung matanya yang gelap berusaha ditutupi dengan concealer, namun tidak terlalu membantu dan tetap membuat Risya sadar bahwa wanita kesayangannya itu bekerja terlalu keras.

"Tumben Mama nggak ke kantor? Biasanya berangkat sebelum Risya ke kampus," tanya Risya setelah meneguk air putih di dalam gelas.

"Mama sampai rumah jam 1, Kak. Jadi mau izin buat berangkat agak siang. Hari ini Kakak kuliah jam berapa?"

"Ma, Risya sama Tari terlalu membebani Mama ya?" Bukannya menjawab pertanyaan Mamanya, perempuan itu malah melempar pertanyaan balik. Membuat Mamanya mengernyit keheranan.

"Membebani gimana, Kak?"

"Mama kerja terlalu keras, padahal tiap bulan, Risya sama Tari dapet kiriman dari Papa. Kita masih tanggung jawab Papa kan, Ma?"

Risma—Mama Risya—menghela napasnya dengan pasrah. Sejak suaminya—Papa Risya—begitu sibuk mengurusi perusahaan keluarga di Jakarta, rumah tidak lagi terasa hangat. Kerekatan dalam keluarga mulai tidak terasa. "Kita sudah ngobrolin ini berkali-kali, Kak,"

Risya mengangguk. Wajahnya terlihat tenang, meski dadanya terasa diremas-remas. "Iya, tapi berkali-kalipun kita bicarain ini, Mama tetap selalu kerja keras seolah Mama adalah kepala keluarga. Risya nggak ngelarang Mama buat kerja, karena Risya tahu Mama kesepian kalau Risya masih di kampus dan Tari lagi ada kegiatan di sekolah. Tapi bukan berarti Mama harus kerja keras. Yang punya tanggung jawab di keluarga kita, untuk menafkahi kita adalah Papa. Apapun yang terjadi, selama Papa masih terikat sama Mama, Papa masih betanggung jawab atas kita."

"Kak, kondisi keluarga kita udah beda, kamu—"

"Papa dan Mama yang membuat semuanya jadi beda. Risya sebenernya udah capek nyalahin Mama atau Papa atas keluarga kita yang kayak gini. Tapi lebih dari itu, kita masih tanggung jawab Papa. Seburuk apapun keadaan keluarga kita, Papa tetap harus menafkahi kita lahir batin, Ma. Risya emang udah nggak mau mempermasalahkan ini semua, tapi gimana sama Tari? Dia masih kecil, masih butuh sosok Papa, masih nggak bisa beneran terima kondisi keluarga kita,"

Risma mengangguk. Kemudian diraihnya satu tangan Risya dan digenggamnya dengan erat. Putri sulungnya itu sudah tumbuh menjadi perempuan dengan pemikiran yang begitu dewasa. "Mama ngerti, Kak. Tapi sekeras apapun Mama dan Papa berusaha, semuanya nggak akan kembali seperti dulu. Kakak udah dewasa, dan Mama sangat berterima kasih untuk semua pengertian Kakak selama ini. Mama bisa jadi Papa untuk kalian, Mama bisa memperjuangkan semuanya asal Mama tetap punya Kakak dan Tari. Jadi Mama juga mohon sama Kakak, tolong buat Tari bisa mengerti bahwa yang sudah berlalu, nggak akan bisa diulang lagi. Yang ada sekarang Cuma kita. Kakak, Tari, dan Mama."

***

Risya menghampiri Alan yang sedang mengobrol dengan Rendy—anggota himpunan jurusannya—dan Rania di depan sekre himpunan. Laki-laki itu sontak tersenyum ketika mendapati kedatangan pacarnya.

Intersection ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang