Kesulitan tak pernah tahu
kapan datang dan pergi, bahkan saat ingin menyudahi,
Tuhan mencoba yang lebih beratNafisha terengah, keringat terasa dingin diterpa angin malam. Ia terus berlari menuju sebuah bangunan bercahaya karena lampu yang cukup terang. Tak peduli banyaknya mata menatapnya karena ia masih mengenakan piyama dan sandal tidur. Bukan itu yang ia perlu pedulikan. Karena ada hal yang lebih ia mengkhawatirkan.
Jantung Nafisha mulai terasa berdebar kencang, bukan karena telah berlari sedari tadi, tetapi karena kabar yang dikirim Nadia. Entah apa yang terjadi hingga Bintang harus menjalani perawatan di rumah sakit.
Nafisha terus berlari hingga lorong yang menuju tempat sesuai yang Nadia sebutkan. Indera penciumannya telah terpenuhi oleh aroma khas obat-obatan. Ini bukan di Industri Farmasi. Ini di rumah sakit, karena banyak sekali suster berbaju hijau muda disini. Sebelum Nafisha semakin dekat, dia melihat Nenek, Ayah dan Nadia tengah bicara dengan seoang lelaki. Laki-laki itu mengenakan baju hijau tua, beserta penutup kepala dengan warna senada, seperti seragam Bintang saat bertugas di ruang operasi. Ayah memeluk erat Nenek, wajah nenek juga terlihat pucat. Nadia pun tampak cemas luar biasa.
Belum sampai pada mereka, tiba-tiba Nenek menjerit histeris, memanggil nama Bintang. menangis, meronta dalam dekapan Ayah.
Langkah Nafisha pun terhenti. Jantungnya berdegup lebih kencang. Air mata sudah membasahi pipi. Melihat Ayah dan nenek menangisi putra dan cucu semata wayang mereka. Menyesal sepertinya tak cukup. Bukan perpisahan seperti ini yang ia inginkan.
Nafisha terkesiap membuka mata. Jantungnya masih berdebar sisa mimpinya. Nafisha tertidur di sofa ruang tamu, di rumah di kawasan Sentul. Setelah seharian bertemu dengan Nadia, malam ini Nafisha mulai memikirkan satiap kalimat yang keluar dari mulut sahabatnya. Dia merasa tidak pernah berpikir bahwa kesendiriannya dimasa dulu adalah masa lalunya. Egois? Mungkinkah Nafisha egois? Nafisha hanya ingin mempertahankan diri sebagai satu-satunya istri sah Bintang.Ego mematikan logikanya. Ego membuat kecemasan, dan berpikir Bintang akan meninggalkannya. Bukankah seharusnya mereka bersama? Tidak saling menyakiti dan menyiksa seperti sekarang ini. Sekarang Nafisha tinggal di Sentul City, perumahan yang dia beli beberapa tahun. Jarak dari Sentul ke kantornya sekitar 54KM, jarak yang cukup jauh tentunya karena lebih dari 100 KM harus dia lalui setiap hari.
Nafisha berpikir jika beberapa hari ini dia harus menginap di rumah orang tuanya. Papa sudah beberapa kali menginginkannya menginap di rumah. Tetapi, harus bilang apa sama papa jika Bintang tidak ikut menginap di rumah? Apakah papa sengaja melakukannya?
Setelah menempuh perjalanan hampir 2 jam, Nafisha sampai di rumah orang tuanya. Mama dan Mahes menyambutnya dengan pelukan hangat.
“Rumah hanya jarak tujuh kilo saja, jarang main! Bagaimana kalau beda pulau? Mungkin kamu sudah melupakan mamamu ini,” gerutu mama pada putrinya.
“Nafisha banyak dinas luar akhir-akhir ini Ma. Mama juga mana oleh-oleh dari Makkah, enggak sampai ke rumah.” Nafisha memotong ucapannya. Dia teringat berapa lama dia tidak pulang, jangan-jangan mama menitipkan oleh-oleh pada Bintang.
“Bintang belum kasih ke kamu? Mama beli kurma muda untuk kalian? Biar cepat hamil,” canda mama.
Nafisha bingung harus menjawab. Beruntung Mahes sangat tanggap situasi ini dan mengajak kakaknya segera masuk untuk sarapan bersama. Karena papa sudah menunggu di ruang makan.
“Assalamualaikum, Pa. Papa apa kabar, sehat kan Pa?”“Wa’alaikumsalam. Sini masuk, sarapan sama papa,”
“Loh mana suamimu? Kamu sendiri ke sini?”
“Mas Bintang ada praktik Pa, jadi tidak bisa ikut kesini,” ucap Nafisha gugup karena membohongi orang tuanya.
Setelah makan bersama Nafisha menemani papa di taman. Papa sedang melakukan olah raga ringan setiap hari untuk menjaga kesehatannya.
“Papa ini sudah tua, hanya ini yang bisa papa lakukan. Untuk mengisi hari tua papa. Kacuali kalian memberikan Papa kegiatan baru. Momong cucu kalau kalian kerja, mengantarnya ke sekolah, jalan-jalan ke mall,” ucap papa diakhiri dengan senyuman.
Nafisha yang sedang asyik membaca buku terkesiap dengan penuturan Papa. Papa benar. Mengasuh cucu adalah cita-cita orang tua diusia senja mereka. Tetapi bagaimana memberi papa dan mama cucu jika mereka berdua sedang dalam masalah seperti sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu yang Ku Tunggu
General FictionPendidikan itu penting, itulah yang ditanamkan ayahnya dari dia kecil, dia gadis yang mandiri, tangguh tidak mudah menyerah. Menuntut ilmu baginya adalah suatu seni, belajar dan membaca adalah hobbynya tapi tidak membuat gadis usia menjelang 28 tahu...