Bagi Risya, Rayyan adalah satu-satunya orang yang paling mengerti dirinya, lebih daripada siapa pun. Bagi Risya, segala hal lebih mudah dilakukan ketika Rayyan berada disampingnya.
Bagi Rayyan, Risya adalah satu dari segelintir orang yang pendapatny...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Jam telah menunjukkan pukul delapan malam, namun rapat redaksi yang entah keberapa kali ini tidak kunjung selesai. Padahal mereka memulainya sejak pukul empat sore untuk menyiasati agar rapat tidak berakhir ketika malam telah larut. Bahkan jeda untuk Sholat Maghrib dan makan malam tidak lebih dari tiga puluh menit. Namun kenyatannya, waktu untuk rapat redaksi tetap tidak bisa diminimalkan.
"Ini siapa aja yang mau observasi besok pagi?" tanya Rania menatap satu-persatu pengurus LPM.
Anjani yang pertama menjawab. "Gue bisa, Ran."
"Lo juga bisa kan, Ris?" tanya pimpinan litbang itu ketika menoleh pada Risya.
"Gue skip dulu, besok gue ada acara sama Papa. Tadi gue udah bilang kan?"
"Skip? Yakin lo, Ris? Ini proker lo," timpal Krisna langsung.
Pimpinan umum LPM itu sontak menegakkan tubuh.Tatapan tajamnya menghujam Risya, tetapi tidak membuat perempuan itu terpengaruh, atau bahkan takut.
"Iya, gue ngerti," jawab Risya kalem. Perempuan itu berusaha tidak emosi ditengah tatapan Krisna dan Anjani yang terlihat menuntut. "Gue udah jelasin kan kenapa gue nggak setuju kalau observasinya weekend? Excuse gue kurang masuk akal gimana lagi? Litbang juga udah tau kenapa gue nggak bisa main-main seenaknya tiap weekend. Kenapa sekarang pada protes sih?"
"Ini kenapa jadi kedengerannya lo meremehkan LPM ya?" Anjani yang pertama menimpali. Membuat Risya berdecak kesal.
Matanya menatap Anjani dengan nyalang. "Dimana letak gue meremehkan LPM, Jan? Gue udah kasih alasan kenapa gue nggak bisa. Sebagai penanggung jawab, gue juga udah kasih opsi supaya observasi diadakan disela jam kuliah. Harusnya gue yang nanya ke kalian, kenapa susah banget buat ngertiin posisi gue sih?"
Krisna yang duduk tepat dihadapannya sontak mengernyit. "Kita udah—"
"Udah, udah, ini ranah pribadi," potong Rezka cepat. "Risya udah jelasin semuanya di awal kalau dia nggak menyanggupi observasi besok. Gue pikir udah jelas. Kalau ada yang setuju, bisa berangkat besok tanpa Risya. Sedangkan kalau pengen Risya ikut, kita atur jadwal lagi."
Risya menghela napasnya yang terasa berat. Perempuan itu mengusap wajahnya dengan gusar. Risya pun tidak berpikir apapun ketika mengiyakan ajakan Papanya untuk berlibur di Lembang bersama Tari. Meski tanpa Mamanya karena wanita itu harus menghadiri rapat di daerah Bogor, Risya tetap menyetujui ajakan tersebut. Berlibur bersama Papanya adalah hal yang sudah lama tidak ia lakukan, dan Risya begitu merindukan moment tersebut.
"Masalahnya, atur jadwal buat observasi nggak segampang itu, Guys." Rania bersuara dengan nada rendah. Ditengah suasana rapat yang mulai tidak kondusif, Rania berusaha tidak memantik emosi siapapun pengurus yang ada di ruangan tiga kali empat meter ini. Namun tampaknya tidak berhasil, karena beberapa detik kemudian, Risya menatapnya dengan kesal.
"Tadi kamu nggak mempermasalahkan ini loh, Ran. Kamu bilang, aku nggak ikut pun, observasi masih tetap bisa jalan."
Rania mengangguk. Tatapannya terlihat tenang. "Iya, Ris. Aku kan ngebales statementnya Rezka, bukan bilang nggak setuju kamu nggak ikut observasi."