1. Keputusan

5.4K 557 14
                                    

Ruangan berukuran 20x20 itu hening, tanpa suara sama sekali walau ada dua orang didalamnya. Suasananya pun kian memanas karena kemarahan Nyonya besar ditempat itu.

"Apa maksud kamu sampai menghabiskan uang sebanyak itu? Selama ini mom tidak pernah mengajarkan mu untuk boros, Lesha! Walau mom ini kaya, tapi semua itu butuh proses termasuk sikap hemat agar berhasil seperti sekarang!"

Alesha menunduk dalam-dalam. Ia meremas ujung roknya sampai kusut. Duduk di sofa mahal di dalam ruangan pribadi ibunya tak menenangkan hatinya sama sekali, malah berasa berkali-kali lipat lebih panas. Ibunya marah tapi uang sebanyak itu tak pernah sekalipun Alesha gunakan. Olivia lah yang menggunakannya, mengatakan bahwa meminjam kartu kredit miliknya sebentar untuk membeli keperluan kelompok atau alasan lain —seperti kebutuhan mendadak miliknya yang tak dapat ditunda— yang mau tak mau Alesha berikan.

Nyatanya cewek matre itu juga membeli tas Hermes keluaran terbaru dan sepatu seharga jutaan dengan kartu itu. Tanpa meminta izin kepada Alesha.

Dan sekarang, Alesha lah yang harus menanggung kemarahan Ibunya.

"Mom tak habis pikir dengan sikapmu," wanita yang masih terlihat muda itu tampak frustasi, ia memijit pelipisnya. "Kau sudah sering melakukannya, Alesha. Untuk apa uang sebanyak itu?" Wanita itu duduk di kursi kebesarannya. "Satu koma dua juta dolar? Ya Tuhan!"

"Mom, aku bisa menjelaskan—"

"Menjelaskan katamu? Tidak ada gunanya! Uang itu sudah melayang saat kau menghabiskannya. Mom memberimu kepercayaan tapi kau ... Mom tak percaya kau melakukannya, Alesha!"

Alesha tak berani berbicara. Dia hanya diam menunduk dengan mata yang melirik kemana ibunya akan berjalan.

"Kau tidak tahu bagaimana rasanya mencari uang sendiri! Sepertinya mom salah mendidik mu!"

"Mendidik ku?" Beo Alesha sakras. Entah datang darimana kah keberaniannya sampai gadis itu mendongak, menatap langsung lensa ibunya yang memerah karena marah, ia duduk tepat didepan anak gadisnya. Bahkan wanita itu sempat terkejut. "Mom bahkan tak pernah sekalipun menanyakan sekolahku! Mom hanya peduli dengan pekerjaan mom sendiri!"

"Alesha!" Wanita itu berdiri dengan tatapan memperingatkan, ia sangat marah saat melihat putrinya sendiri berani mendebatnya. "Mom selama ini bekerja untukmu dan kau dengan tak tahu dirinya malah menanyakan kepedulian mom? Mom selalu peduli padamu! Memangnya selama ini apa yang sudah kau lakukan ke mom? Apakah ada yang bisa membuat mom bangga atas sikapmu selama ini? Tidak ada!"

Alesha ikut berdiri, tak tahan lagi dengan semua perdebatan ini. Sejenak ia tertegun miris. Ibunya sama sekali tak menghargai prestasinya. "Jadi selama ini mom tak bangga dengan prestasi ku?" Tanya gadis itu dengan senyuman getir.

"Waktu tk aku pernah juara 1 menggambar, juara tiga melukis, juara 1 menyanyi dan juara 2 menari dan piagam lainnya. Bukannya mom tahu kalau lomba menjadi hal yang lumrah bagiku?"

Wanita berjas coklat itu mematung. Ia baru menyadari satu hal sejak enam belas tahun hidup bersama putrinya. Alesha berbakat, namun ia tak pernah sekalipun mengucapkan selamat padanya apalagi merayakannya dengan meriah. Alesha kesepian dan dia justru menyalahkan putrinya atas segala sikap lalainya selama ini.

"Di sekolah dasar, aku selalu memasuki peringkat tiga besar. Bahkan aku lebih banyak mendapatkan piala dibandingkan masa taman kanak-kanak."

Alesha berucap bersamaan dengan air matanya yang tumpah. "W-waktu sekolah menengah juga begitu bahkan aku memasuki kelas akselerasi. Apa itu kurang, mom?"

Wanita itu menggeleng pelan. Ia syok. Nyatanya selama ini dialah yang kurang baik bagi putrinya, dan saat putrinya itu melakukan kesalahan, kenapa ia malah melimpahkan nya pada Alesha seorang? Dari kesalahan anak ada separuh kesalahan orangtuanya. Wanita itu diam, ia malu untuk menangis didepan Alesha. Yang ia lakukan hanya menyesali didalam hati dan berdoa agar Alesha mau memaafkannya walau ia tak meminta. Ego wanita karir itu terlalu besar.

"Menurut mom apa yang kurang? Aku cantik, berbakat, cerdas, dan berpotensi besar untuk menjadi penerus perusahaan raksasa keluarga walau aku perempuan, mom!"

"Dan apa tadi mom bilang? Mom peduli padaku? Mom bahkan tak tahu dan tak peduli saat aku demam hebat tempo hari dan enggan menyuap makananku. Aku hanya akan makan jika bersama mom. Itu yang aku ucapkan pada maid dan aku yakin dia akn menyampaikan pesan itu padamu. Sedangkan mom? Kau pulang pukul dua dini hari dan langsung masuk ke kamarmu dengan tak pedulinya walau kau tahu aku sakit!"

"Sudahlah, mom," Alesha tersenyum getir, dadanya sesak untuk menahan amarah dan tangis yang menjadi satu. Percuma untuk selalu ada bersama ibunya jika kehadirannya pun tak dianggap. Ia selama ini hanya dianggap benalu dalam kehidupan ibunya. "Aku mundur. Aku menyerah pada tekad ku supaya selalu berada di hati mom. Aku lelah, mungkin besok aku akan pergi ke Indonesia, mungkin saja dad mau memungut anaknya ini." Masih dengan senyuman getirnya, Alesha keluar dari ruangan 20x20 itu dengan perasaan kalut. Sedangkan ibunya menyesali semua perbuatannya selama ini. Secara tak langsung ia menciptakan luka lebar pada hati putrinya yang tulus.

Clara —ibu dari Alesha— tak menolak keberangkatan Alesha. Tidak. Ia beranggapan bahwa Alesha hanya mengancamnya karena marah. Gengsinya mengatakan bahwa suatu saat nanti Alesha akan memaafkannya. Itu hanya kesalahan kecil, kan? Pikirnya di dalam hati. Namun ia tak tahu bahwa dengan sikap buruknya itu akan mengubah kepribadian Alesha seutuhnya.

Di lain tempat, Alesha berlari cepat menuju lantai tiga, kamarnya. Menutup pintunya dengan keras dan pertahanannya runtuh, ia menangis dibelakang pintu dengan memeluk kedua lututnya, terisak-isak tanpa seorang pun yang menenangkan.

Tak ada waktu untuk menangis. Alesha mengelap sudut matanya yang sembab. Ia berdiri dan berjalan menuju lemari pakaian berukuran raksasa di sudut kamarnya. Mengeluarkan koper besar dan memasukkan beberapa pakaiannya. Hanya lima lembar pakaian, karena ia tahu bahwa ayahnya akan menyiapkan semua kebutuhannya besok. Besok ia tak akan sakit hati lagi. Sudah cukup dengan enam belas tahun ini, Alesha muak dengan kesendiriannya.

"Good by, Manhattan and hallo to Jakarta."

PRETTY BOY✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang