Bagi Risya, Rayyan adalah satu-satunya orang yang paling mengerti dirinya, lebih daripada siapa pun. Bagi Risya, segala hal lebih mudah dilakukan ketika Rayyan berada disampingnya.
Bagi Rayyan, Risya adalah satu dari segelintir orang yang pendapatny...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Kok nggak tidur, Ran?"
Rania yang sedang duduk pada salah satu kursi di teras asrama, menoleh. Hari sudah mulai larut, para peserta lomba mungkin sudah tertidur di kamarnya masing-masing. Beruntung universitas yang mengadakan lomba berskala nasional itu menyediakan asrama untuk peserta dari berbagai kota, sehingga ketiganya tidak perlu menginap di hotel.
"Feel better?" tanya Alan sembari duduk di samping perempuan itu.
Rania menoleh pada Alan dan tersenyum. "Better. Tadi udah minum obat yang dikasih Yudha kok."
Rania tersenyum samar. Tidak ingin berekspektasi terhadap segala perhatian Alan. Namun sejak ia hampir pingsan setelah mereka keluar dari ruang perlombaan sore tadi, pun ketika dirinya memuntahkan campuran roti dan teh hangat yang menjadi menu sarapan, raut khawatir Alan masih terngiang dengan jelas. Kesigapan laki-laki itu membawanya menuju ruang kesehatan setelah menemani di toilet wanita, masih membuat dadanya berdesir.
Seharusnya Rania tidak mengharapkan apapun, karena kebaikan laki-laki itu padanya adalah hal yang wajar. Sejak berteman dengan Alan, mengikuti berbagai lomba bersama laki-laki itu, pun satu kepengurusan himpunan, Alan memang telah akrab dengannya. Bahkan tidak jarang mereka saling menceritakan keresahan satu sama lain.
"Aku nggak nafsu makan banget. Makanan yang dikasih pas technical meeting kemarin aja, aku kasih ke Yudha."
Alan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kenapa? Nggak cocok sama makanan di sini?"
"A little bit," ujar Rania pelan. Kemudian menambahkan, "tapi bukan karena nggak enak. Mungkin emang karena lidahku lagi nggak friendly sama makanan."
"Are you okay?"
Rania sontak menoleh dan mendapati Alan yang juga menatapnya. Dari jarak tidak lebih dari setengah meter, meski hanya dengan pencahayaan minim, Rania masih bisa melihat wajah tampan Alan yang menatapnya khawatir. Rania telah melihatnya puluhan kali sejak mereka berteman lebih akrab. Namun setiap tatapan itu ditujukan untuknya, Rania tidak pernah bisa menahan degup jantungnya yang mendadak beritme cepat.
"Not at all, mungkin karena aku nggak makan dari pagi, makanya nggak terlalu fit. Tapi nggak bakal pengaruh sama performaku di lomba besok. Aku nggak bakal ngecewain kalian yang udah survive di lomba ini. I promise."
Alan menggeleng. Tiba-tiba saja tangan besar Alan menepuk bahunya. Hingga tidak hanya lengannya yang terasa hangat, tetapi juga hatinya.
"Bukan gitu, Ran. I know you can, we can. But, you look so pale. Aku takut kamu pingsan pas masih lomba, sedangkan aku sama Yudha nggak bakal bisa handle kamu."
Rania tidak bisa menahan pipinya yang menghangat. Beruntung pencahayaan sedang minim, sehingga Rania tidak perlu menyembunyikan kedua pipinya yang pasti memerah.