Nafisha dan Bintang sudah berada di kamar mereka selepas acara resepsi tadi. Nafisha terlihat mencari sesuatu dari dalam kopernya.
“Ya lupa, enggak ke bawa.” sesalnya lirih tapi masih terdengar di telinga suaminya.
Bintang lalu keluar mencari minimarket yang masih buka di sekitar hotel. Dia akan membeli kapas pembersih wajah untuk Nafisha. Setelah kembali ke kamar ia tidak melihat istrinya, ia mencari di kamar mandi juga tidak ada. Ia segera meletakkan belanjaannya dan meraih ponsel untuk menelepon Nafisha. Belum sempat telepon berdering, ia melihat Nafisha tengah berdiri di balkon.
“Kenapa malam-malam diluar? Aku mencarimu.” ucapannya sambil merengkuh bahu Nafisha. Nafisha hanya tersenyum. Beberapa saat baru menjawab “Aku ingin menikmati pemandangan Jakarta waktu malam hari.”
Bintang segera mengajaknya masuk karena rintik hujan mulai turun. Nafisha segera ke kamar mandi untuk membersihkan bekas make-up dan mandi. Karena terlalu lama menunggu dirinya mandi, saat keluar kamar mandi Nafisha mendapati Bintang telah tertidur pulas.
“Bintang, Bin, bangun, aku ‘dah selesai mandi.” ucapnya sambil menggoyang-goyang bahu kekar Bintang.
“Eemmm, jam berapa sekarang?” ucapnya sambil menggeliat.
“Setengah dua.”
“HAH...,Aku belum salat isya.”
Bintang segera beranjak bangun dari tempat tidur lalu berjalan cepat menuju kamar mandi. Nafisha segera mengambil baju ganti untuk Bintang lalu meletakkan di ujung tempat tidur. Nafisha mengambil ponselnya, ia mulai membuka satu persatu pesan whattappnya yang rata-rata isinya adalah ucapan selamat atas pernikahannya. Hingga ia tertidur.
Sehabis mandi dan melaksanakan salat, Bintang menyusul Nafisha, ia mengambil ponsel dari tangan istrinya dan meletakkannya di meja. Ia juga membetulkan selimut istrinya.
Dengan puas dia bisa melihat wajah tenang istrinya. Wanita yang terlalu mandiri, tidak mudah luluh dengan kata-kata manis atau perlakuan lembut yang sering berikan.
Setan pun segera membawa Bintang ke masa lalu. Ia ingat bagaimana manis dan perhatiannya April mantan kekasihnya dulu. Selama menempuh pendidikan kedokteran di salah satu Universitas di Jakarta hampir empat tahun lebih mereka bersama. Bahkan karena nomor urut absen mereka berdekatan sering mereka dipasangkan dalam satu tim.
Beberapa kali April mulai meyakinkan hati Bintang. Dan dia tetaplah lelaki cool dan tanpa ekspresi yang sering mendapat julukan es batu dari teman-temannya.
Tetapi rasa kehilangan itu ada saat April mulai menghilang dari kehidupannya. Dia memilih tinggal di Australia mengikuti orang tuanya.
Sebuah tangan lembut yang tiba-tiba mendarat di wajah Bintang membuyarkan lamunannya. Dia pikir Nafisha terbangun, tapi tidak. Dia hanya mengubah posisi tidurnya. Dengan lembut Bintang mengecup telapak tangan Nafisha. “Aku akan berusaha mendapatkan hatimu, sayang.” Ucapnya lirih.
Tetapi kecupan lembut itu cukup membuat Nafisha terusik dari tidurnya. Dia membuka mata perlahan dan menarik tangannya dari genggaman Bintang.“Kamu belum tidur?”
Bintang menggeleng. Dia masih menatap wajah polos istrinya.
“Tadi sewaktu menunggu kamu mandi aku tertidur, jadi sekarang aku belum ngantuk.”
“Sha, kamu capek enggak?” tanyanya tiba-tiba.
Pertanyaannya membuat Nafisha sukses membuka bulat mata.“Maksudnya?, enggak kok biasa saja.” jawab Nafisha tanpa pikir panjang.
“Kamu sudah banyak direpotkan menjelang pernikahan kita. Sini aku pijat kalau capek.”
Pagi ini semua sarapan bersama sebelum keluarga besar pulang ke daerah masing-masing.
“Pengantin baru jam segini udah sarapan saja, enggak kesiangan?” canda Nadia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu yang Ku Tunggu
General FictionPendidikan itu penting, itulah yang ditanamkan ayahnya dari dia kecil, dia gadis yang mandiri, tangguh tidak mudah menyerah. Menuntut ilmu baginya adalah suatu seni, belajar dan membaca adalah hobbynya tapi tidak membuat gadis usia menjelang 28 tahu...