Bandar Udara Internasional John F. Kennedy sudah ramai walau dini hari. Tentu saja, ini New York. Kota yang tak pernah tidur walau selarut malam apapun.
Malah, semakin larut, maka semakin ramai orang-orang yang berkeliaran diluar rumah.
Alesha tetap pada pendiriannya untuk pindah ke Indonesia, tempat kelahirannya dulu.
Gadis itu duduk di kursi tunggu dengan menggenggam sebotol soda yang dibelinya dari vending machine. Ia melirik jam tangan silver nya, pukul empat lewat empat puluh lima menit dini hari. Keberangkatannya sekitar lima belas menit lagi. Alesha menghela nafasnya, ibunya jelas tak peduli. Semalaman ia tak pulang sampai Alesha meninggalkan rumah pun ia belum kembali. Ibunya super sibuk dengan pekerjaannya -ah, Alesha baru ingat, bukankah Clara memiliki teman kencan?- ataupun dengan temannya itu. Well, sekarang Alesha tak dihiraukan lagi. Mungkin karena itu.
Alesha mulai membayangkan hidup bersama ayahnya yang peduli dan selalu mengerti dirinya. Ia rindu pada ayahnya, sangat. Bahkan Alesha tak mengerti, kenapa ayah dan ibunya sampai menikah? Mereka memiliki kepribadian yang jauh berbeda. Ibunya yang cenderung wanita yang cuek, tak peduli dan ketus itu disandingkan dengan ayahnya yang sempurna. Ayahnya pengertian, peduli pada semua orang dan ramah, ia juga sangat tampan dan terlihat awet muda dengan wajah khas Asia nya. Tak ada yang kurang dari ayah. Dia sempurna dan semakin sempurna juga kehidupan keluarga kecilnya saat kehadiran Alesha ditengah-tengah mereka.
Walau akhirnya mereka bercerai.
Alesha tak mengetahui lagi bagaimana kabar ayahnya. Tak mengetahui bagaimana kehidupan ayahnya. Ia tak mengetahui apapun. Clara melarang Alesha untuk menghubungi Ben -Ayahnya- walau bertanya kabar pria itu.
Dan Alesha pun agak terkejut dengan reaksi ibunya saat ia berkata ingin tinggal bersama Ayahnya. Clara tampak biasa saja. Berbanding terbalik dengan sikapnya selama ini yang selalu mengekang Alesha bila mengingat atau ingin bertemu dengan Ben.
Alesha tersadar dari lamunannya. Lima menit lagi pesawat akan terbang menurut pemberitahuan. Ia segera menenteng kopernya menuju pintu pesawat.
Ia kembali merasa iri saat melihat seorang wanita yang baru memasuki pesawat dengan keluarganya yang mengantar. Ada yang menangis bahkan tak ingin melepaskan wanita itu untuk pergi. Alesha menatapnya dibalik jendela pesawat dengan tatapan yang sulit dibaca. Keluarganya benar-benar menyayangi wanita itu.
Alesha kembali tersenyum getir. Disaat orang-orang diantar kepergian nya, maka ia tidak sama sekali. Tidak ada yang mengantar kepergiannya menuju Indonesia walau satu orangpun. Apa dia memang tak sepenting itu di mata semua orang? Pikirnya sedih.
Alesha lelah untuk hidup. Ia memejamkan matanya perlahan. Seiring dengan terbangnya pesawat VIP itu, ia pun tertidur dalam posisi duduk.
•••••
Alesha membuka matanya pelan. Mengerjapkan nya beberapa kali. Diliriknya jam tangan rolex daytona silver miliknya.
Pukul sembilan pagi, gumamnya dalam hati.
"Hai!" Sapa seseorang di sebelah kirinya. Ralat, di seberangnya. Berbatasan dengan lorong pesawat.
Alesha hanya menoleh sesaat. Menatap datar laki-laki berhoodie hitam putih yang sok kenal dengan memanggilnya sebelum kembali menghadap kedepan. Laki-laki itu tampan, namun wajahnya menyebalkan menurut Alesha.
"Gue gabut. Kita temenan, yok?"
Alesha menoleh lagi. Kali ini dengan tatapan tajamnya. "Gue gak kenal sama lo!"
KAMU SEDANG MEMBACA
PRETTY BOY✓
Teen FictionBIG SECRET SERIES #1 Berada di sekeliling laki-laki tanpa ada yang tahu bahwa kita perempuan? Alesha Morgan. Cantik, berbakat, dan penyayang. Sayangnya, karena sifat lembutnya itulah yang menjadi penyebab ia dilempar jauh keluar dari Manhattan. Ales...