Kembali

443 44 18
                                    

Hal baik untuk tujuan yang baik, jika dilakukan dengan cara yang salah hasilnya akan kurang baik

Kamu yang Ku Tunggu
🌻🌻🌻

Penyesalan datang terlambat. Entah Nafisha atau Bintang yang harus dipersalahkan. Rasa ingin saling melindungi dan takut menyakiti membuat keduanya lupa jika ada kerikil-kerikil yang harus mereka singkirkan.

Iya hanya kerikil. Seharusnya dari awal mereka menyingkirkan agar tak menjadi bongkahan batu besar yang siap menghantam.

Di sini, di ruang tunggu ICU menjadi saksi, betapa sayang Nafisha pada Bintang. Seorang diri dia menunggu suami yang mendapatkan perawatan intensif. Tidak ada kursi empuk, tidak pula ada tempat tidur. Hanya deretan bangku besi panjang yang menopang duduknya. Ditemani selingan suara roda brankar beradu dengar lantai.

Dingin udara karena hembusan pendingin ruangan menusuk hingga ketulang pun tidak ia rasakan. Berdoa untuk suaminya yang sedang berjuang melawan maut yang kapan saja datang menghampiri.

Nafisha masih seorang diri, tidak ada keluarga yang menemani, Nafisha lupa membawa ponsel. Saat di rumah sakit pertama, Nafisha meninggalkan ponsel di dalam mobil. Bahkan dia tidak bisa berfikir bagaimana cara menghubungi keluarganya.

“Nafisha?” tanya seorang dokter ketika keluar dari ruang ICU

“Dokter Raya?”
“Siapa yang sakit, kenapa di sini?”

“Suami saya kecelakaan Dok, dia masih dirawat di dalam.”

Beberapa perawat berlalu meninggalkan kedua orang yang masih terlihat bercapak-cakap ini.

“Kamu ingin melihatnya? Sebetulnya tidak boleh masuk ruang ICU diluar jam berkunjung, tapi kalau kamu mau aku temani. Aku kepala ICU di sini. Biar aku yang izin sama dokter jaga.”

Nafisha hanya mengangguk. Lalu mengikuti langkah dokter Raya, tetangga satu komplek di perumahan orang tuanya. Sepanjang lorong berbatas tirai dari kain yang Nafisha lalui, Nafisha terus berdoa agar suaminya baik-baik saya.

Dokter Raya mengantarkan Nafisha pada satu bilik yang masih terbuka. Di atas brankar berwarna putih itu terbujur suaminya yang hanya diselimuti selembar kain putih. Air mata mulai turun. Langkahnya semakin berat melihat masih banyak dokter di sana.

“Ini Nafisha, istri pasien,” ucap Raya menjelaskan kepada dokter yang masih berada di bilik perawatan Bintang.

“Kondisi pasien masih belum stabil, kita sedang menyiapkan ruang operasi sambil menunggu dokter paru. Tangan kiri korban patah, dan dari hasil MRI kami melihat ada masalah di paru-paru. Sehingga kami tetap memasang ventilator untuk membantu pertukaran oksigen. Kondisinya masih kritis, kemampuan bernapas spontan kecil. Tetap optimis ya Bu, doakan yang terbaik buat suami anda. Kami akan berusaha.”

Beberapa Dokter meninggalkannya. Hanya dokter Raya yang menemani. Nafisha merapikan helaian-helaian rambut suaminya yang berantakan. Nafisha meraih satu tangan suaminya, kemudian menciumnya.

Rasa sesak menyeruak, menyusup hingga ke memenuhi dada, seolah memenuhi alveolus paru-paru. Sakit. Teramat sakit. Menyaksikan Bintang dengan mata yang masih terpejam terbujur lemas tak berdaya.

Tepukan di bahu menginterupsi pikiran yang entah melayang kemana. “Sudah kasih kabar Papa dan Mama kamu belum?” tanya dokter Raya.

“HP saya tertinggal di mobil, di rumah sakit sebelum Mas Bintang dirujuk ke sini Dok,”

🌻🌻

Sekarang sudah pukul 4.15 WIB, artinya sudah 3 jam Bintang berada di ruang operasi. Namun kini Nafisha tidak sendiri, ada papa, mama dan Mahesa yang menemani mereka.

Kamu yang Ku TungguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang