Part 21: HALAL

439 44 30
                                    


Sudah dua minggu Bintang berada di Surabaya. Tiga hari lagi Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) akan berkunjung ke rumah sakit cabang, setiap hari beberapa tim mulai lembur. Tidak terkecuali Bintang. Pikirannya bercabang. Akreditasi, pernikahan, dan rumah. Rumah juga belum selesai renovasi, tetapi syukur beberapa furniture tinggal menunggu kirim saat renovasi selesai.

“Terima kasih, Dev” ucap Bintang saat segelas teh dia terima dari tangan Devina.

“Dok, calon istri dokter, dokter juga?” tanya Devina.

Bintang tidak bersuara, dia menggeleng, tetapi matanya masih fokus melihat layar laptopnya. Dia malas meladeni pertanyaan-pertanyaan tentang Nafisha jika memang bukan teman dekat.

“Kalau kalian lelah, pulang duluan saja” usul Bintang.

Ini adalah hari terakhir kunjungan Tim KARS. Dari temuan-temuan yang telah disampaikan sepertinya semua minor, tidak ada yang mayor apalagi kritikal. “ Alhamdulilah atas kerja keras semua tim kita mendapatkan kategori Paripurna” ucap diriktur rumah sakit disela-sela penutupan acara.

Pimpinan tertinggi rumah sakit juga mengucapkan terima kasih kepada Bintang yang menomorduakan urusan pernikahannya. “Semoga lancar acaranya, Dok” ucap direktur utama rumah sakit seraya menepuk bahu Bintang.

🌻🌻

Semalaman di kereta dan mungkin karena kondisinya yang terlalu lelah membuat badannya panas. Setelah sampai di apartemen dia mengecek suhu badannya yang memang lebih dari normal. Suhu tubuhnya mencapai 39.3 derajat celsius. Dia segera minum obat penurun panas agar suhu badannya cepat turun.

Tidak terasa hari pernikahan semakin dekat. Mereka dilarang saling bertemu selama satu minggu. Dan besok dia akan mengucap ikrar suci pernikahan mereka. Bintang dan keluarga  bermalam di rumah keluarga peninggalan almarhumah ibu. Rumah yang ditampatinya sampai dia beranjak remaja. Di rumah orang tuanya, sanak keluarga telah berkumpul, mereka mengadakan pengajian supaya diberikan kelancaran.

Hal serupa terjadi di kediaman mempelai perempuan. Setelah tadi sore dilakukan pengajian dan sekarang menunggu prosesi siraman. Karena Nafisha masih keturunan
Jawa.

Sudah hampir dua jam Nafisha dan perias di dalam kamar. Rupanya sejak pengajian tadi Nafisha belum berhenti menangis. Dia mulai ragu, batinnya goyah, dia khawatir jika suatu saat nanti Bintang bukan sosok yang tepat untuknya. Papa mulai menenangkan Nafisha. Nafisha kalut, dia takut karena belum cukup merasa mengenal Bintang. Lima bulan yang lalu dia mengenal Bintang, karena kecelakaan kecil, yang menimpanya. Kemudian mereka bertemu kembali saat Nafisha mengisi acara seminar di Makassar, lalu dia menolong Nafisha saat dirinya pingsan di bandara. Lalu saat dirinya di rumah sakit, lelaki ini yang meminta ijin papa untuk menikah.

“Paa,.. jika suatu hari nanti Bintang tidak sesuai dengan harapan kita? Jika dia melarang Nafisha mengunjungi mama-papa” ragunya terus menghantuinya.

“Nak, sekarang ambil wudu, kita salat isya bersama biar hatimu tenang.”

Nafisha menurut. Dia segera memenuhi saran papa. Lalu mencurahkan semua kepada sang penciptanya. Hingga sebuah pelukan erat membuatnya nyaman dan berangsur bisa mengendalikan tangisnya.

“Papa sangat bahagia Nak, malam ini kamu salat di sini bersama papa. Karena mulai besok imammu telah pindah padanya. Surgamu ada pada ridhonya.”

“Kewajiban terbesar papa, akan papa lakukan besok. Mengantar anak gadis papa menyempurnakan imannya.” ucap papa yang diakhiri dengan ciuman bertubi-tubi pada pucuk kepala Nafisha.

Setelah Nafisha lebih tenang, perias segera melakukan tugasnya. Tidak berselang lama acara siraman dimulai. Nafisha mengawali sungkemnya pada mama. “Maa-- Fisha minta maaf--”. Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Nafisha mengis sejadi-jadinya, desiran darah sangat terasa mengalir, mengalir memompa jantungnya. Nafas pun terasa pendek, hawa panas menjalar disetiap inci tubuhnya.

Kamu yang Ku TungguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang