Cuaca hari ini masih sama seperti hari kemarin dimana salju masih turun dengan sangat lebat ditambah angin yang berhembus cukup kencang. Ara menghela nafas panjang saat ia menyadari cuaca diluar sana yang entah mengapa membuatnya sedikit tidak tenang, sama seperti tiga tahun sebelumnya. Ada banyak hal yang mengganggu pikirannya setiap kali musim dingin tiba dan ia tak menyukai itu. Ia merasa hidupnya tidak pernah segelisah ini sebelumnya.
Ara keluar dari kamarnya dan menuruni anak tangga. Ia berniat untuk menengok kondisi Ayahnya yang dapat ia pastikan masih sama seperti sebelumnya, tak ada perubahan sama sekali. Namun ia sendiri sadar bahwa Ayahnya lah yang hanya ia miliki saat ini mengingat Ibu dan Kakak lelakinya telah pergi meninggalkannya. Ia merasa bertanggung jawab atas kesehatan Ayahnya yang semakin lama semakin membuat harapannya menipis.
Ia langsung masuk kedalam ruang kamar Ayahnya yang sunyi. Hanya ada satu suara disana, yaitu suara mesin yang sangat dibenci oleh Ara— mesin yang menjadi penanda bagaimana kondisi tubuh Ayahnya yang masih jatuh koma. Setelah menutup pintu dengan rapat, ia melangkah mendekat kearah ranjang yang terdapat tubuh Ayahnya diatasnya. Untuk yang kesekian kalinya, Ara memandangi tubuh Ayahnya dengan pandangan prihatin dan penuh harap.
Ara tahu bahwa ia tak boleh berhenti berharap atas kondisi Ayahnya yang meskipun membuat harapannya semakin menipis. Ia harus terus berharap dan berdoa kepada Tuhan agar Tuhan mau mengembalikan sosok Ayahnya sekarang. Ara tahu bahwa ia bukanlah hamba yang taat pada Tuhannya, namun tak bisakah ia berharap untuk kondisi Ayahnya? Ia tak memiliki siapapun lagi dan ia ingin Ayahnya kembali kesisinya.
"Apa kesalahanku hingga aku ditinggal oleh orang - orang tersayangku?" Tanya Ara pada dirinya sendiri dengan mata yang masih setia memandangi Ayahnya.
Ara kembali mengingat semua yang terjadi pada tiga tahun yang lalu. Tiga tahun yang lalu adalah tahun dimana semesta merenggut seluruh kebahagiaannya dan mengambil seluruh orang - orang tersayangnya. Semuanya dapat Ara ingat dengan jelas setiap detailnya tanpa ada yang tertinggal. Dimulai dari pertengkaran kedua orang tuanya setelah terjadi perselingkuhan yang Ayahnya lakukan, kemudian kepergian Ibu serta Kakaknya, disusul oleh perceraian resmi kedua orang tua mereka, dan yang terakhir masuknya sosok wanita baru yang kini berstatus sebagai Ibu tirinya.
"Cepatlah sadar. Aku tak ingin kehilangan siapapun lagi." Ujar Ara sambil mengusap punggung tangan Ayahnya dengan lembut diiringi sebuah senyuman hangat.
Menarik nafas panjang, Ara mulai keluar dari ruang kamar Ayahnya. Ia harus mengunjungi satu tempat yang sudah sangat ia rindukan sekarang. Tempat yang sudah sewajibnya ia kunjungi setiap bulannya demi melegakan perasaannya.
"Kim Ara."
Langkah kaki Ara terhenti saat mendengar suara seorang wanita yang baru saja memanggil namanya. Lantas ia menoleh kebelakang dan menemukan Ibu tirinya yang sedang tersenyum hangat padanya. Namun sekali lagi, ia tak pernah sekalipun membalas senyuman hangat itu meskipun hanya senyuman tipis. Nyonya Lee mendekat kearahnya tanpa menghilangkan senyuman yang ada diwajah yang semakin menua itu.
"Ibu dengar semalam kau memiliki pertemuan dengan anak Tuan Kim Jeongyu?" Tanya Nyonya Lee dengan sangat lembut. Ia sadar betul bahwa memancing emosi gadis bermarga Kim tersebut bukanlah ide yang bagus.
"Dari mana kau tahu?" Tanya Ara balik dengan nada ketus, berbanding jauh dengan nada yang diberikan oleh Nyonya Lee padanya.
"Tuan Choi memberitahuku, tapi ia justru mengantarmu ke rumah sakit. Apa yang kau lakukan?"
Ara menghela nafas pendek, "Bukan urusanmu." Jawabnya sambil mulai melangkah keluar dari rumah yang sudah tak terasa seperti rumahnya sendiri semenjak kehadiran Nyonya Lee didalamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
THAT WINTER✔️
Fanfic"Aku tak pernah bercanda dengan kalimatku. Aku akan menikahimu secepatnya dan musim dingin adalah pilihanku." Kim Ara tak pernah menyangka bahwa kalimat itu akan terucap dari bibir manis milik Kim Taehyung. [M] -prettyprasetya.