Aku bukanlah manusia yang biasa mengumbar rasa.
Bila suatu hari nanti aku sungguh-sungguh menerimanya menjadi belahan jiwaku,
aku ingin rasa ini mengalir bagai angin, tidak perlu semua orang tahu, tapi kamu bisa merasakannyaSebuah gejolak di hati ini tatkala perhatian bertubi-tubi yang aku dapatkan, tak mampu aku balas. Bahkan aku melihat perhatiannya bukan hanya untukku tapi untuk papa yang sedang terbujur lemah di ruang ICU. Bahkan aku sendiri anak kandungnya belum sempat melihat papa karena menunggu waktu besuk.
“Ayo makan, dari tadi kamu bengong aja, makanlah,” pinta Bintang
“Aku masih kepikiran papa.” Jawab Nafisha singkat.
“Papa butuh support kita, kamu harus sehat dulu baru kita ketemu papa.”
Dengan sangat pelan suapan-suapan kecil masuk ke mulut Nafisha, sedangkan makanan yang dipesan Bintang sudah ludes dilahapnya.
Bintang kemudian berdiri memesan makanan untuk Mahes dan ibu. Setelah kembali ke tempat duduknya karena panggilan masuk dari Mahesa mengalun melaui ponsel hitam milik bintang yang dia tinggal di meja.“Iya Hes, ada apa?”
“Papa ingin ketemu Abang”
Setelah observasi yang dilakukan, dokter memutuskan kateterisasi jantung untuk pemasangan ring akan dilakukan malam ini. Berkat doa keluarga kondisi papa membaik, tapi kateterisasi harus cepat dilakukan. Setelah diskusi dilakukan, Mahesa menandatangani operasi yang akan dijalani sang papa. Keluarga besar sudah berkumpul dirumah untuk memberi semangat pak Dimas___ayah Nafisha. Sebantar lagi papa juga akan dipindahkan ke ruang intermediate. Bu Hanna__ mama Nafisha segera kembali ke ruang tunggu bersama Mahes untuk beristirahat dan sekedar makan makanan ringan untuk mengganjal perut.
Bintang mengambil dua baju pengunjung ICU, satu baju untuk Nafisha, satu lagi untuknya. Langkah Nafisha terhenti saat dari kejauhan dia melihat kaki sang papa yang masih tergolek lemah diatas ranjang rumah sakit. Dua kali tepukan di punggung Nafisha membuatnya bangun dari lamunannya. Bintang berjalan mendahului Nafisha seraya membisikkan kalimat, “Hapus air matamu, papa butuh kita.”
“Papa" Nafisha menghambur memeluk papa.
"Doakan operasinya lancar ya, Nak," pinta papa
Setelah melihat kondisi pak Dimas, Bintang melihat buku status melalui perawat yang jaga. Rupanya dokter yang bertugas malam ini adalah spesialis jantung terbaik di Jakarta. Ini merupakan rekomendasi dari Iqbal--- teman sejawat yang dijumpainya tadi siang.
"Kalau dokter Iqbal tidak praktik disini Mbak?" Tanya Bintang
"Dokter Iqbal masuk tim ICU pagi Dok." jelas perawat yang ditemuinya.
Beberapa saat sebelum papa masuk ruang operasi, semua keluarga berkumpul, Mama, Nafisha, Mahes, keluarga dari Bogor dan juga Bintang, ini adalah bentuk dukungan yang diberikan untuk papa. Air mata Nafisha masih saja mengalir. Dari kecil memang Nafisha lebih terbuka dengan papanya, baru kemarin sepertinya mereka bertiga bercanda bersama tetapi hari ini papa berjuang dengan penyakitnya.
Rasa sedih menyeruak ketika linangan air mata itu tak kunjung berhenti, entah berapa lembar tisu yang sudah terbuang. Ditambah lagi melihatnya beberapa kali menyandarkan kepala di tembok keras ini, andai bahuku sudah halal untukmu. Beberapa kali aku hanya mengusap pundak Nafisha yang kini telah dilapisi jaket milik Mahes.
Suara bisik-bisik terdengar ketika Om Rommy dan istrinya menanyakan siapakah laki-laki di samping mama dan Nafisha. Mahesa pun menjawab jika laki-laki itu adalah calon suami kak Nafisha.
Telpon Nafisha tiba-tiba berbunyi, ternyata telpon dari Nadia, Nafisha hanya menjelaskan sedikit kemudian memberikan ponselnya pada Bintang, dan dia segera menjelaskan sakit yang diderita om Dimas pada Nadia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu yang Ku Tunggu
General FictionPendidikan itu penting, itulah yang ditanamkan ayahnya dari dia kecil, dia gadis yang mandiri, tangguh tidak mudah menyerah. Menuntut ilmu baginya adalah suatu seni, belajar dan membaca adalah hobbynya tapi tidak membuat gadis usia menjelang 28 tahu...