Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Mungkin peribahasa itulah yang saat ini cocok untuk Bintang.Dia tidak berhasil membujuk Nafisha untuk tidak bicara ke orang tuanya tentang kakinya yang sakit. Dan sekarang mama Hanna sudah menyuruh papa menghubungi tukang urut kenalannya untuk mengurut kakinya. Kini Bintang pun hanya pasrah karena semua menyarankan untuk diurut.
Mulutnya ingin sekali berteriak, tapi egonya berkata tidak. Mau pura-pura santai, tapi sakitnya luar biasa.
"Sakit ya ?" tanya Nafisha
Bintang hanya menggeleng, namun keringat dengan ukuran sebesar biji jagung keluar dari wajahnya yang mulai memereh.
"Aku bikin minum untuk bapaknya dulu ya, kamu mau minum apa?" tanya Nafisha lebih lanjut.
Nafisha cepatlah ke dalam, biar aku bisa melampiaskan rasa sakit ini. Ucap Bintang dalam hatinya seraya jari tangnya meremas ujung karpet sebagai alas duduknya.
"Apa aja boleh, panas juga boleh." jawab Bintang sesingkat mungkin.
Nafisha masuk ke dalam sambil geleng-gelang kepala, beberapa saat setelahnya Mahesa lah yang diminta mengantarkan minuman dan beberapa makanan ringan untuk keduanya, karena Nafisha harus mandi dan berganti pakaian akibat guyuran air hujan.
"Masih sakit Bang," tanya Mahes
"Lumayan, tapi agak mendingan setelah diurut."Obrolan abang dan adik ini berakhir ketika azan duhur berkumandang, Bintang pun segera bangun dengan dibantu Mahes. Papa yang melihat Bintang kesusahan jalan menyarankan agar dia salat dirumah. Tapi Bintang menolak. Akhirnya dia ikut salat di shaf paling belakang meskipun dengan duduk.
Setelah makan siang Bintang diantar pulang oleh Mahes dan Nafisha ke apartemen. Setelah acara lamaran semalam mereka memang tinggal di apartemen. Sebab ayah serta neneknya akan kembali ke Bandung sore ini.
Sebelum ke tujuannya Bintang minta agar dirinya diantarkan di apotek, untuk membeli tongkat untuk membantunya berjalan.
Sampainya di apotek Nafisha yang turun untuk membeli tongkat sedangkan Mahes masih putar-putar mencari parkiran. Lima belas menit berlalu Nafisha sudah keluar membawa sepasang tongkat untuk Bintang."Besok kamu praktik, Bin?"
"Kalau bisa istirahat, mending istirahat dulu?" lanjutnyaAkhirnya Bintang menuruti saran Nafisha, dua hari ini dia tidak masuk kerja menunggu kakinya pulih. Tetapi bukanlah Bintang jika dia hanya berdiam diri di apartemennya.
Dua harinya dia manfaatkan dengan mengurus rumah baru yang akan ditempatinya nanti. Mengingat dia dan Nafisha akan menikah dua bulan hingga tiga bulan lagi. Bintang mengajak Mahes yang kebetulan seorang arsitek untuk merenovasi rumahnya. Bintang mempercayakan tata letak ruangan dan taman pada Mahes. Dia menyuruh agar Mahes megajak sang kakak agar memilih furniture sesuai keinginanya.
Setelah dua hari rehat Bintang kembali praktik. Alhamduliah kakinya sudah pulih. Sampainya diruangan periksa Bintang berniat untuk menghubungi Nafisha.
Beberapa kali dia mencoba, tetapi selalu operator yang menjawab.
Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada diluar jankauan.Setelah lelah menelpon, Bintang mencoba mengirimkan pesan whatsapp
Bintang:
Hari ini aku sudah mulai praktik Sya, Alhamdulilah.Bintang :
Kamu lagi apa, aku coba telpon berkali-kali tapi tidak aktifSebelum Bintang mulai dengan pasien pertamanya dia sempatkan diri melihat pesan whatsapp nya, namun pesannya untuk Nafisha masih seperti semula hanya ada tanda ceklist satu yang artinya pesan belum diterima.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu yang Ku Tunggu
Fiction généralePendidikan itu penting, itulah yang ditanamkan ayahnya dari dia kecil, dia gadis yang mandiri, tangguh tidak mudah menyerah. Menuntut ilmu baginya adalah suatu seni, belajar dan membaca adalah hobbynya tapi tidak membuat gadis usia menjelang 28 tahu...