Part 30 : Salah Paham (Bagian 2)

344 38 18
                                    

Diam lebih baik,
ketimbang bicara tanpa makna,
tetapi bicara lebih baik,
jika diam tak ada makna

Kamu yang Ku Tunggu

“Mas, lepaskan aku, aku mohon! Kamu mabuk berat. Mendingan, Mas istirahat,” kilah Nafisha dan kembali mencoba lepas dari pelukan Bintang.

“Mas, kalau kamu terus begini, aku akan teriak!” Ancam Nafisha sambil terus menghindari ciumannya.

“TERIAK SAJA KALAU MAU TERIAK? Teriaklah! Bilang kalau kamu mau diperkosa? Terus pelakunya suami sendiri? Kira-kira mereka akan berfikir apa?” Ejek Bintang dan berdecih. Astagfirullah, Mas. Ya Allah sadarkan suamiku. Tangis Nafisha seketika pecah, air matanya semakin tak terbendung.

“Maafkan Nafisha, Mas. Tapi please, jangan seperti ini. Aku takut…, aku nggak kenal kamu lagi. Kamu bukan lagi Bintang yang lembut dan perhatian. Suami yang selalu melindungiku.”Perlahan aku mulai merasakan cengkeraman tangan Bintang mengendur.

Udara hangat dari napasnya mulai teratur mengalir di wajah Nafisha. Dia menyandarkan keningnya pada kening Nafisha. “I’m sorry.”

Kecupan lembut mendarat di kening Nafisha. Cukup lama Bintang menciumnya sabelum akhirnya dia merosot hingga duduk di lantai dan menyesali kebodohannya.

Nafisha mengikuti suaminya. Sementara kedua tangan Bintang yang menumpu pada lututnya perlahan memukul-mukul kepalanya sendiri. Wajah sendunya mulai menatap istrinya yang masih menangis karena melihat suaminya sekacau ini.

“Aku mulai merasa ada jarak diantara kita. Kita duduk bersama tapi kamu hanya diam. Ku ajak kamu bicara, kau hanya jawab seperlunya. Itu menyakitkan, Sha,” ucapnya lemah.

Nafisha melihat mata Bintang mulai memerah, menahan air mata yang sebentar lagi lolos.

“I love your voice. I like when you started to tell something about you or else. I'm dying without your smile.”

Tangannya menggapai bahu Nafisha. Membawa Nafisha dalam pelukannya. Pelukan yang lembut seperti yang diinginkan Nafisha.

Kini Nafisha menyadari, betapa penting dirinya untuk Bintang. Hatinya pun terenyuh, ketika dia merasakan Bintang mulai menangis dalam pelukannya. Sepertinya Nafisha sudah masuk terlalu dalam di kehidupannya. Kini dia bingung harus berbuat apa pada suaminya.

Do you love me?” Aduh…! Sebetulnya bukan kalimat ini yang seharusnya ku ucapkan. Nafisha menyesali ucapannya barusan. Merasakan kalimatnya salah untuk situasi seperti ini.

Yes. I love you. I love you so much. Saya enggak tahu kapan saya mulai sayang kamu, mungkin
saat di kantin? Atau saat kita bertemu di tol atau saat kamu mengisi materi di seminar waktu itu. Yang pasti, aku sangat khawatir ketika menemukanmu pingsan di bandara. Aku enggak mau kehilangan kamu,” jawabnya lembut.

Kaget, takjub, bahagia, sedih bercampur menjadi satu. Beginikah rasanya disayangi, merasa dibutuhkan, merasa  diri ini menjadi bagian dari hidup orang lain.
Perlahan pelukan kami merenggang,

“Kita akan hidup sebagai suami istri sampai kapanpun. Sampai rambut kita memutih. Sampai maut memisahkan kita,” ucapnya lirik sambil satu tangannya membelai rambutku.

Bintang menggapai telapak tangan kanan Nafisha, meletakkan di dadanya. “Tempatmu di sini, Sya,”

🌻🌻🌻

Saat Bintang mandi, Nafisha turun membuat minuman hangat kesukaan Bintang—Teh melati dengan daun mint. Saat Nafisha masih mengaduk teh buatannya nenek menepuk bahunya perlahan. Mencoba menasihati Nafisha agar lebih bersabar menghadapi Bintang.

Kamu yang Ku TungguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang