Hadiah tak selalu dibungkus dengan indah. Kadang Tuhan membungkus dengan masalah dan penantian, tetapi di dalam hadiah itu tetaplah berkah.
Kamu yang Ku Tunggu
Happy Reading,
part-part akhir🙏🙏
Setelah diskusi dan menentukan dokter kandungan yang akan menangani Nafisha, pulang kerja ini Nafisha dijemput oleh ayah mertua dan suami, untuk kontrol ke dokter pertama kali.Nafisha berpesan, tidak mau proses persalinannya ditangani dokter laki-laki, sehingga Bintang mencari dokter spesialis kandungan bagus di rumah sakit yang tidak jauh dari tempat tinggalnya.
“Kalau enggak ada dokter perempuan yang baik, Mas Bintang saja yang bantu persalinan nanti,” gerutu Nafisha.
“Tenang, Dokter Dinda salah satu dokter spesialis terbaik di kota ini. Beliau juga praktik di tempat aku kerja, selain di Rumah Sakit Anak Bunda dekat rumah.” Bintang mengusap kepala Nafisha lembut.“Bin, wanita hamil memang begitu. Kamu bisa memberikan obat anti mual, penguat rahim, atau apalah dengan segala ilmu yang kamu punya. Tetapi ingat, mood booster datang, jika hati merasa nyaman. Kenyamanan itu yang harus Nafisha dapatkan selama ia mengandung.” Masih dengan menyetir ayah menasihati Bintang.
Tidak terasa mobil telah memasuki halaman parkir rumah sakit Anak Bunda, Bintang segera menuju bagian pendaftaran, sementara Nafisha pergi ke cafeteria, pesan beberapa makanan kecil untuk mengganjal lapar.
Kini mereka sedang menunggu antrian untuk periksa. Nafisha mengedarkan mata, lalu tersenyum setelah melihat sekeliling, ingat betul pertama kali dia mengantri di poli kandungan saat mengantar wanita korban kecelakaan beberapa bulan lalu.
“Kenapa senyum-senyum?” Tangan Bintang mengusap kepala Nafisha yang masih terbungkus rapi dengan hijab.
“Mas, anak Mbak Diah sudah sebesar apa ya?”
“Hmmm, anak Mbak Diah atau Mbak Diah?”
Nafisha mencubit perut Bintang, sementara ayah hanya geleng kepala malihat ulah kedua anak mereka. Semenjak hamil sepertinya Nafisha lebih manja, hal itu pun masih bisa diterima keluarga, karena masih wajar.
“Nyonya Nafisha Alena, pasien Dokter Dinda .” Seorang suster memanggilnya.
“Ayah, kita masuk dulu ya,” pamit Bintang pada ayahnya.“Hai, pasien kehormatan ini. Enggak diperiksa saja sendiri, Dok?” Sapa Dokter Dinda.
Bintang tersenyum, meskipun dia juga seorang dokter kandungan, tetapi saat ini posisinya adalah pasien. Dia akan tunduk dengan aturan dan diagnosa yang diberikan Dokter Dinda.
“Tanggal pertama, haid terakhir kapan, Bu?”
“Maaf, Dok, saya lupa. Tetapi saya ingat betul saya haid sebelum ke Jerman, nanti saya akan minta sekretaris saya cek tanggal saya ke Jerman.”
“Bulan Juni, bukan, Bun?”Bintang turut menjawab pertanyaan Dokter Dinda
“Oke. Nanti kita lihat dari USG. Ada keluhan selama kehamilan ini?”“Enggak, Dok.”
“Kita langsung saja periksa ya. Saya atau Dokter Bintang, mau USG sendiri,” canda Dokter Dinda.Bintang berdiri di samping Nafisha sementara Dokter Dinda melihat dari monitornya, Bintang dan Nafisha melihat calon buah hati mereka melalui monitor besar yang terpasang menghadap branker pemeriksaan.
Jantung Nafisha semakin berdebar ketika Bintang menggenggam tanganya. Meskipun tidak ada suara, Nafisha yakin, Bintang merasakan hal yang sama.
“Posisinya bagus. Ini yang hitam ini, air ketubannya. Bayi Ibu, ini yang ada di dalam. Dari sini usianya sekitar 14 minggu. Sudah cukup besar, lincah. Kita lihat ukurannya, ya.”“Tapi tunggu-tunggu….” Dokter Dinda kembali mengoleskan gel di atas permukaan perut bawah Nafisha, sementara Bintang semakin penasaran melihat monitor.
“Selamat, Dokter Bintang, Ibu, anaknya kembar.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu yang Ku Tunggu
General FictionPendidikan itu penting, itulah yang ditanamkan ayahnya dari dia kecil, dia gadis yang mandiri, tangguh tidak mudah menyerah. Menuntut ilmu baginya adalah suatu seni, belajar dan membaca adalah hobbynya tapi tidak membuat gadis usia menjelang 28 tahu...