Part 34 : Babak Baru

339 36 10
                                    

Hati perempuan itu seperti kaca.
Akan seperti apa
tergantung cara merawat.
Jernih, kusam, berkerak bahkan retak.

Kamu yang Ku tunggu

🌹🌹🌹

Happy Reading

Seharian menghabiskan waktu bersama walau hanya di rumah membuat Nafisha dan Bintang sangat bahagia. Selama ini mereka terlalu sibuk dengan urusan  pekerjaan mereka. Mereka memang hanya tinggal berdua, sengaja belum ada asisten rumah tangga di rumah. Pekerjaan membersihkan lantai atas menjadi tanggung jawab Nafisha sedangkan lantai dasar, halaman, garasi dan taman kewajiban Bintang.

Selesai aktifitas bersih-bersih Nafisha keruang kerja untuk membalas beberapa email yang masuk. Tak lama suaminya menyusulnya dengan semangkuk buah melon yang telah dipotong-potong. Bintang berdiri di samping Nafisha dan mengacak kasar rambut istrinya yang belum terlalu kering. “Masih kerja aja Sayang?” tanyanya seakan tak rela.

“Hanya jawab email yang penting saja kok, Mas, aku kan dapat libur tiga hari,”

“Aku juga nambah cuti saja ya?”

“Kasihan pasien-pasien, Mas,”

Bintang mencium pucuk kepala Nafisha dan pergi meninggalkannya karena ingin segera mandi. Sebelum azan magrib berkumandang Bintang sudah selesai mandi. Bintang kini telah siap dengan baju kokonya. Ia kembali ke ruang kerja istrinya.

“Sebentar ya Mas, satu lagi balas emailnya.” Nafisha mengira suaminya akan mengajaknya salat berjamaah tetapi Bintang malah izin salat di masjid karena ada rapat dengan bapak-bapak perumahan.

“Sha, Mas sekalian salat isya ya, habis itu kita makan malam, ditempat yang belum pernah kamu datangi,”
“Ayo, salat! Mas berangkat ke masjid kamu juga salat. Biar pintunya aku kunci dari luar.”

Nafisha menuruti perintah suaminya. Dia segera mengambil wudu dan menunaikan salat magrib. Selama ia salat ponsel Bintang tak kunjung berhenti berdering. Hingga Nafisha berniat untuk mengangkat telepon dari nomor tak dikenal tersebut. Belum juga Nafisha mengangkatnya sambungan terputus. Nafisha meletakkan kembali ponselnya. Lalu ia merias tipis mukanya dengan sapuan blush on dan sedikit lipstik.

Saat Nafisha merapikan kerudung, Bintang segera masuk ke kamar. Istrinya sudah siap dengan dres casual namun tetap sopan dan sangat pas dengan postur tubuhnya yang tinggi.

Setelah meletakkan sajadah, Bintang menghampiri istrinya. “Cantik banget, mau ke mana sih?”
Bintang berdiri membelakangi kaca, tepat di sebelah kiri  Nafisha.

“Katanya mau makan malam? Oh iya Mas, teleponnya tadi bunyi terus, Nafisha mau angkat, putus,” jelasnya. Bintang segera melihat ponselnya. Bintang lantas me-non-aktifkan ponselnya.

“Aku ganti baju dulu ya, biar serasi.”
Nafisha lebih dulu menuruni tangga dengan alasan ingin menyiapkan sepatu yang sesuai.

“Mas, masih lama?” sudah hampir 30 menit menunggu Bintang tetapi tak kunjung turun.

“Sayang bisa naik sebentar ?” pinta Bintang dari dalam ruang kerja.
Nafisha segera naik dan menemui Bintang di ruang kerja. Nafisha heran. Bintang kini telah mengganti pakaiannya dengan kemeja yang warnanya hampir senada dengan baju Nafisha. Bintang menarik lembut tangan Nafisha. Dia membuka sebuah pintu kecil dengar warna senada dengan dinding. Bintang membimbing Nafisha untuk naik. Dan ia mengikuti dari belakang.

Sayup-sayup Nafisha mulai mendengar alunan saxophone dari atas. Nafisha terkejut bukan main. Jadi makan malamnya di rooftop rumah sendiri. Kenapa saya tidak tahu kalau di rumah ini ada tempat begitu indah.

Beberapa lenterasengaja ditempel pada sudut ruangan. Nafisha berdiri di dekat kaca memandang ratusan bintang yang mengiringi senyum sang rembulan. Keraguan akan niat menanyakan wanita yang pernah mengangkat teleponnya saat dia menghubungi Bintang runtuh malam ini.

“Sayang, malam ini aku ingin melamarmu kembali. Setelah berulang kali aku buat acara untukmu namun gagal. Semoga kali ini tidak,”

“Nafisha Alena Faradiba, maukah kamu menjadi ibu dari anak-anakku? Menemaniku hingga kita menua bersama, hingga maut memisahkan kita,” bisik Bintang tepat di belakang Nafisha

Nafisha belum menjawab, dia menundurkan sedikit tubuhnya lalu bersandar pada Bintang. Rasa hangat dan tenang dalam pelukan Bintang membuat Nafisha meneteskan air mata. Baru kali ini dia merasakan ketenangan yang selama ini belum dia dapatkan. Merasa menjadi istri seutuhnya, merasa tidak ada yang diragukan lagi.

Bintang mengusap lembut air mata yang mengalir di pipi Nafisha. “Sayang, terima kasih buat semuanya. Kesabaran dan perhatian kamu. Kapan terakhir haid? Biar aku tahu kapan HPLnya,”

“Lupa.”  Seraya mengangkat kedua pundak.

Sebuah kecupan mendarat. “Pembuahan dihitung sejak hari pertama menstruasi terakhir, sekarang gak boleh lupa lagi,” jelasnya.


🌻🌻🌻



Sore ini Nafisha naik taksi online ke rumah sakit untuk menyusul Bintang. Mereka akan jalan-jalan ke pusat perbelanjaan di pusat kota. Kebetulan hari ini Bintang tidak ada tindakan, jadi jam lima sore dia sudah bisa mengakhiri poli sorenya. Nafisha masih asik ngobrol dengan Mami di ruang tunggu depan poli. Perawat senior itu sudah seperti ibu bagi Bintang.

“Pantes, ada Ibu Negara. Saya beresin alat sendirian di dalam dari tadi,”

“Ye elah sekali-sekali nape?” logat khas Betawi keluar dari mulut Mami.

“Mi, aku ke atas dulu. Temani Ibu Negara, jangan sampai lecet sedikitpun,”

Bahkan dengan sengaja Bintang mengecup kening Nafisha yang masih asik ngobrol dengan perawat senior itu.

“Ampun deh, yang habis ditinggal. KALAU MASIH KANGEN, BESOK CUTI LAGI SAJA!”

Bintang sudah berjalan meninggalkan kedua wanita ini. Lalu angangkat tangan kanannya dan mengacungkan jempol ke Mami.

Selanjutnya mereka makan malam disebuah resto sebelum bersiap belanja.Satu persatu mulai memasukkan belanjaan agar
masih-masing paham dengan kebutuhan pasangannya.

“Sha, dapet salam dari Bu Siti,” ucap Bintang sedikit tertahan. Dia baru sadar jika waktu itu bertemu dengan Bu Siti di rumah  April.

“Bu Siti?” Nafisha mulai mengingat nama yang di sebut suaminya.

“Dimana Mas, bertemu? Apa kabarnya mereka?” tanya Nafisha.

“Eem…, di rumah sakit. Waktu kamu masih di Jerman kemarin,”

Nafisha mengangguk sambil keluar dari lift dan membantu Bintang mendorong troly keluar. Mereka sudah berada di lantai dasar menuju perkiran. Tetapi saat di lobi, tiba-tiba Bintang mengeratkan pelukan di pinggang Nafisha dan mencium pelipisnya. Ketika pandangan mata Bintang bertemu dengan seorang wanita bertopi, rambut sedikit panjang yang sedang melihat-lihat aksesoris di lantai dasar.

(Angela Aprilia Dewani)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(Angela Aprilia Dewani)



“Tempat umum Mas, malu,” bisik Nafisha.

Bukan berhenti tetepi Bintang semakin pamer kemesraan. Wanita itu tertunduk seakan tak sanggup melihat adegan di depannya. Entah iblis mana yang sedang menggelayuti Bintang? Dia menuntun Nafisha ke arah perempuan tadi, “Hai Dok, belanja sendiri? Kami duluan ya,” ucap Bintang pada April yang masih diam mematung.

Mungkin sekarang hati April seperti kaca yang retak. Buram. Berharis tanpa pola. Menampakkan luka yang tertoreh. Meskipun seharusnya dia tidak boleh terluka karena Bintang memang sudah bukan bagian dirinya.

“Mas kenal dengan perempuan tadi?”

“Iya, dokter baru di rumah sakit,” jawab Bintang pelan.

Sampai di parkiran Bintang membuka pintu untuk Nafisha. Nafisha pun duduk di samping kursi kemudi. Sementara Bintang masih memasukkan barang belanjaan mereka. Tanpa sengaja dari kaca spion Nafisha melihat sosok perempuan yang ia temui bersama suaminya memasuki mobil yang tak jauh darinya. Wanita itu terlihat sedang menghapus air mata yang terus keluar membasahi pipinya. Wanita itu menyalakan mesin kendaraan dan mengambil handphone, sepertinya menghubungi seseorang.

“Mas, ada telepon!” Nafisha membuka jendela dan mengulurkan tangan untuk memberikan ponsel Bintang.

Bintang menghentikan aktifitas memasukkan barang. Dia bersandar pada mobil. Dan mereka sedang bercapak melalui sambungan telepon. Nafisha masih mengamati keduanya. Seperinya kamu memgenal lebih dokter tadi Mas

🌹💐🌹

Kamu yang Ku TungguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang