epilog

164 24 7
                                    

'Kalau memang bukan ditakdirkan bersama, Tuhan pasti punya banyak cara untuk memisahkan kan?'
– Reina putri N.

ENAM bulan sudah berlalu. Keadaan Reno membaik dengan cukup lambat. Dirinya juga sudah keluar dari rumah sakit dan menjalankan perawatan jalan.

Reno juga sudah menduduki tingkat akhir sekolahnya. Ya, karena koma, dirinya harus mati-matian mengejar ketertinggalan juga menjalankan ujian kenaikan kelas seorang diri. Ingin menikah saja kala dia mengingat soal ujian kenaikan yang sulit nya kelewatan dan tidak masuk akal di otak nya.

Reno menghela napas lalu melirik ke arah kotak kayu yang ada di pojok kamarnya. Dirinya masih enggan karena takut tidak mampu menahan tangisnya jika membuka kotak itu, apalagi sampai melihat dengan rinci apa yang ada di dalam kotak itu.

Suara guntur terdengar sangat keras. Mug berisi kopi di atas meja belajar menemani Reno yang sekarang sibuk melamun dengan pandangan lurus ke arah balkon. Hujan deras sekali hari ini, suara petir pun saling bersautan.

Reno menghela napas. Hatinya terasa sangat kosong karena rindu benar-benar berhasil membunuhnya secara perlahan. Diam-diam dia menyumpah serapah, kenapa waktu itu dia malah tertabrak dan tidak sempat melihat keadaan Reina?

Kenapa dirinya malah koma? Kenapa Tuhan begitu jahat kepadanya? Dia bahkan belum sempat melihat senja lain bersama Reina.

Reno memukul kepalanya. Kenapa Reina selalu mampir di otaknya? Kenapa dirinya mudah sekali menangis karena hanya dengan mengingat senyum Reina? Kenapa semua kenangan seolah membuatnya menjadi orang paling menyedihkan di muka bumi?

Kenapa fase melupakan selalu semenyakitkan ini?

Langkah Reno berhenti di depan balkon lalu tangannya membuka lebar pintu balkon. Bau air hujan yang menyatu dengan tanah memenuhi Indra  pembauan nya. Reno menutup matanya lalu menarik napas dalam-dalam sampai paru-parunya terasa penuh.

Disinilah Reno sampai. Dia sudah berada di fase ini setiap kali Reina mampir di otaknya. Menangis tanpa suara ditemani hujan deras. Reno berlutut dengan kedua tangan mencengkram rambut. Di bersujud lalu satu tangannya memukul lantai berulang kali dengan kerasnya hingga membuat tangannya memerah.

"Kenapa? Kenapa?"

Reno merintih. Kenapa rasanya dunia tidak adil pada dirinya dan juga Reina? Kenapa Tuhan merebut Reina tanpa sempat memberi Reno kesempatan kedua untuk memiliki Reina?

"Kenapa Rein?"

Sampai sekarang, tanda tanya Reno masih sama. Kenapa Tuhan setidaknya memberikan ia satu saja kesempatan untuk bertemu Reina?

Suara tangis Reno mengeras. Entah kenapa dirinya merasa sangat bersalah. Tapi disatu sisi dia sangat merasa marah. Marah dengan takdir yang tak pantas ia salahkan.

Semuanya terasa hampa untuk Reno. Reno masih tidak percaya, tapi takdir menampar Reno keras-keras.

Semuanya nyata. Hanya Reno yang tidak bisa menerima kejadian lalu untuk jadi nyata.

Tok tok

"Reno?"

Reno meraup oksigen dengan ganas lalu bangkit dan melangkah lebar menuju kamar mandi di kamarnya. Dia tidak boleh terlihat kacau di depan orang lain. Cukup dirinya sendiri yang boleh melihat sisi menyedihkan nya.

"Woy nying?!" Pintu kamar Reno dibuka. Devano, Maura, Rani, dan Sherin terdiam di depan pintu lalu saling melirik dengan panik saat melihat balkon ruangan yang terbuka.

"Bunuh diri jangan jangan?!"

"Kotaknya udah dibuka jangan-jangan?!"

"Ck, ah! Lo pada sih! Ngasih kotak nya kan gue bilang entaran aja! Ngotot sih!"

please don't go [COMPLETE✓✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang